Balikpapan 20 Maret 2017, eMaritim.com.
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut sampai saat ini masih belum memberikan tanda tanda kapan pemberlakuan Non Convention Vessel Standard (NCVS) akan dimulai di Indonesia. Padahal kalau melihat Keputusan Menteri Perhubungan tahun 2009 dengan KM nomor 65 dan telah diterbitkan nya buku tentang aturan NCVS oleh Direktur Jenderal Perhubungan Laut saat masih dijabat oleh Bapak Leon Muhammad pada tahun 2012, sepertinya hal tersebut hanya tinggal mengetuk palu saja. Tapi tanpa terasa sudah 5 tahun berlalu dan tidak seorangpun membicarakan hal tersebut lagi.
Apakah NCVS itu sebenarnya? Seperti diketahui bahwa International Maritime Organization (IMO) memberikan kewenangan kepada setiap negara anggotanya untuk mengatur kapal-kapal sebagai berikut;
- Kapal segala ukuran yang berlayar dalam negeri.
- Kapal berukuran GT 500 Ton kebawah yang berlayar di pelayaran internasional.
Sebagai anggota IMO Indonesia sebenarnya bebas untuk membuat standard tersebut dan itu sudah dilakukan oleh pendahulu kita pada 2012 lalu, tapi sampai berita ini diturunkan tidak ada tanda tanda keinginan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut untuk melakukannya.
Dengan tetap mengadopsi aturan IMO untuk semua kapal yang ada di negara kita, bisa dibilang membuat ekonomi menjadi berbiaya tinggi dan potensi penyelewengan atau pelanggaran terhadap aturan menjadi besar sekali. Dan itulah yang memang terjadi selama ini. Dengan jumlah setifikat yang bertumpuk, sebuah kapal selalu dihantui oleh biaya sertifikat yang tidak pernah sesuai biayanya dengan tarif PNBP. Tidak hanya HUBLA yang mengeluarkan sertifikat, karena Biro Klasifikasi Indonesia sebagai Klas kapal kapal berbendera Indonesia adalah lembaga yang mengeluarkan sertifikat lebih banyak lagi dari HUBLA. Ada sertifikat yang dikeluarkan oleh Bidang Teknik BKI untuk sertifikat klas yang wajib, ada juga sertifikat yang dikeluarkan oleh Bidang Komersial BKI untuk sertifikat yang tidak wajib, tetapi diminta oleh calon pengguna kapal. Satu hal yang pasti, semua tidak ada yang gratis dan semua tidak pernah sama antara satu tempat dengan tempat lainnya, antara diurus oleh Agen A dan Agen B . Inilah hebatnya negara Maritim impian Presiden Joko Widodo. Tidak heran banyak kapal yang kehabisan uang untuk mengurus sertifikat mengambil jalan pintas dengan membuat sertifikat palsu.
Apabila NCVS diberlakukan, maka negara kita boleh menentukan berapa banyak sertifikat kapal dan apa saja yang dibutuhkan tanpa harus mengacu kepada aturan IMO dan tentu akan ada perubahan besar dari jumlah sertifikat tersebut serta biayanya. Maukah HUBLA dan BKI benar benar memberlakukan aturan ini serta kehilangan banyak customer karena umumnya kapal di negara ini berukuran dibawah 500 GT? Kita doakan agar ada Pejabat yang benar-benar paham akan penting nya arti standarisasi yang sepadan. Sekarang ini jumlah sertifikat kapal makin bertambah saja, bahkan untuk kapal sekelas Tug Boat ada Sertifikat Anti Teritip, Rencana Pola Trayek, Sewage sertifikat dan hal lain yang merupakan produk turunan IMO. Padahal semua tahu, IMO saja tidak mau mengurus kapal kapal yang disebutkan diatas. Malah kita yang memerintahkan kapal-kapal tersebut untuk memberlakukan hal itu.
Tanyakan kepada pemilik kapal, setelah habis-habisan membayar sertifikat kapal apakah mereka tenang? Jawabannya tidak. Karena kapalnya masih bisa dinaiki dan diperiksa oleh berbagai macam petugas dari berbagai instansi diatas air. Ada Angkatan Laut, KPLP, KP3, Pol Air, Bakamla, bahkan sampai Ormas pun ikut ikutan menaiki kapal dan memeriksa sertifikat kapal.
