Pemerintah Siap Audit Izin Kapal Asing -->

Iklan Semua Halaman

Pemerintah Siap Audit Izin Kapal Asing

Pulo Lasman Simanjuntak
10 Maret 2015

Jakarta,eMaritim.Com,-Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (MenKP) Nomor 56 Tahun 2014 tentang Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap sebagai upaya pengendalian atas maraknya penangkapan ikan secara ilegal oleh kapal eks asing di
wilayah perairan Indonesia. 

Pasca dikeluarkannya peraturan tersebut, kini pemerintah telah siap melakukan analisis dan evaluasi (Anev) atau audit kepatuhan kapal-kapal
perikanan yang pembangunannya dilakukan di luar negeri atau kapal eks asing yang berkapasitas diatas 30 GT. 

Hal itu diungkapkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pada konferensi pers yang digelar di kantor pusat KKP Jakarta, baru-baru ini.

Menurut Susi, Anev ini dilakukan untuk menertibkan perizinan penangkapan ikan oleh kapal eks asing selama masa moratorium diterapkan, yakni 3 November 2014 hingga 30 April 2015. Perizinan tersebut mencakup Surat Izin Usaha Penangkapan (SIUP) dan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) atau Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI). Anev dilakukan tidak hanya untuk kapal penangka ikan tetapi juga jenis kapal pengangkut ikan eks asing. 

“Audit kepatuhan ini akan dilakukan terhadap 187 pemilik kapal perikanan dan 1.132 kapal eks asing”, ungkap Susi.
 
Susi juga mengungkapkan, audit kepatuhan semacam ini diperlukan karena salah satu modus Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing yang marak terjadi adalah kapal-kapal menangkap ikan lalu hasil tangkapannya diangkut keluar Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI). 

Selain hasil tangkapan ikan dibawa ke negara lain, kapal-kapal tersebut juga diketahui melakukan penukaran bendera ketika melintas di wilayah perbatasan. Kapal
yang diperiksa mencakup kapal yang beroperasi di WPP NRI menurut SIPI/SIKPI yang dikeluarkan
KKP dan berlaku setidaknya sampai dengan 3 November 2014.

Terkait hal itu Susi telah membentuk Tim Analisis dan Evaluasi (Tim Anev Kapal Eks Asing) dengan menerbitkan Surat Keputusan MenKP Nomor 4 Tahun 2015, sebagai tindak lanjut atas peratura moratorium kapal eks asing. Perangkatnya gabungan dari internal teknis dan pengawasan KKP dengan didukung oleh Tim Satuan Tugas Pencegahan danPemberantasan
IUU Fishing
. Selain itu
juga melibatkan pakar perikanan dan akademisi dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Sekolah Tinggi
Perikanan (STP), dan Unversitas Indonesia. Saat ini tim telah menyiapkan kerangka metodologi
untuk melaksanakan analisis dan evaluasi terhadap kapal eks asing dengan masukan dari pihak-
pihak internal KKP maupun berbagai pakar dan narasumber.


