Kapal NCVS dan permasalahannya -->

Iklan Semua Halaman

Kapal NCVS dan permasalahannya

14 September 2016

Balikpapan 14 September 2016


Sebagai tindak lanjut dari diskusi pelaku industri maritim yang diadakan di Jakarta 30 Agustus 2016 lalu,www.emaritim.com melakukan kunjungan ke wilayah Kalimantan Timur yang terkenal memiliki banyak armada kapal-kapal yang masuk dalam klasifikasi NCVS(Non Conventional Vessel Standard) di Indonesia.

Seperti diketahui bersama bahwa kapal yang berukuran dibawah 500 GT tidak diharuskan mengadopsi peraturan International Convention for Safety of Life at Sea 1974(SOLAS),untuk itu Kementerian Perhubungan sudah mengeluarkan Keputusan Menteri bernomor 65 tahun 2009 tentang Kapal Non Konvensi berbendera Indonesia.
Bahkan buku petunjuk bagaimana pelaksanaan aturan tersebut sudah diterbitkan pada Desember 2012 oleh Menteri Perhubungan yang saat itu dijabat oleh E.E Mangindaan.

Masalah yang timbul sebenarnya ada pada regulator yang seharusnya menjadi penerus dari aturan yang dibuat oleh atasannya.Tidak jelas apa alasannya bahwa sebagian besar KSOP atau perwakilan Kementerian Perhubungan Laut masih meminta pemilik kapal untuk tetap memiliki sertifikat sertifikat yang sebenarnya untuk kapal-kapal besar yang wajib mengadopsi aturan SOLAS tersebut.
Adapun sertifikat tersebut adalah; Sertifikat keselamatan Konstruksi, Sertifikat Keselamatan Equipment dan Sertifikat keselamatan Radio dengan validitas masing-masing 6 bulan kecuali sertifikat keselamatan Radio yang berlaku 3 bulan.
Dengan biaya pengurusan yang bisa sampai puluhan juta dalam setahun ketiga sertifikat yang tidak dibutuhkan tersebut bahkan bisa menjadikan kapal di breakdown oleh penyewa.

Apabila Pejabat Kementerian Perhubungan terus meminta sertifikat tersebut, bisa dipastikan penyewa tetap akan memintanya kepada pemilik kapal. Sudah barang tentu pemilik kapal adalah menjadi pihak yang paling dirugikan dalam hal ini, lalu dimana semangat pemerintah memangkas ekonomi biaya tinggi jika begini?
Khusus di Kalimantan Timur, derita pemilik kapal ditambah dengan tetap diberlakukannya PM 130 dan 135 yang mana untuk melayari sungai Mahakam mereka diharuskan mengurus Surat Persetujuan Berlayar plus sertifikat ikutan lainnya. Sementara dimasa lalu selama puluhan tahun untuk hal tersebut mereka cukup memiliki surat Izin Gerak karena memang sungai Mahakam masuk dalam DLKr dan DLKp Pelabuhan Samarinda.

Sudah sepantasnya Kementerian Perhubungan Laut berkaca kepada Kementerian lainnya yang sudah lebih transparan dalam memperbaiki diri untuk lebih menunjang pemerintah dalam mendorong kemajuan ekonomi.
Apalagi Kementerian Perhubungan adalah ujung tombak pemerintah dalam menyukseskan Program Tol Laut dan Poros Maritim yang menjadi pertaruhan Pemerintahan Presiden Jokowi dan kabinetnya.
Pelaku Industri maritim Nusantara masih tergolong sangat baik dengan tidak membawa hal-hal tersebut ke ranah hukum untuk meluruskannya.(janno)