Wajah Dunia Pelayaran Indonesia -->

Iklan Semua Halaman

Wajah Dunia Pelayaran Indonesia

06 Maret 2016

Jakarta 6 Maret 2016 . www.emaritim.com

Tenggelam nya kapal Ferry Revalia 2 menyisakan banyak persoalan untuk diperbaiki . Carut marutnya industri pelayaran membuat begitu banyak pihak ikut berbicara , mulai dari pedagang kaki lima , politisi ,  sampai preman di jalan  , semua berubah menjadi pakar Maritim.    Lalu bagaiman sebenarnya keadaan industri pelayaran dalam negeri saat ini ? Serta kesiapan insan maritim untuk tetap berjaya di era MEA .    

Tim redaktur www.emaritim.com yang terdiri dari Mantan Nakhoda Kapal Ocean Going , Konsultan Pekayaran, dan Pemilik usaha Pelayaran  mengulas seputar permasalahan industri maritim di Indonesia.    Perbankan memegang peran fundamental dalam mewujudkan keinginan pemerintah menjadikan Indonesia sebagai negara Maritim , tetapi keinginan saja tanpa usaha adalah sama dengan mimpi .  Dengan bunga bank berkisar 13-14 % setahun serta besarnya equity yg harus ditanamkan ( 20-30 % )   perusahaan pelayaran masih harus  menahan nafas dengan datang nya era MEA , alih alih kedatangan rejeki mungkin malah kehilangan rejeki.    

Bagaimana tidak ,  perusahaan perkapalan negara tetangga hanya dikenankan bunga bank sebesar 4 %  serta kemudahan lain beserta insentif nya . Nah , disini pemerintah harus serius . Kalau tidak ditangani dari akar permasalahan nya maka lambat laun perusahaan pelayaran nasional akan berkurang dan mungkin mati tergerus zaman. 

Hitunglah perbedaan bunga bank perusahaan perkapalan Indonesia jika dibandingkan dengan negara tetangga , jika setahun berbeda  10 % (14 % - 4 %) , maka apabila masa loan nya 10 tahun , perbedaan tersebut adalah 100 % . Artinya perusahaan lokal Indonesia membayar 2 kali lipat dibanding tetangga nya . Ironis bukan?   

 Di saat perbankan memberikan kemudahan kredit KPR dan Otomotif , industri pelayaran malah ditinggalkan apalagi dengan adanya krisis harga minyak yang berkepanjangan dan krisis harga batubara di tahun sebelumnya .   Tidak cukup itu saja derita perusahaan pelayaran , karena kalau di urutkan permasalahan finacial nya maka keadaan sudah sangat mendesak . 

Pemerintah sudah seharusnya melakukan hal hal yang  bersifat penyelesaian menyeluruh , tidak sebatas slogan dan semangat untuk menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim dan proyek Tol laut .  Ini mutlak dilakukan  agar negara maritim tercinta ini masih memiliki moda transportasi laut. Turunkan bunga bank ! itu salah satu kuncinya .    

Lalu yang tidak banyak diketahui publik diluar soal bagaimana  memanage sebuah perusahaan pelayaran  dari sisi finacial nya , berikut adalah  ulasan :  Seperti usaha transportasi lainnya , shipping company memiliki prioritas keuangan yang secara berkala harus dipenuhi. 

Berikut adalah urutan prioritas keuangan tersebut ;  
1. Hutang ke Perbankan / investor  
2. Bunga pinjaman  
3. Sertifikat kapal  
4. Consumables ( lub oil , minyak )  
5. Gaji Crew  
6. Biaya Maintenance  
7. Biaya Docking  
8. Profit margin    

Items nomor 1 dan 2 adalah fix dan sudah disepakati sejak awal . Walaupun 13-14 % itu berat , tetapi karena sudah seperti itu dan diketahui umum maka itu bisa dimasukkan kedalam CAPEX (capital expenditure ) yang pada akhirnya bisa diperhitungkan.    Sementara Point 3 ( sertifikat kapal ) tidak ada bilangan pastinya . 

