Jakarta,eMaritim.Com,- Proses perizinan yang
diajukan ke kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) ke berbagai instansi terkait
akan lebih cepat jika ditangani oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan
Usaha Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
General Manager PT Santos Indonesia Marjolin
Wajong mengatakan, selama ini ketika KKKS meminta izin ke berbagai instasi
terkait, izin itu dipandang demi kepentingan swasta, bukan negara.
“Suka-suka
mereka mengurus izinnya karena mereka tidak memandang eksplorasi dan produksi
migas (yang kami lakukan) bukan kepentingan pemerintah,” ucapnya di Jakarta
pekan lalu seperti dikutip dari www.migasreview.com, Minggu malam (3/5/2015).
Marjolin menambahkan, selain lamanya proses
pengurusan izin, instansi-instansi terkait meminta biaya-biaya yang tidak ada
payung hukumnya.
“Ketika mereka meminta biaya yang jelas jumlah dan ada payung
hukumnya, kami bayarkan. Tapi kalau tidak jelas karena tidak ada aturannya
sehingga mereka meminta negosiasi, ini yang tidak benar,” kritiknya.
Ketika proses perizinan yang harus dilalui oleh
KKKS diserahkan kepada SKK Migas, menurut dia, KKKS dapat memfokuskan diri untuk
meningkatkan produksi dan tidak lagi disibukkan oleh urusan itu. “Kontraktor
hanya mempersiapkan dokumentasi perizinan yang dibutuhkan SKK Migas,” kata dia.
Berdasarkan undang-undang, sektor migas dikuasai oleh
negara dan pengelolaannya dilakukan oleh SKK Migas. “Untuk setiap rencana kerja,
KKKS harus mendapat izin dari SKK Migas. Ketika sudah jadi rencana, butuh
beberapa izin. Ini yang kami minta (dilakukan SKK Migas) setelah mengetahui
detail rencana kontraktor,” pintanya.
Marjolin mengatakan, dengan proses izin satu pintu,
perlu penelaahan izin mana saja yang benar-benar diperlukan. Pasalnya, izin
yang ada di sektor migas terdapat 85 jenis melalui 341 proses perizinan di 17
instansi penerbit. Total terdapat lebih dari 5.000 izin per tahun dengan lebih
dari 600.000 lembar dokumen.
Menurutnya, ketika terlalu banyak proses perizinan
dimasukkan dalam izin satu pintu, maka akan terjadi bottlenecking. “Jadi harus
ada benchmarking dengan negara lain. Izin apa saja yang benar-benar
diperlukan,” ucapnya.
Pilah Perizinan
Deputi Bidang Pengendalian Penanaman Modal di
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Azhar Lubis mengatakan bahwa jika sektor
perizinan hulu migas diwajibkan di Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), ke depan
tidak akan ada lagi ego sektoral. “Kami pilah izin-izin yang mana saja yang
perlu dihilangkan,” ucapnya.
Sekretaris SKK Migas Gde Pradnyana mengatakan
bahwa masalah perizinan di semua sektor industri manapun menjadi kendala utama.
“Selama itu berkaitan dengan instasi lain, silakan ke BKPM. Itulah yang membuat
sekat-sekat itu sudah ditembus,” ujarnya.
Gde mengusulkan agar BKPM berperan memelopori
koordinasi dengan pemerintah daerah dan kementerian terkait mengenai izin-izin pemanfaatan
ruang, seperti izin lokasi/penetapan lokasi, izin prinsip, dan izin mendirikan
Bangunan untuk Kegiatan Utama Migas. Semua izin yang diwajibkan oleh bupati/walikota/gubernur
seharusnya tidak diberlakukan lagi untuk kegiatan usaha hulu migas karena tidak
tepat.
Dia merujuk pada UU Penataan Ruang bahwa
pertambangan migas termasuk kawasan strategis nasional sebagai kawasan yang
pemanfaatan ruangnya diprioritaskan. Selain itu, UU Migas menyebutkan bahwa adanya
kewajiban konsultasi dengan daerah terkait tata ruang pada saat wilayah kerja (WK)
akan ditetapkan dan saat rencana pengambangan (POD) pertama akan disetujui,
maka tidak perlu izin lagi. (pulo lasman simanjuntak)