Antara Pelaut, INSA, dan HUBLA -->

Iklan Semua Halaman

Antara Pelaut, INSA, dan HUBLA

27 November 2016

Jakarta 27 November 2016, eMaritim.com

Kisruh dunia ke pelautan dan perkapalan di negeri ini seperti semakin mendekati puncaknya di akhir tahun 2016. Di saat pemerintah gencar dengan program Tol Laut dan Poros maritim, pemeran utama dalam lakon tersebut seperti luput dari perhatian pemerintah Indonesia. Sekarang ini jika seorang pelaut menyelesaikan pendidikan nya maka dibutuhkan waktu beberapa bulan untuk menerima ijazah nya kemudian baru bisa dipakai berlayar. Kenapa hal ini bisa terjadi dan terus berlarut larut? jawaban nya adalah masalah over supply yang tidak disadari pemerintah.
Dengan rata rata penerimaan pelaut di tingkat Akademi, Politknik, dan sekolah Tinggi pelayaran di Indonesia yang berkisar di angka 16.000 orang per tahunnya maka dibutuhkan peningkatan kemampuan di Badan Diklat dan Perhubungan laut untuk mengurus dan menangani segala urusan mereka agar cepat dan dengan biaya yang murah. Di ujung semua itu maka dibutuhkan banyak kapal untuk menampung mereka bekerja baik di dalam negeri ataupun di luar negeri.

Banyaknya pemberitaan dan penilaian bahwa Indonesia defisit pelaut di 2 tahun terakhir seperti memicu badan Diklat membuka kran penerimaan Taruna Sekolah Pelayaran sebesar besarnya disertai animo putra bangsa untuk menjadi pelaut yang handal dan begaji tinggi. Tetapi apa lacur? Krisis dunia perminyakan yang menyeret dunia pelayaran ke dalam salah satu krisis terpanjang membuat semua prediksi tersebut harus dikaji ulang dengan menyertakan semua pihak yang berkompeten di bidang kepelautan dan pelayaran. Dengan berkurangnya jumlah kapal yang memiliki pekerjaan, otomatis banyak pelaut yang kehilangan tempat kerjanya. Kalaupun ada, maka gaji yang selama ini diterima akan disesuaikan alias dikurangi sesuai merosotnya bayaran kapal itu sendiri. Lalu apakah pemerintah sadar akan hal ini? tampaknya pemerintah masih sibuk dengan hal lain. Baru baru ini pemerintah seperti menyadari bahwa Tol Laut dan pembangunan kapal kapal nya bukan langkah yang benar benar jitu untuk pemerataan kemajuan ekonomi di negara kepulauan terbesar di dunia ini.  Ditambah lagi dengan adanya kasus Operasi Tangkap Tangan yang terjadi di Kementrian Perhubungan, belum dikirimnya Undang Undang pengesahan Ratifikasi MLC ke Jenewa, dan terakhir rencana HUBLA untuk memindahkan pengurusan seluruh sertifikat pelaut ke BPSDM. Ditambah dengan lambannya pengurusan sertifikat kepelautan dan perkapalan sekarang ini, maka semua hal yang disebutkan itu akan memakan korban yang yang tak lain adalah pelaku utama industri maritim dunia yang bernama pelaut dan kapalnya.

Hal yang sama terjadi di bidang perkapalan, dimana HUBLA belum mampu memonitor jumlah kapal sesuai fungsinya sehingga siapapun yang membuat atau membeli kapal melakukannya hanya berdasarkan insting bisnis tanpa ada gambaran dan arahan dari HUBLA, sehingga di saat ekonomi memburuk seperti sekarang ini, semua seperti berdiri di dunia yang berbeda. Peta kebutuhan dan keberadaan kapal tidak terdata untuk bisa di pakai oleh pelaku usaha sebagai referensi mengembangkan bisnisnya.

Lalu apakah fungsi Tri Partid Lembaga Pelaut, Asosiasi Pemilik Kapal dan HUBLA tidak pernah duduk bersama membahas masalah ini? jawabannya adalah tidak pernah. Apakah susah untuk melakukan kerjasama ataupun pertemuan rutin diantara mereka? Jarak Cikini- jalan Tanah Abang- Jalan Medan Merdeka Barat mudah ditempuh dalam 30 menit jika ada kemauan dan di sinilah permasalahan nya.
Sense of Seaman and ship di HUBLA sudah jauh menurun dengan semakin berkurangnya intelektual di bidang ke pelautan, perkapalan dan pemahaman akan keberadaan stake holder di bidang tersebut, HUBLA sekarang ini lebih banyak mengurusi perizinan perizinan untuk kapal dan pelaut serta tarif tarif PNBP (Pengahasilan Negara Bukan Pajak) ketimbang mengurus pelaut yang tidak dapat dan kehilangan pekerjaan dan kapal kapal yang menganggur. Bahkan HUBLA juga tidak berani mengambil sikap terhadap sebuah asosiasi pemilik kapal yang sudah dicabut izinnya oleh MENKUMHAM dengan tetap mengakui keberadaan organisasi tersebut.
Sebagai Pembina dari Asosiasi Pengusaha Perkapalan (INSA) dan Organisasi Pelaut(KPI), HUBLA bisa dengan mudah meminta pendapat dan masukan dari koleganya mengenai kondisi terkini dan prediksi kedepan permasalahan mereka untuk dicarikan jalan terbaik pemecahannya.

Dengan semakin bergulirnya waktu dan menumpuknya persoalan pelaut dan perkapalan Indonesia, dibutuhkan akselerasi tingkat tinggi untuk meningkatkan produktifitas kinerja mereka. Pembentukan Kelompok Kerja untuk menagani masalah ini sepertinya menjadi suatu pilihan yang baik untuk diambil, mengingat persoalan ini bukan hanya sebatas pada kapal dan pelautnya saja, tetapi lebih kepada kemajuan industri Indonesia secara umum.(zah)