Jakarta,eMaritim.Com,-Agen asing mainkan peran perpanjangan
konsesi JICT dengan Hutchison Port Holdings (HPH) yang dilakukan oleh
IPC dan berpotensi merugikan kepentingan negara. Pemerintah didesak,
segera membuat keputusan dengan membatalkan perpanjangan tersebut.
Ketua Serikat Pekerja (SP) JICT Nova Hakim pun menilai, harusnya IPC sebagai BUMN lebih memprioritaskan kepentingan nasional ketimbang vang asing. Kalau soal sumber daya manusia, Indonesia saat ini sudah sangat mampu melaksanakan pelayanan petikemas di pelabuhan paling sibuk di Indonesia tersebut.
Semangatnya Dirut IPC melakukan perpanjangan konsesi dengan HPH tersebut, kata Nova patut dicurigai. Sebab, konsesi itu adalah kewenangan pemerintah (Kemenhub), IPC hanyalah operator yang tidal mempubnyai kewenangan memberikan konsesi kepada pihak ketiga.
Sebelumnya Direktur Utama IPC RJ Lino, menyatakan bahwa Menteri BUMN telah menyetujui proses perpanjangan konsesi JICT. Namun menurut Nova, ini sudah salah kaprah dan menyimpang dari ketentuan yang ada.
“Ini jelas salah kaprah. Dalam surat nomor S-318 /MBU/6/2015 tanggal 9 Juni 2015 Menteri BUMN tidak serta merta menyetujui izin prinsip perpanjangan konsesi JICT melainkan dengan persyaratan,”kata Nova seperti dikutip dari Harian Umum (HU) Suara Karya, kemarin.
Persyaratan itu,kata dia, yang pertama, harusnya lebih memperhatikan surat Menhub No HK.201/3/4 Phb 2014 terkait pemisahan fungsi regulator dan operator. Kedua, melaksanakan surat Wakil Menteri BUMN nomor S-645/MBU/WK/10/2014 tanggal 9 Oktober 2014 terkait kerjasama BUMN. Ketiga, proses perpanjangan konsesi JICT dilakukan sesuai dengan perundangan yang berlaku dan tata kelola perusahaan yang baik.
Namun yang dilakukan Dirut IPC, RJ. Lino sudah sangat menyalahi aturan yang ada, “ Jadi Dirut IPC jelas mengklaim secara sepihak perpanjangan telah disetujui Menteri BUMN,” tegas Nova.
RJ Lino juga menyatakan Upfront fee JICT dan TPK Koja sebesar 250 juta dolar AS sementara HPH membeli saham JICT tahun 1999 sebesar 243 juta dolar AS serta melakukan akuisisi TPK Koja dari Humpuss sebesar 110 juta dolar AS pada tahun 2000.
“Tahun 2013 pendapatan JICT 280 juta dolar AS dan operational cost sebesar 110 juta dolar AS. Jika dengan harga jual 200 juta dolar AS maka ini terlalu murah,” paparnya.
Ketua SP JICT itu mengatakan persoalan perpanjangan konsesi JICT harus mendapatkan perhatian penuh dari Kementrian BUMN dan Presiden. Proses perpanjangan konsesi JICT sebagai aset emas nasional harus dilakukan dengan hati-hati sehingga membawa keuntungan sebesar-besarnya kepada Indonesia. (puo lasman simanjuntak)
Ketua Serikat Pekerja (SP) JICT Nova Hakim pun menilai, harusnya IPC sebagai BUMN lebih memprioritaskan kepentingan nasional ketimbang vang asing. Kalau soal sumber daya manusia, Indonesia saat ini sudah sangat mampu melaksanakan pelayanan petikemas di pelabuhan paling sibuk di Indonesia tersebut.
Semangatnya Dirut IPC melakukan perpanjangan konsesi dengan HPH tersebut, kata Nova patut dicurigai. Sebab, konsesi itu adalah kewenangan pemerintah (Kemenhub), IPC hanyalah operator yang tidal mempubnyai kewenangan memberikan konsesi kepada pihak ketiga.
Sebelumnya Direktur Utama IPC RJ Lino, menyatakan bahwa Menteri BUMN telah menyetujui proses perpanjangan konsesi JICT. Namun menurut Nova, ini sudah salah kaprah dan menyimpang dari ketentuan yang ada.
“Ini jelas salah kaprah. Dalam surat nomor S-318 /MBU/6/2015 tanggal 9 Juni 2015 Menteri BUMN tidak serta merta menyetujui izin prinsip perpanjangan konsesi JICT melainkan dengan persyaratan,”kata Nova seperti dikutip dari Harian Umum (HU) Suara Karya, kemarin.
Persyaratan itu,kata dia, yang pertama, harusnya lebih memperhatikan surat Menhub No HK.201/3/4 Phb 2014 terkait pemisahan fungsi regulator dan operator. Kedua, melaksanakan surat Wakil Menteri BUMN nomor S-645/MBU/WK/10/2014 tanggal 9 Oktober 2014 terkait kerjasama BUMN. Ketiga, proses perpanjangan konsesi JICT dilakukan sesuai dengan perundangan yang berlaku dan tata kelola perusahaan yang baik.
Namun yang dilakukan Dirut IPC, RJ. Lino sudah sangat menyalahi aturan yang ada, “ Jadi Dirut IPC jelas mengklaim secara sepihak perpanjangan telah disetujui Menteri BUMN,” tegas Nova.
RJ Lino juga menyatakan Upfront fee JICT dan TPK Koja sebesar 250 juta dolar AS sementara HPH membeli saham JICT tahun 1999 sebesar 243 juta dolar AS serta melakukan akuisisi TPK Koja dari Humpuss sebesar 110 juta dolar AS pada tahun 2000.
“Tahun 2013 pendapatan JICT 280 juta dolar AS dan operational cost sebesar 110 juta dolar AS. Jika dengan harga jual 200 juta dolar AS maka ini terlalu murah,” paparnya.
Ketua SP JICT itu mengatakan persoalan perpanjangan konsesi JICT harus mendapatkan perhatian penuh dari Kementrian BUMN dan Presiden. Proses perpanjangan konsesi JICT sebagai aset emas nasional harus dilakukan dengan hati-hati sehingga membawa keuntungan sebesar-besarnya kepada Indonesia. (puo lasman simanjuntak)