Apabila Indonesia mau memiliki Tol Laut dan menjadi Poros Maritim dunia, pemerintah wajib membereskan aturan yang semrawut dan rebutan kuasa di laut. Kalau Aturan mengenai NCVS diberlakukan dengan baik dan tegas, maka sertifikat kapal yang setumpuk itu bisa diringkas menjadi lebih simpel dengan tetap mengedepankan aspek Keselamatan Pelayaran pada prioritas tertinggi. Serta tidak lupa untuk memperbaiki UU no.17 tahun 2008 yang masih banyak celahnya untuk penyelewengan.(Capt. Zaenal A Hasibuan)
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut sampai saat ini masih belum memberikan tanda tanda kapan pemberlakuan Non Convention Vessel Standard (NCVS) akan dimulai di Indonesia. Padahal kalau melihat Keputusan Menteri Perhubungan tahun 2009 dengan KM nomor 65 dan telah diterbitkan nya buku tentang aturan NCVS oleh Direktur Jenderal Perhubungan Laut saat masih dijabat oleh Bapak Leon Muhammad pada tahun 2012, sepertinya hal tersebut hanya tinggal mengetuk palu saja. Tapi tanpa terasa sudah 5 tahun berlalu dan tidak seorangpun membicarakan hal tersebut lagi.
Apakah NCVS itu sebenarnya? Seperti diketahui bahwa International Maritime Organization (IMO) memberikan kewenangan kepada setiap negara anggotanya untuk mengatur kapal-kapal sebagai berikut;
- Kapal segala ukuran yang berlayar dalam negeri.
- Kapal berukuran GT 500 Ton kebawah yang berlayar di pelayaran internasional.
Sebagai anggota IMO Indonesia sebenarnya bebas untuk membuat standard tersebut dan itu sudah dilakukan oleh pendahulu kita pada 2012 lalu, tapi sampai berita ini diturunkan tidak ada tanda tanda keinginan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut untuk melakukannya.
Dengan tetap mengadopsi aturan IMO untuk semua kapal yang ada di negara kita, bisa dibilang membuat ekonomi menjadi berbiaya tinggi dan potensi penyelewengan atau pelanggaran terhadap aturan menjadi besar sekali. Dan itulah yang memang terjadi selama ini. Dengan jumlah setifikat yang bertumpuk, sebuah kapal selalu dihantui oleh biaya sertifikat yang tidak pernah sesuai biayanya dengan tarif PNBP. Tidak hanya HUBLA yang mengeluarkan sertifikat, karena Biro Klasifikasi Indonesia sebagai Klas kapal kapal berbendera Indonesia adalah lembaga yang mengeluarkan sertifikat lebih banyak lagi dari HUBLA. Ada sertifikat yang dikeluarkan oleh Bidang Teknik BKI untuk sertifikat klas yang wajib, ada juga sertifikat yang dikeluarkan oleh Bidang Komersial BKI untuk sertifikat yang tidak wajib, tetapi diminta oleh calon pengguna kapal. Satu hal yang pasti, semua tidak ada yang gratis dan semua tidak pernah sama antara satu tempat dengan tempat lainnya, antara diurus oleh Agen A dan Agen B . Inilah hebatnya negara Maritim impian Presiden Joko Widodo. Tidak heran banyak kapal yang kehabisan uang untuk mengurus sertifikat mengambil jalan pintas dengan membuat sertifikat palsu.
Apabila NCVS diberlakukan, maka negara kita boleh menentukan berapa banyak sertifikat kapal dan apa saja yang dibutuhkan tanpa harus mengacu kepada aturan IMO dan tentu akan ada perubahan besar dari jumlah sertifikat tersebut serta biayanya. Maukah HUBLA dan BKI benar benar memberlakukan aturan ini serta kehilangan banyak customer karena umumnya kapal di negara ini berukuran dibawah 500 GT? Kita doakan agar ada Pejabat yang benar-benar paham akan penting nya arti standarisasi yang sepadan. Sekarang ini jumlah sertifikat kapal makin bertambah saja, bahkan untuk kapal sekelas Tug Boat ada Sertifikat Anti Teritip, Rencana Pola Trayek, Sewage sertifikat dan hal lain yang merupakan produk turunan IMO. Padahal semua tahu, IMO saja tidak mau mengurus kapal kapal yang disebutkan diatas. Malah kita yang memerintahkan kapal-kapal tersebut untuk memberlakukan hal itu.
Tanyakan kepada pemilik kapal, setelah habis-habisan membayar sertifikat kapal apakah mereka tenang? Jawabannya tidak. Karena kapalnya masih bisa dinaiki dan diperiksa oleh berbagai macam petugas dari berbagai instansi diatas air. Ada Angkatan Laut, KPLP, KP3, Pol Air, Bakamla, bahkan sampai Ormas pun ikut ikutan menaiki kapal dan memeriksa sertifikat kapal.
Apabila Indonesia mau memiliki Tol Laut dan menjadi Poros Maritim dunia, pemerintah wajib membereskan aturan yang semrawut dan rebutan kuasa di laut. Kalau Aturan mengenai NCVS diberlakukan dengan baik dan tegas, maka sertifikat kapal yang setumpuk itu bisa diringkas menjadi lebih simpel dengan tetap mengedepankan aspek Keselamatan Pelayaran pada prioritas tertinggi. Serta tidak lupa untuk memperbaiki UU no.17 tahun 2008 yang masih banyak celahnya untuk penyelewengan.(Capt. Zaenal A Hasibuan)