Keseriusan HUBLA dgn BLU ( Badan Layanan Umum ) nya patut diacungi jempol . Hanya ada 2 pilihan jika ingin memperbaiki service yang buruk ; Ganti sistem nya atau ganti personel nya .   Mengganti sistem tentu perlu mengedukasi personel , dari knowledge dan juga mental nya . Tidak bisa sekejap selesai , seperti harapan beberapa pengamat yang tidak pernah menjadi bagian dari Industri Maritim . 

Beberapa sentra pelayanan HUBLA sudah menunjukkan peningkatan kinerja , seperti pelabuhan Tanjung Priok yang mendapat apresiasi dari Menteri Perhubungan . Tapi itu tidak lah cukup .  Persoalan yang sepele saja mengenai RPT ( Rencana Pola Trayek ) masih berkutat di pemahaman sepihak para Syahbandar didaerah daerah .  

Edaran Dirjen HUBLA yang mengatakan RPT tidak diperlukan , masih saja dibeerlakukan di beberapa tempat .    Point 4 ( consumable ) adalah hal yang fix dan tidak bisa ditawar tawar , membeli lub oil atau minyak harganya pasti . ini sudah sejalan dengan dasar dasar bisnis yang benar .    Point 5 ( Gaji Crew ) adalah hal yang tidak memiliki patokan baku . 

Regulasi tidak mengatur itu dan inilah kelemahan nya .  Seorang Nakhoda pengalaman memiliki demand gaji yang lebih besar dibanding yang lebih muda , hal ini sangat manusiawi sekali dan bisa dijelaskan sebagai berikut .  Jika kita memiliki Nakhoda berusia 50 - 55 tahun kemungkinan besar living cost nya lebih tinggi daripada yang berusia 35 tahun . Ini dikarenakan anak anak nya sudah di perguruan tinggi dan membutuhkan lebih banyak biaya dibanding anak anak yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar . 

Lalu dikarenakan persaingan dengan yang lebih muda , biasanya Nakhoda senior akan memilih bekerja dikapal asing yang bisa menggaji lebih baik .     Point 6  . Perusahaan boleh memiliki PMS yang hebat , tetapi apabila budget untuk sektor ini tidak cukup atau bahkan tidak ada , lalu apa yang bisa dilakukan ? 

Menurun nya harga sewa kapal membuat budget di prioritas terbawah tidak memiliki anggaran .    Point 7 , Docking mutlak dibutuhkan sebagai persyaratan untuk memperpanjang Klas kapal dan juga mempertahankan kondisi kapal dalam keadaan prima . ini mencakup aspek konstruksi dan juga keselamatannya .    Point.8 . 

Apabila rate kapal masih dalam keadaan sehat dan Perusahaan memiliki budget untuk point 1 sampai dengan point 7 , maka Pengusaha Pelayaran bisa sedikit tersenyum . Profit adalah hal yang terakhir dibicarakan , karena kalaupun itu tidak didapat maka pengusaha hanya berharap akan mendapatkan aset kapal tersebut jika cicilan bank nya sudah lunas dan itu bisa sepanjang 10 tahun .  Tentu nilai kapal setelah 10 tahun tidak sama dengan saat masih baru .    

Pemerintah sebenarnya sudah melakukan usaha untuk membantu industri pelayaran , dengan salah satunya memberikan subsidi kepada perusahaan pelat merah PELNI untuk pengadaan kapal kapalm proyek TOL LAUT . Dilema nya adalah , dengan subssidi pemerintah maka PELNI bisa menekan cost , sementara rekan nya yang dari swasta tidak bisa melakukan itu . Apa jadinya bila kompetisi harga PELNI dengan swasta tidak secara hati hati ditangani ? 

Perang Harga untuk mempertahankan hidup!! ..... artinya mereka akan memangkas budget budget untuk point 4 sampai dengan 8  yaitu  Consumable , Gaji crew , Maintenance , Docking dan Profit .  

Bisa dibayangkan seperti itulah yang akan terjadi bila Industri Maritim di negara ini tidak berada di tangan yang benar benar paham .  Kapal berguguran juga penumpang beserta awak kapalnya yang menjadi korban , perusahaan pelayaran merugi dan gulung tikar .  

Diskusi ilmiah melibatkan Pelaku Industri Pelayaran , pelaut senior , BKI dan Otoritas sudah seharusnya intens dilakukan untuk melahirkan gagasan yang benar benar bisa di aplikasikan di Indonesia .(Janno)