Nasib Azaz Cabotage setelah berlakunya PM 100 Menteri Perhubungan -->

Iklan Semua Halaman

Nasib Azaz Cabotage setelah berlakunya PM 100 Menteri Perhubungan

15 Maret 2017
Jakarta 15 Maret 2017, eMaritim.com

Peraturan Menteri Perhubungan No.100 Tentang tata cara dan persyaratan pemberian izin penggunaan kapal asing untuk kegiatan lain yang tidak termasuk kegiatan mengangkut penumpang dan atau barang dalam kegiatan angkutan laut dalam negeri yang mulai diundangkan pada 6 September 2016 seperti mengembalikan Azaz Cabotage di Indonesia ke titik awal setelah bertahun tahun diperjuangkan dan terbukti sukses.

Jika dalam PM 200 (yang di gantikan oleh PM 100) pengunaan kapal asing sudah sangat dibatasi, di dalam PM 100 keran tersebut seperti dibuka kembali. Ini tertuang langsung di dalam pembukaan PM 100 itu sendiri dalam hal pertimbangan yang mengatakan :
" menimbang bahwa dalam rangka menjamin kepastian hukum dan berusaha dalam penggunaan kapal asing untuk kegiatan kegiatan lain yang tidak termasuk kegiatan mengangkut penumpang dan atau barang dalam kegiatan angkutan laut dalam negeri, perlu dilakukan percepatan pemberian izin penggunaan kapal asing". Kalimat ini jelas dan sempurna menyatakan bahwa PM 100 ini dibuat menggantikan PM 200 untuk memudahkan kapal asing digunakan di Indonesia. Padahal semangat Azaz Cabotage sendiri adalah untuk menggunakan kapal Indonesia di setiap kegiatan pelayaran di perairan Indonesia. Disinilah letak kontradiksi aturan tersebut yang bertolak belakang dengan semangat dan Nawa Cita Presiden Republik Indonesia untuk memajukan dunia maritim negeri ini.

Dalam pengadaan kapal di lingkup SKK Migas dan bidang lain nya, saat ini kapal Indonesia bisa dipertandingkan melawan kapal asing walaupun ada klausul yang mengatakan bahwa kapal Indonesia akan diproses lebih dahulu. Apabila harga yang ditawarkan oleh kapal Indonesia tidak sama atau lebih kecil dari budget penyelenggara tender, maka penawaran kapal asing akan dibuka dan bisa menjadi pemenang lelang apabila harganya lebih murah dari kapal Indonesia. Seperti diketahui semua pihak, perusahaan pelayaran Indonesia yang membeli kapal melalui pendanaan perbankan nasional akan dibebani bunga sebesar 10-12 persen. Bisa dibayangkan apabila harus berhadapan dengan perusahaan Jepang sebagai contoh, dimana bunga bank nya hanya 0,1 persen. Artinya apabila Perusahaan Pelayaran Indonesia memiliki loan selama 10 tahun maka harga kapal yang dibayar  2 kali lipat lebih mahal dari perusahaan pelayaran Jepang. Sudah barang tentu perusahaan pelayaran Indonesia tidak akan sekuat perusahaan pelayaran asing dalam hal memberikan harga yang murah. Tapi setidaknya pemerintah tidak harus kehilangan kesempatan membesarkan industri pelayaran nasional lewat pengaturan yang baik dalam hal ini.

Disinilah letak tidak konsisten nya pemerintah atas apa yang sudah menjadi cita citanya sendiri. Perusahaan perusahaan BUMN lainnya seperti Telkom, Pelindo, dan PLN dalam lelang pengadaan kapal pun tidak menyebutkan soal prioritas kapada kapal-kapal berbendera Indonesia. Pembinaan pemerintah kearah pemenuhan Azaz Cabotage terlihat tidak ada arahnya, karena kurang nya pemahaman akan permasalahan industri pelayaran di negara ini.

Lalu pada PM 100 Bab I pasal 2 (2)  dicantumkan pada poin (d) penunjang operasi lepas pantai, yang kalau diartikan sebagai kapal penunjang operasi lepas pantai. Dalam kegiatan pengeboran lepas pantai, harus jelas pemisahan antara bisnis primer, bisnis sekunder dan bisnis tertier. Bisnis primer dalam kegiatan pengadaan kapal-kapal adalah: Kapal Seismic, Rig, Kapal Konstruksi dan Kapal Tanker. Keberadaan bisnis primer ini akan membutuhkan kapal kapal support yang masuk dalam bisnis sekunder. Artinya untuk kapal penunjang operasi lepas pantai yang tidak termasuk dalam bisnis primer tersebut sudah mutlak harus berbendera Indonesia. Jika Kapal Seismic dan Rig serta Cable/Pipe Lay  saja sudah ada yang berbendera Indonesia, kenapa kapal penunjang operasi lepas pantai yang merupakan bisnis sekunder di buka kembali untuk kapal asing ?

Hal lain yang menjadi kemunduran langkah pemerintah dalam hal ini adalah, di PM 100 keberadaan dan peran asosiasi pelayaran DPP INSA dihilangkan dari aturan tersebut. Padahal di PM 200 ada sebuah tim yang akan mengevaluasi keberadaan kapal Indonesia untuk seterusnya memberikan masukan ke pemerintah. Tim tersebut terdiri dari para Direktur di HUBLA, Biro Hukum HUBLA, DPP INSA dan Stake Holder terkait. Padahal yang paling tau jumlah kapal dan data perusahaan pelayaran di Indonesia adalah Asosiasi tersebut, bukan pemerintah. Kapan kapal Indonesia bisa berkompetisi dan kembali menguasai dunia pelayaran, jika didalam negeri pun tidak didukung oleh pemerintahnya ? (Capt. Zaenal A Hasibuan/Forum Komunikasi Maritim Indonesia-FORKAMI)