SKK Migas Proyeksikan Lifting Minyak yang Realistis 810.000-825.000 Barel Per Hari -->

Iklan Semua Halaman

SKK Migas Proyeksikan Lifting Minyak yang Realistis 810.000-825.000 Barel Per Hari

Pulo Lasman Simanjuntak
02 Februari 2015
Para pekerja minyak dan gas (migas) untuk proyek minyak bumi dan gas lepas pantai (marine off shore) sedang konsentrasi bekerja. (Foto : istimewa/eMaritim.Com)

Jakarta,eMaritim.Com,- Kementerian ESDM dan Komisi VII DPR menyepakati penurunan target lifting minyak dan gas (migas). Target lifting minyak yang sebelumnya pada APBN 2015 ditetapkan sebesar 900.000 barel per hari, diturunkan menjadi 825.000 barel per hari.

Adapun lifting gas yang sebelumnya ditetapkan sebesar 1.248.000 barel setara minyak per hari, diturunkan menjadi 1.221.000 barel setara minyak per hari.

Berdasarkan perkembangan yang ada, awalnya Kementerian ESDM mengusulkan penurunan lifting minyak  dari 900.000 barel per hari menjadi sebesar 849.000 barel per hari. Namun, setelah mendapatkan masukan dari SKK Migas, Kementerian ESDM merevisi usulan yang telah disampaikan sebelumnya.

Berdasarkan hitungan engineering dan data di lapangan, SKK Migas memproyeksikan lifting  minyak yang realistis berada pada kisaran 810.000 – 825.000 barel per hari.

Mengacu pada rekomendasi SKK Migas tersebut, dalam pembahasan bersama DPR, pemerintah mengusulkan target lifting minyak menjadi pada kisaran 810.000–825.000 barel per hari. Dalam pembahasan asumsi makro APBNP 2015 tersebut, sejumlah Fraksi di DPR juga tercatat menawarkan opsi lifting minyak untuk tahun 2015.

Usulan target  lifting  dari sejumlah Fraksi di DPR cukup bervariasi mulai dari 810.000 barel per hari sampai dengan 840.000 barel per hari. Kesimpulan pembahasan  menetapkan bahwa seluruh fraksi di DPR bersepakat menerima usulan pemerintah karena dinilai cukup realistis.

Revisi target lifting migas akan berdampak terhadap turunnya penerimaan migas, baik dari penerimaan pajak maupun PNPB. Apalagi asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) juga diturunkan dari US$105 per barel menjadi US$60 per barel.

Pelemahan asumsi nilai tukar rupiah dari Rp11.900 per US$ menjadi Rp12.500 per US$ sebenarnya berpotensi meningkatkan penerimaan PNBP migas. Akan tetapi peningkatan penerimaan akibat pelemahan rupiah tersebut tidak cukup untuk mengkompensasi penurunan lifting  dan harga minyak.
Dengan berbagai kondisi yang ada, pemerintah memproyeksikan penerimaan dari sektor migas akan berkurang hingga Rp130 triliun hingga Rp150 triliun.

 Dalam hal ini ReforMiner memproyeksikan, perubahan asumsi lifting, ICP, dan nilai tukar rupiah akan berdampak terhadap berkurangnya PNBP migas tahun 2015 hingga mencapai kisaran Rp110 triliun.

Jika ditambahkan dengan potensi penurunan penerimaan pajak, total penurunan penerimaan negara dari sektor migas kemungkinan berada pada kisaran angka proyeksi pemerintah, atau bahkan sedikit lebih tinggi.

Apalagi jika sekitar 23,5 kargo LNG yang diproduksikan dari Kilang Bontang tidak segera mendapat pembeli. Dari sisi anggaran, jika hanya dilihat dalam konteks sektor migas, kondisi APBNP 2015 sebenarnya masih relatif aman.

Pada pos penerimaan memang terdapat potensi penurunan sebesar Rp130 triliun hingga Rp150 triliun. Akan tetapi pada pos pengeluaran pemerintah akan menghemat sekitar Rp259 triliun dari pengurangan anggaran subsidi BBM.

Anggaran subsidi BBM yang sebelumnya ditetapkan sebesar Rp276 triliun akan diturunkan menjadi hanya sekitar Rp17 triliun. Hal itu terkait kebijakan pemerintah yang hanya memberikan subsidi untuk 17,05 juta kilo liter solar dan 850.000 liter minyak tanah dengan mekanisme subsidi tetap sebesar Rp1.000 per liter.

