Bereskan Mental, Lanjutkan Tol Laut dengan Jujur dan Terbuka -->

Iklan Semua Halaman

Bereskan Mental, Lanjutkan Tol Laut dengan Jujur dan Terbuka

06 April 2017










Jakarta 6 April 2017, eMaritim.com

Pemahaman masyarakat Indonesia dan instansi pemerintah mengenai cara mensukseskan program Tol Laut dan Poros Maritim impian Presiden Joko Widodo sangat beragam. Ada yg mengatakan : Tenggelamkan kapal asing agar Nelayan makmur, ada yang mengatakan naikkan Pendapatan Negara dari Retribusi kapal kapal, ada yang mengatakan bangun kapal Navigasi yang banyak dengan uang negara, ada yang mengatakan sekolahkan anak-anak bangsa di sekolah pelayaran sebanyak banyaknya, ada juga yang bilang bangun pelabuhan agar setiap kota bisa melakukan ekspor langsung ke luar negeri, dan banyak lagi jawaban jawaban aneh yang dilemparkan oleh orang untuk sebuah pertanyaan yang sama.

Sementara sebagian orang masih bingung akan arti Tol Laut, presiden sudah mencium gelagat bahwa impian nya tidak akan pernah terwujud apabila mental bawahannya tidak di revolusi. Walhasil SABER PUNGLI seperti panen tangkapan di sektor pelabuhan dan pelayaran dengan kasus kasus fantastis yang sedang ditanganinya, walaupun tetap saja ada yang membandel dengan masih bermain-main dengan APBN ataupun melakukan pungli. Kalau ditengok kebelakang sejak dibentuknya SABER PUNGLI, maka yang tertangkap tangan atau pun dalam penyelidkan dari sektor pelayaran dan pelabuhan jumlahnya akan ada di ranking pertama. 

Di saat pelaku utama kehidupan maritim merana (pelaut dan pemilik kapal), oknum-oknum Pelabuhan, Pelayaran, dan Kepelautan malah asik membicarakan PNBP dan tetap melakukan pungli. Contoh pungli yang terjadi di Samarinda bukan cuma oleh Komura, kapal yang lewat di sepanjang sungai Mahakam pun seperti menunggu nasib dinaiki petugas untuk dimintai uang ataupun minyak, kalaupun masih kurang maka mereka akan mendatangi perusahaan pelayaran satu persatu untuk menagih jatahnya. Kota-kota lain di Kalimantan memiliki kisah yang sama, dimana para aparat yang seharusnya menjadi pelindung kapal dan pelaut malah menjadi momok yang menakutkan untuk dilihat.

Pemerintah Indonesia seharusnya paham bahwa industri pelayaran sedang mengalami koma yang sangat penjang, pelaut tidak ada pekerjaan, perbankan pusing karena pelayaran banyak yang gagal bayar. Pemerintah malah membangun ratusan kapal dengan biaya yang tidak main main. Kapal sekelas Kapal Pengamat Perambuan saja yang tidak jauh beda dengan Kapal KelasTug boat 2000 HP dibuat dengan biaya 32 Milyard, bukan jumlah yang sedikit kecuali kapal tersebut dilengkapi oleh peralatan canggih seperti A-Frame, DGPS, dan lainnya. Padahal untuk fungsi tersebut ada cara yang lebih efisien dan bebas dari keterikatan biaya perawatan dan operasional kapal yang bisa sampai 3 milyard setahunnya. Bisa dibayangkan setelah 10 tahun berapa uang yang dipakai untuk mengamati buoy dilaut. Padahal semua kapal niaga pemakai jasa buoy biasa melakulan laporan dan melakukan koreksi peta jika ada perubahan ataupun buoy hilang.

Setelah kejadian Zahro Ekspress yang terbakar dan menewaskan puluhan korban yang tidak berdosa, apakah langkah kongkrit pemerintah dalam melakukan perbaikan di sisi keselamatan pelayaran? Kalaupun ada dan diklaim sebagai langkah meningkatkan keselamatan, mungkin menangkapi kapal yang sertifikatnya mati adalah jawabannya. Seharusnya aspek keselamatan pelayaran yang diprioritaskan, dalam bentuk tindakan preventif bukan sibuk bangun kapal ataupun penetapan tarif tarif baru di bidang pelayaran. Terlalu banyak yang berlebihan dan merasa instansinya paling penting disaat pembahasan Anggaran Belanja Kementrian. Maka bersukurlah rakyat Indonesia dengan adanya KPK dan Saber Pungli ini. Sayang nya belum ada yang menoleh kearah pembangunan kapal kapal Tol Laut dan kapa kapal yang sifatnya bukan mutlak, menarik disimak dengan melibatkan pihak luar dalam menilai kewajaran harga harga kapal yang dibangun dengan uang negara.

Mahalnya biaya logistik tidak terlepas dari aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah sendiri, walau kadang tidak disadari oleh sang pembuat aturan. Sementara hal yang bersifat fundamental untuk mengurangi biaya kapal seperti penggolongan kapal kelas NCVS tidak pernah disentuh, padahal itu sangat bagus untuk mengurangi biaya sertifikat-serifikat kapal yang sangat besar.
Tidak dipakainya aturan NCVS yang sebenarnya sudah diamanatkan dalam bentuk KM Menteri Perhubungan no.65 tahun 2009 bahkan merugikan kapal dan pemiliknya lebih jauh lagi. Seperti kapal kapal yang dipakai di lingkup kegiatan Migas selama ini, karena ketidak pahaman pengguna kapal di sektor ini maka pemilik kapal seperti bekerja sia sia, karena hasil yang didapat habis dipakai untuk pemenuhan biaya aturan dan sertifikat yang banyak. 

Pesan yang baik dan jujur harusnya sampai kepada Presiden Republik Indonesia, teruskan SABER PUNGLI dan dorong KPK kedalam projek projek besar Tol Laut, Pembangunan Pelabuhan, dan lain lain. Ajak LSM dan Organisasi Kemaritiman dalam menilai kebijakan, menghitung anggaran dan budayakan trasnparansi pelaporan.
Setelah mental beres, barulah haluan kapal bisa diarahkan ke tujuan yang mulia.**(put)

**catatan Capt. Zaenal A Hasibuan,  pemimpin eMaritim. com yang menjadi insan maritim sejak tahun 1986 atas pilihan sendiri.