Jakarta, eMaritim.com – Mahkamah Pelayaran terus meningkatkan kinerja
pemeriksaan lanjutan (persidangan) kecelakaan kapal laut. Persidangan pada
pelaut tidak hanya dilakukan di kota kejadian kecelakaan kapal, tapi juga
melakukan proses persidangan secara cepat dan tuntas, sehingga putusannya bisa
dijalankan pemerintah (Direktorat Jenderal Perhubungan Laut/Ditjen Hubla) pada
tersangkut ( pelaut yang disidangkan ) dan untuk mendukung persidangan
lainnya (pidana maupun perdata).
Untuk melakukan proses persidangan secara cepat, Ketua Mahkamah Pelayaran, Adi Karsyaf menyatakan pihaknya sudah menerbitkan standar operasional prosedur (SOP) yang tertuang dalam Peraturan Ketua Mahkamah Pelayaran No. HK. 208/01/XI/MP. 2015 Tentang Prosedur Tetap Pemeriksaan Lanjutan Kecelakaan Kapal per tanggal 16 Nopember 2015.
Dalam peraturan itu disebutkan maksud ditetapkannya peraturan tersebut, sebagai pedoman bagi Ketua Mahkamah Pelayaran, Anggota Mahkamah Pelayaran, dan Sekretaris Mahkamah Pelayaran berserta jajarannya dalam menangani proses Pemeriksaan Lanjutan Kecelakaan Kapal, mulai dari penerimaan berkas perkara sampai dengan penyampaian putusan Mahkamah Pelayaran.
“Tujuannya, untuk menjamin adanya standarisasi dalam proses penanganan perkara dari penerimaan berkas perkara sampai dengan penyampaian putusan Mahkamah Pelayaran, sehingga pelaksanaan pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal lebih efektip dan efisien. Selain itu juga untuk menjamin rasa keadilan bagi para tersangkut dan subyek hukum lainnya,” kata Adi Karsyaf yang ditemui di kantornya gedung Mahkamah Pelayaran, kawasan Kelapa Gading Jakarta Utara, Selasa (23/8/2016).
Dalam peraturan itu disebutkan juga, pihak Mahkamah Pelayaran menetapkan berkas perkara diterima setelah berkas perkara yang dilimpahkan dari Direktorat Jenderal Perhubungan Laut dinyatakan lengkap. Selanjutnya setelah diterima oleh Mahkamah Pelayaran, maka selambat-lambatnya 7 hari kerja, Ketua Mahkamah Pelayaran menetapkan majelis untuk persidangan.
Setelah terbentuk majelis hakim yang akan menyidangkan perkara kecelakaan, pihak majelis melakukan prasidang untuk menentukan layak atau tidaknya suatu perkara dapat dilakukan persidangan.
Suatu perkara dinyatakan layak atau tidak apabila berdasarkan evaluasi bobot perkara terdapat korban jiwa, kerugian harta benda, mengganggu kepentingan umum dan nakhoda/perwira kapal memiliki kompetensi kepelautan yang sah. Jika dinyatakan lengkap maka menetapkan daftar tersangkut, saksi untuk dipanggil termasuk tempat dan jadwal persidangan.
“Apabila perkara tidak layak untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan, majelis menyampaikan kepada ketua Mahkamah Pelayaran dengan rekomendasi untuk dikembalikan disertai dengan alasan pengembalian,” ungkap Adi Karsyaf.
Jadi, tambah Adi Karsyaf, waktu untuk menetapkan pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal atau persidangan kecelakaan selambat-lambatnya 30 hari setelah dibentuk Majelis Hakim.
“Untuk sampai pada putusan, maka total waktu yang dibutuhkan 180 hari kerja. Namun saat ini persidangan yang berlangsung sebagian besar sudah dilalui dengan waktu dibawah waktu yang ditetapkan, sehingga bisa dikatakan proses pesidangan berlangsung cepat dan tuntas,” ungkap Adi Karsyaf.
Sampai bulan Agustus 2016 ini Mahkamah Pelayaran sudah mendapat pelimpahan berkas perkara kecelakaan kapal dari Ditjen Hubla sebanyak 27 perkara, yang sudah diputus sebanyak 20 perkara, tahun 2015 berkas yang diterima sebanyak 32 perkara, yang sudah diputus sebanyak 19 perkara. (Rhp)