Rekomendasi KNKT atas kecelakaan Zahro Ekspress masih dangkal. -->

Iklan Semua Halaman

Rekomendasi KNKT atas kecelakaan Zahro Ekspress masih dangkal.

14 Januari 2017
Jakarta 14 Januari 2017, eMaritim.com

Surat Rekomendasi Segera yang dikeluarkan oleh Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Nomor KNKT/001/I/REK.KL/2017 tertanggal 4 Januari 2017 yang dimuat beberapa media massa terlihat isinya Prematur, Masih dangkal dan tidak mencerminkan kualitas sebuah lembaga yang dibentuk oleh Presiden Republik Indonesia.

Ke 10 rekomendasi tersebut bisa dikategorikan Tidak Berdasar, dan Tidak Teknis. eMaritim.com memilah kategori tersebut berdasarkan pengamatan atas bobot rekomendasi yang diberikan KNKT tersebut, berikut ulasan nya:

REKOMENDASI TIDAK BERDASAR :

Point 1. Pemasangan dinding penahan / penyekat api (Fire Wall Solas Chapter II atau aturan lainnya untuk pelayaran domestik A 60) di ruang mesin yang terbuat dari plat baja atau bahan lainnya yang tahan api disekitar mesin (semua posisi, samping kanan – kiri, atas dan muka-belakang) dan seterusnya.

Bagaimana mungkin rekomendasi ini diberikan/dikeluarkan sementara pada tanggal 4 Januari sementara investigasi dan pencarian korban masih berlangsung, sementara bangkai kapal hanya tersisa sisi bawah tanpa ruang mesin ? Dalam Solas pun ada beberapa perkecualian terhadap beberapa jenis kapal.

REKOMENDASI TIDAK TEKNIS

Point 2. Pemasangan alat pemadam kebakaran otomatis di ruang mesin (System Sprinkle), dan seterusnya.

Apabila berbicara bahaya kebakaran, maka rumus segitiga api adalah sesuatu yang menjadi acuan untuk memberikan rekomendasi. Kata System Sprinkle dan kata Racun api seperti sebuah kalimat ragu-ragu untuk menyebut Instalasi Tetap CO2 dipasang di kamar mesin dan seperti bukan bahasa baku Pelayaran.  Ketiga unsur api hampir selalu ada didalam kamar mesin kapal: Bahan, Panas dan Oksigen. CO2 adalah untuk mengeliminasi Oksigen dari Kamar mesin. Sementara sprinkler sendiri berarti alat pemercik yang bisa mengalirkan cairan atau gas.

Point 3.Setiap kapal dengan penumpang lebih dari 12 penumpang hendaknya diwajibkan memasang alat pemberi sinyal darurat atau yang dikenal dengan nama Emergency Position Indicating Radio Beacon (EPIRB), dan seterusnya 

Cara Kerja EPIRB adalah: memancarkan sinyal pada frekuensi 406 MHz ke satelit, diproses satelit, di pancarkan ke bumi, di terima stasiun Pantai/ SAR, diteruskan ke kapal-kapal sekeliling. Lalu SAR bersama-sama (jika ada) kapal lain menolong kapal dalam distress tersebut (dalam bahaya). Nah, kenapa repot-repot bicara soal EPIRB jika ada alat yang lebih simple, lebih efisien untuk kapal kayu tradisional dengan menggunakan SART, Smoke Signal, Parachute Signal dan VHF untuk meminta tolong kepada kapal dan radio pantai karena Zahro Ekspress hanya berlayar jarak pendek.

Point 8. Perlu dilakukan review untuk masalah sertifikat pengawakan kapal dengan kapasitas lebih dari dua belas penumpang khususnya kapal pelayaran rakyat atau speed boat, dimana saat ini sertifikat pengawaan untuk jenis kapal-kapal tersebut menggunakan Sertifikat Ketrampilan dan Kecakapan (SKK) yang dikelauarkan oleh KSOP yang ditunjuk. 

Hal ini adalah domain Perhubungan Laut, dan rekomendasi ini terkesan malah membingungkan masyarakat bahwa selama ini pengaturan dibidang sertifikat pelaut masih kurang baik. Sebagai sesama lembaga milik pemerintah sikap KNKT seperti menyalahkan sistem pemerintah dalam hal Sertifikasi, yang dalam hal ini adalah instansi Kementerian Perhubungan Direktorat Jendral Perhubungan Laut. Ulasan inipun tanpa menjelaskan kajian materi apa yang telah dilakukan oleh KNKT terhadap pendidikan dan ijazah SKK.

Point 10. Hendaknya perlu dipertegas sebagai single accountable person dari operasional sebuah pelabuhan sehingga tidak menimbulkan dualisme kepemimpinan di lapangan.