Susi menjelaskan, Anev dilakukan terutama untuk melihat kepemilikan kapal-kapal perikanan
pemegang SIPI dan SIKPI yang telah beroperasi selama ini. Apakah dimiliki oleh perorangan WNI
atau badan hukum Indonesia, sebagaimana disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan. Kapal
tidak hanya di analisis dan di evaluasi secara formil namun juga secara materiil. Selain itu, esensi
lainnya yaitu untuk mengetahui tingkat kepatuhan kapal-kapal penangkap/pengangkut ikan eks
asing selama dua tahun sebelum moratorium atau sejak November 2012 sampai 3 November 2014.
Adapun aspek-aspek yang akan diperiksa adalah aspek legalitas subyek hukum pemilik kapal, aspek
perizinan dan kewajiban terkait operasional kapal, serta aspek kepatuhan pemilik kapal dalam
membayar kewajiban Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan pajak. Dalam melaksanakan
audit kepatuhan tersebut, Tim Anev melakukan verifikasi terhadap dokumen-dokumen dan data
sekunder sekaligus secara paralel melakukan verifikasi lapangan ke berbagai pelabuhan. “Kami
sudah mengirim permintaan kepada para pemilik kapal untuk melengkapi beberapa dokumen,
dengan tenggat waktu sampai dengan 18 Maret 2015. Apabila pemilik kapal tidak menyampaikan
dokumen, maka dia telah melepaskan haknya untuk di audit”, tegas Susi.
Dalam pelaksanaannya, Tim juga didukung oleh data-data pengawasan dari database internal KKP
yang menunjukkan
track record
pemilik kapal dan juga hasil verifikasi terhadap 20 perusahaan
perikanan yang telah dimulai oleh tim lintas Direktorat Jenderal di KKP. Pelaksanaan Anev juga
tidak terlepas dari dukungan instansi lain, seperti Ditjen Pajak untuk memverifikasi keabsahan
NPWP pemilik kapal. Kemudian, dukungan Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU-Kemenkumham)
untuk menverifikasi keansahan perseroan terbatas, serta Kementerian Perhubungan dan
Kementerian Luar Negeri untuk memverifikasi keabsahan
Deletion Certification
kapal eks asing.
Untuk tahap pertama, pemilik kapal yang ditemukan melakukan pelanggaran tertentu (“Pelanggaran
yang Memenuhi Syarat Gugur”) akan langsung gugur/dikeluarkan dari Anev. Jika pemilik kapal atau
kapal lolos tahapan pertama di atas, tahapan berikutnya adalah pemeriksaan tingkat kepatuhan,
mencakup kewajiban-kewajiban Operasional Kapal dan kewajiban pembayaran pajak dan PNBP.
Lebih lanjut menurut Susi, audit yang dilakukan diharapkan dapat menghasilkan beberapa
rekomendasi sebagai masukan pada akhir masa moratorium. Rekomendasi yang pertama yakni
terkait langkah-langkah penertiban perusahaan yang tidak absah keberadaannya (secara formil
maupun materil), sehingga SIUP dan SIPI/SIKPI dapat dicabut. Kedua, rekomendasi langkah-
langkah penertiban perizinan masing-masing kapal perikanan eks asing yang tergolong Memenuhi
Tingkat Minimum Kepatuhan dan Tidak Memenuhi Tingkat Minimum Kepatuhan. Ketiga,
rekomendasi penjatuhan sanksi administratif ataupun pidana untuk kapal atau pemilik kapal sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Disamping itu, analisis dan
evaluasi juga akan menghasilkan rekomendasi perbaikan sistem perizinan kapal perikanan yang
pembangunannya di luar negeri ataupun perbaikan sistem secara umum untuk pencegahan kegiatan
dan pemberantasan IUU
Fishing
.
Kendati demikian menurut Susi, hasil Anev harus dikeluarkan bersamaan dengan kebijakan
penerbitan izin yang wajib memperhatikan potensi sumber daya ikan
(Maximum Sustainable Yield-
MSY)
dan alokasi/kuota tangkapan yang dibolehkan. Kedepan, kebijakan tersebut perlu dibarengi
dengan penguatan pemantauan kepatuhan pelaku usaha perikanan serta penguatan kerjasama
dengan Kementerian/Lembaga pemerintahan lainnya. Terakhir Susi juga mengharapkan agar
perbaikan sistem dan penguatan kerjasama dalam rangka pencegahan dan pemberantasan
IUU
Fishing
ini perlu dilakukan secara berkelanjutan dan terintegrasi melibatkan Kementerian/Lembaga
yang terkait. Pemerintah berencana untuk menerbitkan suatu payung hukum guna memastikan dan
meningkatkan efektivitas pencegahan dan pemberantasan
IUU Fishing
, “Harapannya
sustainable
fisheries management
akan terwujud dan sumber daya ikan akan terpulihkan”, pungkas Susi.(press release/lasman simanjuntak)