Jakarta,eMaritim.Com,,-Pada 29 Oktober 2015, Permanent Court of Arbitration (PCA) yang berkedudukan di Den Haag, Belanda, telah mengeluarkan keputusan sela tentang yurisdiksi dalam menangani arbitrasi yang diajukan oleh Filipina terhadap Tiongkok terkait interpretasi and aplikasi UNCLOS 1982 menyangkut masalah Laut China Selatan.
PCA memutuskan bahwa ia
memiliki jurisdiksi untuk memeriksa dan memutuskan perkara arbitrase tersebut,
meskipun Pemerintah RRT telah secara resmi menolak arbitrasi dimaksud.
Pemerintah Indonesia
mengikuti secara seksama jalannya seluruh proses arbitrase tersebut dan
mengirimkan peninjau yang kehadirannya dimungkinkan oleh prosedur arbitrasi
hukum internasional.
Menurut Deputi I Kemenko
Kemaritiman, Arif Havas Oegroseno, apabila PCA nantinya memberikan putusan
terhadap materi yang juga relevan bagi masyarakat internasional, yaitu arti
Pasal 121 ayat (3) UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa “rocks which cannot sustain human habitation or economic life of their
own shall have no exclusive economic zone or continental shelf”.
Maka hal
ini akan mempermudah negara-negara dalam melaksanakan ketentuan UNCLOS 1982 dan
secara khusus akan memfasilitasi proses perundingan perbatasan laut yang
seringkali melibatkan pulau pulau-pulau kecil, karang, ataupun features laut sejenis lainnya. Selain
itu keputusan mengenai Pasal 121 ayat (3) juga akan memperkuat jurisprudensi
bahwa pulau-pulau kecil tidak mendapatkan zona maritim yang maksimal.
Terlepas dari pandangan
berbagai pihak tentang tingkat keterikatan atas hasil putusan arbitrase
tersebut, putusan itu dapat menjadi suatu jurispurdensi hukum internasional,
seperti halnya keputusan mahkamah arbitrase dengan hakim tunggal Max Huber pada
tahun 1928 yang menghasilkan prinsip hukum effectivité
(effective occupation) dalam
sengketa Pulau Miangas antara Amerika Serikat dan Belanda. Keputusan mengenai
pokok perkara dimaksud, akan diputuskan tahun depan. (pulo lasman simanjuntak)