Pelabuhan boleh dibangun oleh siapa saja, bahkan oleh swasta. Otoritas di perairan mengacu kepada Rezim Internasional (IMO) ataupun Nasional (DJPL). Dalam hal Muara Angke, pelabuhan dibangun oleh Dishub DKI, tetapi otoritas di tangan HUBLA/DJPL. Dualisme apa yang telah di analisis oleh KNKT.

REKOMENDASI TIDAK  BERDASAR DAN TIDAK TEKNIS

Point 9. Memberlakukan aturan untuk penggantian selang bahan bakar secara periodik atau jika telah mengalami penuaan atau crack. Penggantian selang sebaiknya dilakukan setiap lima tahun sekali atau jika didapati kerusakan dan menggunakan bahan yang memenuhi standar marine.

Setiap produk memiliki karakteristik teknis berbeda termasuk masa validitasnya. Hal ini pun tidak jelas apa dasarnya, karena penyebab kebakaran KM Zahro Ekspress masih di investigasi pada saat rekomendasi ini di publikasi.
                   
Point 4. Kapal hendaknya diwajibkan untuk melaporkan posisinya setiap 30 menit (disesuaikan dengan kondisi lokal) kepada operator radio setempat. Sehingga jika terjadi sesuatu kondisi darurat, maka operator radio pantai akan segera dapat mengetahui posisi kapal tersebut dan menyampaikan ke BNPP untuk dilakukan pertolongan.

Dalam praktek good seamanship tentang navigasi hal ini sudah menjadi standard baku untuk pelayaran pantai ataupun penyeberangan.

Point 5. Nahkoda diharuskan untuk melaporkan ke radio pantai jika mengalami kondisi darurat dan juga melaporkan posisi kapal. 

Sama dengan point 5, rekomendasi ini terlihat hanya sekedar ada tulisannya saja tapi bobotnya hampa buat pelaku dunia maritim. Tanpa diperintah, seorang Nakhoda pasti akan secara refleks melakukan 2 hal dalam keadaan bahaya: memberi tahu awak kapal/penumpang dan memberi tahu pihak luar lewat lewat sarana Audio (radio) dan visual (signal) yang ada diatas kapal.

Point 6. Kapal harus memiliki pintu darurat yang cukup memadai baik dari segi jumlah maupun posisinya yang disesuaikan dengan kapasitas penumpangnya, maka jika terjadi kondisi darurat penumpang dengan tenang / tidak berebut untuk dapat segera keluar dari kapal.

Saat investigasi yang sedang berlangsung, bagaimana KNKT bisa menyimpulkan bahwa Zahro Ekspress tidak memiliki pintu darurat yang memadai? Kenapa hal lain seperti Life Raft tidak disebut sama sekali dalam rekomendasi apabila ingin lebih teknis? Manusia tidak bisa berlama lama terapung di air tanpa alat bantu ataupun alat keselamatan yang lebih baik dari sekedar pelampung, yaitu Life Raft (rakit penolong).

Point 7. Dirjen Perhubungan Laut agar mewajibkan crew kapal terutama Nakhoda untuk diberikan pelatihan tentang tanggap darurat di kapal yang meliputi kapal terbakar, terjadi kebocoran, mesin mati, cuaca buruk dan lain-lain serta mendisiplinkan untuk melakukan praktis tanggap darurat setiap dua minggu sekali atau disesuaikan dengan standar aturan yang ada.

Terlihat bahwa pengetahuan yang tidak meluas dan tidak mendalami dunia maritim, dimana setiap awak kapal harus melewati sekolah dan kursus yang banyak yang diantaranya menyangkut bidang keselamatan. Kursus dan sertifikat seperti BST (Basic Safety Training), SCRB (Survival Craft Rescue Boat), FF (Fire Fighting), MFA (Medical First Aid) adalah hal wajib buat awak kapal terutama perwiranya.. Sementara untuk kapal pengangkut penumpang, Safety Induction kepada penumpang biasanya dilakukan di saat sebelum naik kapal, dengan cara audio, visual (posters) dan video peragaan.

Atas rekomendasi-rekomendasi yang diberikan KNKT kepada khalayak dan dimuat media massa, sebaiknya Menteri Perhubungan dan jajarannya meneliti apakah benar hal tersebut mewakili dan atas dasar investigasi kecelakaan KM Zahro Ekspress. Jangan sampai kasus di bulan Agustus 2016 seperti diberitakan eMaritim dibawah ini http://www.emaritim.com/2016/08/ketua-knkt-diminta-mundur-dari.html?m=1

Semakin mencoreng wajah Kementerian Perhubungan dengan rekomendasi  kelas amatiran yang di berikan KNKT.(jan)