Karena itu, jika hanya dilihat dalam konteks sektor migas, perubahan asumsi migas tersebut justru akan mendorong APBNP 2015 mengalami surplus sekitar Rp109 triliun hingga Rp129 triliun. Penurunan harga minyak sampai level tertentu justru berdampak positif bagi postur APBN secara keseluruhan.

Kekhawatiran terhadap dampak penurunan lifting  dan harga minyak lebih dikarenakan kebijakan politik penganggaran yang dijalankan selama ini. Berdasarkan data, ketergantungan penerimaan negara terhadap penerimaan sumber daya alam (SDA), khususnya migas, cukup besar.

Pada awal pelaksanaan pem  -bangunan kontribusi penerimaan sektor migas terhadap total penerimaan negara pernah mencapai kisaran 50%–60%.

ISU UTAMA

Meski porsi penerimaan migas relatif menurun akibat kebijakan diversifikasi penerimaan yang dijalankan pemerintah, sampai saat ini porsi penerimaan migas tercatat masih di atas 20% dari total penerimaan negara. Karena kondisi yang ada tersebut, penetapan target lifting dan harga minyak masih dan tetap menjadi isu utama dalam setiap pembahasan APBN.

Berdasarkan perkembangan yang ada, penetapan target lifting migas tidak hanya menyangkut aspek teknis dan bisnis, tetapi juga berdimensi politis. Sudut pandang dan kepentingan para stakeholder yang terlibat dalam penetapan target lifting seringkali berbeda.

Otoritas fiskal dan DPR cenderung menginginkan agar target lifting ditetapkan tinggi. Bagi otoritas fiskal, target lifting migas yang tinggi akan lebih baik karena dapat membantu meminimalkan potensi defisit APBN. Sementara bagi DPR, lifting  migas yang ditetapkan tinggi akan berdampak terhadap tingkat kesejahteraan yang lebih baik bagi konstituennya.

Sementara itu, Kementerian ESDM, SKK Migas, dan KKKS cenderung menginginkan agar target lifting migas ditetapkan lebih realistis sesuai dengan aspek teknis dan bisnis. Target yang diusulkan seringkali lebih rendah dari usulan otoritas fiskal dan DPR.

Dalam hal ini kepentingan Kementerian ESDM, SKK Migas, dan KKKS lebih pada aspek capaian kinerja. Jika target ditetapkan tidak realistis–tidak mempertimbangkan aspek teknis dan bisnis-, akan berdampak terhadap capaian kinerja yang kurang baik.

Karena perbedaan kepentingan tersebut, seolah menjadi lazim bahwa dalam setiap pembahasan asumsi makro terdapat tiga sampai dengan empat usulan angka lifting yang berbeda.
Dalam perkembangannya, target lifting migas yang disepakati antara pemerintah dan DPR seringkali merupakan “angka politis”. Angka yang ditetapkan seringkali merupakan hasil tawar-menawar antar pemangku kepentingan.

Karena sifatnya politis, kurang memperhatikan aspek teknis dan bisnis, target lifting migas di APBN seringkali tidak tercapai. Data yang ada menunjukkan dalam 10 tahun terakhir target lifting minyak hampir selalu tidak tercapai. Bahkan untuk tahun 2005, meski telah direvisi hingga dua kali, target lifting minyak tetap tidak tercapai.

Meski seringkali memiliki kepentingan yang berbeda, memperhatikan kondisi yang ada tersebut para stakeholder seharusnya memiliki kesimpulan yang sama bahwa lifting migas masih memiliki peran penting bagi keuangan negara.

Terkait itu, para stakeholder seharusnya berkesimpulan sama mengenai langkah-langkah untuk meningkatkan produksi/lifting migas nasional. Kebijakan parsial, seperti peningkatan penerimaan negara melalui pengenaan PBB masa eksplorasi yang justru akan menurunkan penerimaan migas dalam jumlah yang lebih besar, semestinya tidak lagi diwacanakan apalagi diimplementasikan.

Jika model kebijakan parsial yang mengutamakan ego-sektoral tetap dijalankan, target Inpres No.2/2012 yang menetapkan bahwa produksi minyak nasional sejak tahun 2014 minimal 1,01 juta barel per hari semakin sulit untuk dapat dicapai (bisnis.com/pulo lasman simanjuntak)