Jakarta,eMaritim.Com,-Pelemahan Pertamina sejak lama sudah dilakukan. Pembentukan sejumlah lembaga yang mengurus migas sebagai bagian dari liberalisasi membuat Pertamina semakin disisihkan secara sistematis.
Padahal Pertamina sebagai BUMN migas, merupakan perpanjangan tangan negara bagi pelaksana konstitusi Indonesia.
”Berbagai kebijakan negara akhir akhir ini cenderung tergambar sebagai upaya pelemahan Pertamina. Liberalisasi sektor migas merupakan dasar dibalik kebijakan naik turunnya harga minyak dan gas dalam beberapa waktu terkhir, sekaligus terlihat jelas sebagai upaya melemparkan pertamina ke dalam pasar bebas migas di Indonesia,’’kata pengamat Ekonomi Politik Migas, Salamuddin Daeng kepada pers, di Jakarta, kemarin, seperti disiarkan HU.Suara Karya, Kamis (12/3/2015).
Menurut Salamuddin,dalam satu sisi Pertamina dipinggirkan, namun di sisi lain BUMN kebanggan nasional ini terus dibebankan dengan berbagai penugasan dari negara, dikenakan berbagai kewajiban yang memberatkan.
”Marjin BBM PSO kepada Pertamina ternyata kurang dari 1 persen sementara terhadap PLN, untuk PSO listrik mendapat marjin dari Pemerintah sebesar 7 persen,” tambah Salamuddin.
Seharusnya Pertamina diberi kemudahan. Sebab Pertamina menjalankan distribusi atau mendistribusikan BBM PSO dan non PSO pada daerah-daerah remote yang biaya transportasinya tinggi. Sementara pemain lain (asing dan swasta nasional) hanya bermain di wilayah basah atau di jamali (jawa madura dan bali) tanpa ada persyaratan khusus dari Pemerintah.
”
”Berdasarkan Perpres 191 tahun 2014, Pertamina diberi kewenangan menambah besaran marjin untuk distribusi bbm umum di jamali min 5 persen, dan maksimal 10 persen, namun mengapa ini tidak berjalan dan sepertinya Pemerintah selaku pemilik membiarkan saja Pertamina tetap merugi pada distribusi BBM PSO,’’ ungkapnya.
Infrastruktur Elpiji
Menyangkut elpiji, Salamuddin Daeng mengatakan lemahnya dukungan pemerintah dalam membangun infrastruktur distribusi elpiji, menyebabkan harga elpiji meningkat tajam, sementara keuntungan atas kenaikan harga, dinikmati oleh para spekulan.
”Tidak adanya sanksi hukum terhadap pelanggaran pengunaan elpiji 3kg menyebabkan peralihan penggunaan ke elpiji 3kg terus berlangsung,’’ kata Salamuddin. (lasman)