Derita Industri Pelayaran Offshore Masih Panjang -->

Iklan Semua Halaman

Derita Industri Pelayaran Offshore Masih Panjang

12 Maret 2016
Jakarta 12 Maret 2016 , www.emaritim,com



Lemahnya denyut nadi kehidupan industri Pelayaran Offshore sepertinya belum disadari oleh Pemerintah Indonesia . Dengan harga minyak dunia yang tidak beranjak dari 30 USD per barrel dan masih mungkin menyentuh angka terendah, sementara sign of bouncing back is not in a sight .

Selain industri Minyak dan Gas yang meradang karena keadaan ini dan sudah berimbas kepada pemotongan biaya operasi , pengurangan karyawan dan pengurangan armada pendukungnya yang kebanyakan adalah kapal jenis Offshore , maka industri Pelayaran Offshore adalah pihak kedua yang mengalami pukulan sangat dahsyat .

Mayoritas perusahaan perusahaan minyak dan gas bumi yang beroperasi di Indonesia masih dikuasai asing , perusahaan merah putih yang besar hanya ada PHE ONWJ (Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java ) dan PHE WMO ( West Madura Offshore) - red .

Sementara semenjak Azaz Cabotage diberlakukan di industri pelayaran , maka mayoritas perusahaan pelayaran adalah berbendera merah putih dan tentunya memiliki awak kapal orang orang Indonesia .

Dengan melemahnya harga minyak ditambah lagi dengan akan berakhirnya kontrak kerjasama 2 perusahaan minyak dan gas raksasa yaitu TEPI ( Total Exploration and Production Indonesie ) dan Chevron Indonesia masing masing di tahun 2017 dan 2018 , maka badai pengurangan tenaga kerja dan armada pendukung semakin membuat industri pelayaran offshore makin terpuruk .

Di tahun 2014-2015 saat harga minyak masih berada di level 100 USD per barrel , banyak kontrak kapal yang dibuat dengan durasi 3 sampai 5 tahun dengan jenis kontrak bangun baru .

Yang artinya perusahaan pelayaran harus membuat kapal baru dengan investasi yang dibiayai oleh pihak perbankan Indonesia .

Harapan Pemilik kapal tentu adalah bahwa kontrak yang sudah di tanda tangani akan di jalani sebagai dasar perhitungan saat berinvestasi dengan dana yang besar dan dasar pembayaran hutang kapal tersebut .

Dengan adanya pengurangan armada / pemutusan kontrak kapal yang terjadi , maka pembiayaan kapal kapal tersebut menjadi berantakan dan menimbulkan kerugian pihak perbankan dan juga pemilik kapal yang sudah membayar equity / penyertaan modal sebelum kredit dicairkan oleh perbankan .

Selama ini posisi tawar perusahaan pelayaran dalam ber kontrak dengan perusahaan minyak dan gas selalu lemah dan di bawah kewajaran berbisnis yang biasanya saling menguntungkan dalam kontrak yang berbasis Mutual Agreement .

Adanya klausul " Company shall have ,at any time, the right to terminate the contract subject to 1 day notice " atau dalam bentuk lain biasanya hanya pemberitahuan selama 7 hari sebelum kontrak di putus  dengan catatan tanpa kompensasi apa pun membuat perusahaan pelayaran berada di posisi take the contract or leave it .

Pihak pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh SKK Migas , membuat kebijakan ini menjadi mungkin dilakukan karena aturan yang dibuat dalam PTK 007 revisi 3 ( Pedoman Tata Kerja ) membolehkan itu .

Jika ditilik lebih dalam makna dari aturan ini , sepertinya pihak SKK Migas ataupun perusahaan kontrak kerja dibawahnya ( perusahaan minyak dan gas ) ingin melindungi bisnisnya jika terjadi hal hal yang diluar kontrol seperti ambruknya harga minyak seperti sekarang ini .

Ironisnya , yang luput dari perhatian pemerintah dalam hal ini SKK Migas adalah bahwa perusahaan perusahaan yang menjadi mitra bisnisnya adalah perusahaan Indonesia juga .

Dimana jika hal hal pemutusan kontrak dilakukan seperti itu , maka yang merugi adalah negara ini sendiri .

Perbankan merugi , perusahaan pelayaran gulung tikar , SDM kehilangan lapangan pekerjaan , keluarga pekerja juga menjadi tidak jelas masa depannya .

Pola bisnis seperti ini sudah menjadi baku di lingkup bisnis offshore di Indonesia , disaat harga minyak jatuh harga sewa kapal diturunkan sampai 40 % atau sebagian diputus kontraknya .

