KNTI Kritisi Hambatan Hilirisasi Perikanan -->

Iklan Semua Halaman

KNTI Kritisi Hambatan Hilirisasi Perikanan

Pulo Lasman Simanjuntak
23 Juli 2015
Jakarta ,eMaritim.Com,- Hambatan hilirisasi perikanan di Indonesia bukan terletak pada  SDM apalagi SDA, tetapi lebih kompleks terkait penyimpangan prioritas dan arah kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan.

"Kami kurang bersepakat terhadap tudingan sejumlah pihak yang menyebut tidak kompetitifnya SDM Kelautan dan Perikanan Indonesia sebagai pangkal soal keterpurukan RI mengelola sumber daya kelautan dan perikanannya. Tudingan ini tidak saja usang, sekaligus terkesan lempar tanggung-jawab," kata Riza Damanik Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia  (KNTI) dalam keterangan pers yang disampaikan kepada eMaritim.Com di Jakarta, Kamis (23/7/2015).

Untuk menjawab hambatan hilirisasi produk kelautan dan perikanan tersebut, baik kiranya merunut 5 fakta kekinian pengelolaan perikanan Indonesia.

(1) Dari total 60.163 Unit Pengolahan Ikan (UPI) di 2014, sebanyak 40.407 UPI atau 67,2% berada di Pulau Jawa dan Sumatera. Celakanya lagi, dari total 1.340 UPI yang memperoleh Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) periode 2010-2014, sebanyak 788 UPI atau 58,9% pun berada di Pulau Jawa dan Sumatera.

(2) Dari total 9.536.050 ton produk olahan hasil perikanan di 2014, hampir 3,9 juta ton atau sekitar 41% berasal dari Pulau Jawa dan Sumatera.

(3) Dari total 1375 pelabuhan perikanan di Indonesia, sebanyak 68 % berada di kawasan Indonesia Barat, 25% di tengah dan hanya 7% di kawasan Indonesia Timur;

(4) Dari lebih 100 pasal di dalam UU Perikanan, sebanyak 15% mengatur tentang pra hingga pasca produksi; sebanyak 29,4% membahas tentang pra produksi; 52,9% membahas tentang produksi; dan hanya 17,6% membahas tentang pasca produksi; maka akhirnya,

(5) Dari lebih 13 juta tenaga kerja di sektor perikanan, sebanyak 51% beraktivitas di produksi (perikanan tangkap dan budidaya), 38% di pemasaran, dan hanya 11 persen di sektor pengolahan.

Kembali ke pertanyaan awal, apakah minimalisnya pencapaian pembangunan kelautan kita lebih disebabkan persoalan manusia (baca: nelayan) Indonesia di desa?

Saya jawab TIDAK sekedar itu. Persoalannya menjadi lebih kompleks, yakni penyimpangan arah dan prioritas pembangunan kelautan dan perikanan nasional selama ini telah menjadi faktor penghambat utama tumbuhkembangnya manusia Indonesia dalam memakmurkan laut.

Koreksi prioritas dan arah pembangunan kelautan ke depan harus dilakukan dalam 3 strategi cepat.

(1) mengoreksi ketimpangan pembangunan antara timur dan barat, maupun perbatasan dan non perbatasan. Langkah ini harus tercermin dalam politik anggaran 2016-2019 dengan prioritas kawasan timur Indonesia dan perbatasan.

(2) mereposisi desa pesisir tidak lagi sekedar pusat pengambilan bahan mentah dan pengonsumsi produk olahan dari kota. Sebaliknya, desa harus menjadi pusat ekonomi kerakyatan yang alat ukur pencapaiannya adalah keberdayaan desa pesisir mengoptimalkan diri sebagai sentra inovasi produk-produk perikanan dan kelautan (hilirisasi).

(3) memperluas revisi Undang-undang Perikanan dan memperketat kebijakan terkait (semisal perijinan usaha dan investasi) untuk menstimulasi penguatan hilirisasi dan partisipasi masyarakat Indonesia dalam pengelolaan hulu-hilir perikanan. (jitro kolondam/pls)