PM 130 dan 135, aturan yang tidak baik dilakukan dengan cara yang salah -->

Iklan Semua Halaman

PM 130 dan 135, aturan yang tidak baik dilakukan dengan cara yang salah

07 November 2016









Peraturan Menteri Perhubungan nomor 130 dan 135 tentang pembagian DLKR dan DLKP khususnya di Samarinda dan Kuala Samboja/ Sungai Mahakam di laksanakan dengan cara yang sangat unik. Semenjak dibelakukan pada Juni 2016, peraturan menteri ini seperti salah kaprah karena tidak bisa dilaksanakan sebagai mana mestinya dan akhirnya dilakukan kesepakatan kesepakatan di lapangan untuk menyiasatinya rumitnya aturan ini diberlakukan.

Untuk sama sama diketahui bahwa pembagian Daerah kerja antara Samarinda dan Kuala Samboja sebelumnya terbagi menjadi dua, dimana seluruh sungai Mahakam dan area delta nya masuk kedalam lingkup KSOP Samarinda dan area di selatan delta Mahakam masuk m dalam daerah kerja Kanpel Kuala Samboja. 

Semenjak diberlakukannya PM 130 dan 135 dibulan Juni 2015 pembagian itu menjadi berubah dengan pemotongan sungai Mahakam menjadi dua bagian Wilayah kerja, daerah diatas Sungai Dondang masuk kedalam wilayah KSOP Samarinda sementara dari Sungai Dondang keselatan dan terus ke laut masuk kedalam wilayah kerja Kanpel Kuala Samboja. Konsekuensi dari diberlakukannya aturan tersebut adalah apabila kapal berlayar dari pelabuhan pelabuhan kecil di selatan Sungai Dondang seperti TUKS Handil ke arah utara yang berjarak kurang dari 1 mil atau ke area kerja milik milik Total E&P (Perusahaan pengeboran migas) memerlukan Surat Persetujuan Berlayar dari Kanpel Kuala Samboja. Sebaliknya apabila kapal kapal tersebut berlayar dari Samarinda dan daerah daerah kerja milik perusahaan pengeboran Total E&P tujuan Handil harus memiliki Surat Persetujuan Berlayar dari KSOP Samarinda.

Ditjen Perhubungan Laut menerbitkan surat perintah PP.30/6/20 DP-15 tertanggal 26 Oktober 2015 yang memerintahkan KSOP Samarinda dan Kanpel
Kuala Samboja untuk segera memberlakukan aturan itu dan juga memindahkan area Ship to Ship dari Muara Berau di utara ke Muara Jawa di Selatan. Surat itu di tanda tangani oleh Direktur Pelabuhan dan Pengerukan saat
itu Ir. A Tonny Budiono MM. Surat kedua yang dilayangkan oleh Dirpelpeng Ir. A Tonny Budiono tertanggal 5 November 2015 semakin menegaskan agar segera dilakukan pemindahan area Ship to Ship di daerah tersebut. Berbagai penolakan dilakukan oleh pelaku usaha yang menggantungkan hidupnya dari Sungai Mahakam, 2 kali demo massa dilakukan di kantor KSOP Samarinda menolak peraturan tersebut seperti diberitakan eMaritim
dalam
http://www.emaritim.com/2016/03/demo-penolakan-pm-130-dan-135-pecah-di_14.html

Bahkan Gubernur Kalimantan Timur yang peduli akan nasib warga dan iklim industri di wilayahnya sampai melayangkan surat ke Menteri Perhubungan, Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Koperasi/ UKM pada tanggal 16 Juni 2016 meminta Pemerintah pusat meninjau ulang kebijakan tersebut di wilayah Kalimantan Timur.

Lalu apa hubungannya pemecahan wilayah kerja antara Samarinda dan Kuala Samboja dengan urusan Ship to Ship? Kenapa Hubla begitu ngotot memerintahkan pemindahan area Ship to Ship dari Utara yang sepi dan aman dan sudah berlangsung bertahun tahun ke wilayah Selatan yang penuh dengan anjungan lepas pantai dan ratusan pipa bawah laut yang sudah ada disana lebih dari 30 tahun? Pelaku usaha disana pada akhirnya tidak pernah memindahkan area Ship to Ship ke selatan karena alasan keamanan karena mereka benar benar paham wilayah tersebut sampai semua resiko yang ada disana.

Sementara ekses lain dari PM 130 dan 135 seperti dijelaskan diatas adalah kapal kapal harus mengurus Surat Perintah Berlayar di Kanpel Kuala Samboja dan Samarinda berkali kali dalam sehari jika kapalnya berlayar naik dan turun Sungai Mahakam melewati Sungai Dondang yang melintang horizontal di daerah Handil 2. Sesuatu yang tidak masuk akal tersebut hanya dilakukan beberapa hari saja, karena tidak mungkin mengurus perizinan di Kuala Samboja dan Samarinda selanjutnya harus mengurus lagi dalam waktu 6 jam kemudian di pebuhan Samboja atau Samarinda.

Pada akhirnya disepakati bahwa kapal yang memiliki base di selatan, apabila berlayar ke utara hanya mengurus Izin Gerak dan begitu juga sebaliknya. Pelanggaran atas peraturan yang salah ini akan terus berlangsung sampai suatu saat hal yang tidak diinginkan terjadi, misalnya kapal berlayar dari Handil menuju Samarinda yang semestinya memiliki Surat Perintah Berlayar tetapi hanya memiliki Izin Gerak mengalami kecelakaan, maka akan sulit mencari siapa yang bertanggung jawab secara teritorial.
 
Aturan yang tidak baik apabila dipaksakan untuk diberlakukan hanya mempunyai satu hasil; ANYWAY BUT WRONG alias bagimanapun juga salah.