 Sementara disaat harga minyak melambung seperti 2 tahun lalu , maka tidak pernah ada penambahan nilai kontrak atau bonus bagi perusahaan yang menjadi mitranya dalam menghasilkan produk unggulan negara ini .

Sementara kewajiban pemilik kapal atas pemasukan yang didapat tidak berubah mengikuti pola bisnis yang dilakukan perusahaan minyak dan gas tersebut .

Cicilan kredit kapal tidak berubah , bunga bank tidak berubah , biaya sertifikat kapal bahkan naik , harga spare part tidak berubah , gaji crew tidak berubah , biaya maintenance kapal tidak berubah , kewajiban docking tetap harus dipenuhi dan biaya biaya lainnya .

Peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk turun lebih jauh dan melihat bahwa industri offshore dan perkapalannya adalah sebuah bentuk kerjasama yang tidak terpisahkan dan tidak boleh dibela sepihak .

Tidak bisa dibayangkan jika krisis ini berlanjut dan perusahaan perkapalan memalingkan wajahnya ke arah bisnis yang lain , karena industri pelayaran offshore tidak memberikan perlindungan yang sama terhadap mereka .

Maka kapal kapal berbendera merah putih hanya ada di scrap yard ataupun menjadi barang sitaan bank saja .

Nantinya disaat harga minyak sudah membaik lagi maka kapal bendera asing yang akan menikmati manisnya berbisnis di perairan Indonesia , sungguh disayangkan .

Yang perlu disadari adalah bahwa mindset dari bisnis offshore dan pelayaran adalah bahwa keuntungan sebesar besarnya haruslah untuk negara dan anak bangsa .

Setiap perusahaan minyak asing memiliki kepentingan terhadap margin keuntungan nya . Jika harga minyak tinggi , perusahaan minyak asing akan mendapatkan share yang tinggi .

Katakanlah pembagian hasil 20% asing dan 80% Indonesia sebagai ilustrasi , dimana Indonesia harus membayar seluruh biaya OPEX ( operational expenditure nya ) dan pihak asing mendapatkan 20% yang bersifat clean / untung bersih .

Maka disaat harga minyak rendah , penekanan biaya operasional menjadi opsi yang paling sering dijalankan .

Wajar saja , karena diharapkan perusahaan masih membuat untung dan pembagian 20 %  tersebut masih tetap bisa dibawa pulang oleh pihak perusahaan asing .

Apabila harga jual minyak secara keseluruhan sama dengan biaya operasi ( tanpa pengurangan biaya OPEX ) alias bisnis tidak membuat untung , maka 20 % jatah asing nilainya NOL.

Apakah pemerintah dan bangsa ini rugi ? jika yang menikmati biaya operasi tersebut adalah perusahaan perusahaan lokal dan SDM lokal maka uang nya tidak pergi keluar negeri juga  , silahkan di cerna .

Prinsip Sharing the Pain di Industri offshore sepertinya hanya berlaku ke pihak Indonesia , tetapi tidak kepada asing .

 Apakah bisa diberlakukan jika keadaan harga minyak rendah , misalnya share ke asing diberikan hanya 10 persen secara temporary sampai harga minyak mencapai titik yang disepakati ??

Industri pelayaran offshore sangat mengharapkan pemerintah menjembatani persoalan ini bersama sama .

Instansi terkait seperti Kementrian Perhubungan , Perbankan , OJK , Kementrian ESDM , Kementrian Tenaga Kerja ,
Asosiasi Pemilik kapal Indonesia ( INSA ) , Kesatuan Pelaut Indonesia ( KPI ) , Dirjen Pajak dan SKK Migas diharapkan duduk bersama dan melihat permasalahan ini dengan semangat sebagai anak bangsa yang ingin melihat pelayaran Indonesia menjadi tuan rumah yang SEHAT  di perairan sendiri .

Semangat Cabotage yang belum lagi mencapai titik puncaknya seperti melihat sebuah lorong jalan gelap tanpa ujung .

Program Pemerintah Tol Laut pun belum beranjak dari langkah awalnya , lalu apakah kita masih memilih sikap wait and see ?? ( zah )


* penulis adalah ketua bid organisasi/keanggotaan DPP INSA
    pernah menjadi pelaut selama 18 tahun .
    bekerja di Major Oil Industri selama 8 tahun .
    wakil ketua umum Forum Komunikasi Maritim Indonesia .
    konsultan maritim bidang offshore