Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Ir. A. Tonny Budiono, MM |
Jakarta, eMaritim.com - Direktur Jenderal Perhubungan Laut,
Ir. A. Tonny Budiono, MM mengeluarkan Maklumat Pelayaran No. 21/II/DN.17
tanggal 13 Februari 2017 yang menginstruksikan kepada seluruh jajaran
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut terutama para Kepala Syahbandar dan para
Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) agar tetap mewaspadai adanya cuaca ekstrim
dan gelombang tinggi yang masih terjadi di sebagian wilayah perairan Indonesia.
Maklumat Pelayaran ini dikeluarkan menyusul peringatan dini
dari Badan Meteorologi,Klimatologi dan Geofosika (BMKG) yang memperkirakan
bahwa pada tanggal 12 s.d. 18 Februari 2017 akan terjadi cuaca ekstrim dengan
gelombang setinggi 2,5 s.d. 4 meter serta hujan lebat disertai angin kencang
dan petir pada beberapa wilayah perairan yaitu:
1. Perairan Sabang, Perairan Bengkulu dan Pulau Enggano,
Perairan Barat Lampung, Perairan Timur Kep.Riau dan Lingga, Laut Natuna,
Perairan Kep.Natuna dan Anambas, Selat Sunda Bagian Selatan, Perairan Selatan
Pulau Jawa, dan Perairan Kep. Sangihe-Talaud.
2. Perairan Bitung-Manado, Perairan Kep. Halmahera, Laut
Arafura, Laut Timor, Perairan Sorong, Perairan Manokwari dan Perairan Kep.Sula.
Terkait dengan adanya peringatan BMKG tersebut, sebagai
upaya peningkatan keselamatan pelayaran, Dirjen Hubla mengingatkan kembali
kepada seluruh Syahbandar untuk melakukan pemantauan ulang kondisi cuaca setiap
hari melalui situs BMKG serta menyebarluaskan hasil pemantauan tersebut kepada
pengguna jasa dengan memampangkannya di terminal atau tempat
embarkasi/debarkasi penumpang.
"Apabila kondisi cuaca membahayakan keselamatan kapal,
maka Syahbandar harus menunda pemberian Surat Persetujuan Berlayar (SPB) sampai
kondisi cuaca di sepanjang perairan yang akan dilayari benar-benar aman",
jelas Tonny.
Selain itu, Dirjen Hubla juga meminta kepada seluruh
operator kapal khususnya para nakhoda agar melakukan pemantauan kondisi cuaca
sekurang-kurangnya 6 (enam) jam sebelum kapal berlayar dan melaporkan hasilnya
kepada Syahbandar saat mengajukan permohonan SPB.
"Selama pelayaran di laut pun nakhoda wajib melakukan
pemantauan kondisi cuaca setiap 6 (enam) jam dan melaporkannya kepada Stasiun
Radio Pantai (SROP) terdekat," imbuhnya.
Jika terjadi cuaca buruk, Tonny menambahkan, kapal tersebut
harus segera berlindung di tempat yang aman dan segera melaporkannya kepada
Syahbandar dan SROP terdekat dengan menginformasikan posisi kapal dan kondisi
cuaca di sekitar.
Selanjutnya, melalui Maklumat Pelayaran ini juga Dirjen
Tonny menginstruksikan kepada seluruh Kepala Pangkalan Penjagaan Laut dan Pantai
(PLP) dan Kepala Distrik Navigasi agar selalu mensiapsiagakan kapal-kapal
negara (kapal patroli KPLP/kapal perambuan) untuk dapat segera memberikan
pertolongan jika sewaktu-waktu terjadi kecelakaan kapal.
"Dan apabila terjadi kecelakaan di laut maka Kepala SROP dan nakhoda kapal
harus segera berkoordinasi dengan Pangkalan PLP untuk selanjutnya dapat
dilaporkan kepada Pos Komando Pengendalian dan Operasional (Poskodalops) serta
Kantor Pusat Ditjen Hubla", tambah Tonny.
Dengan dikeluarkannya Maklumat Pelayaran ini diharapkan
seluruh jajaran Ditjen Hubla khususnya para petugas di lapangan dapat lebih
meningkatkan pengawasan terhadap keselamatan pelayaran.
"Namun sekali lagi saya tegaskan bahwa keselamatan
pelayaran tidak akan terwujud tanpa adanya sinergi antara regulator, operator,
dan masyarakat pengguna jasa transportasi laut itu sendiri," tegas Tonny.
Hal ini sejalan dengan arahan Menteri Perhubungan Budi Karya
Sumadi agar seluruh pemangku kepentingan di bidang transportasi untuk
mewaspadai dan mengantisipasi perubahan cuaca yang ekstrem yang dapat
menyebabkan terjadinya kecelakaan transportasi.