Jakarta 10 Juni 2017, eMaritim.com
Menyambut Hari Pelaut Sedunia (Seafarers day) yang akan jatuh pada tanggal 25 Juni nanti , redaksi eMaritim.com menurunkan tulisan mengenai keadaan dunia pelaut di Indonesia dari berbagai sumber.
Sejarah Pelaut Indonesia sudah dimulai berabad abad lalu saat Kerajaan Sriwijaya di Abad ke 7 mengusai perairan di Asia, Nenek Moyang kita yang gagah itu melayarkan kapal nya sampai melintasi benua untuk berniaga. Tradisi itu dilanjutkan oleh Bangsa Bugis dengan kapal kapal Phinisinya di abad 14-17, mereka sanggup berlayar jauh menaklukkan ganasnya gelombang sampai ke Afrika Selatan.
Berkembangnya pelayaran dunia setelah Revolusi Industri di Eropa menggeser cerita kejayaan pelaut, dimana dahulu Sang Nakhoda adalah pemilik kapal yang dilayarinya berubah menjadi profesi dimana sang Nakhoda bekerja untuk pemilik kapal.
Profesi yang rumit dengan ritme hidup yang keras dan jauh dari kehidupan sosial membuat pelaut sulit melakukan aktivitas sosialnya saat berada di darat, termasuk untuk ikut aktif memainkan peran dalam perkembangan dunia pendidikan pelaut modern seperti sekarang ini. Sebagai pelaku utama dari sistem perdagangan antar negara dan antar benua, pelaut sudah seharusnya memiliki sebuah perkumpulan yang dapat melindungi dan memperjuangkan hak-hak nya yang sering terpinggirkan.
Organisasi pelaut yang selama ini ada di Indonesia seperti Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) juga mengalami kesulitan yang sama karena memang Profesi pelaut terdiri dari rangking yang berbeda beda. Secara garis besar penggolongan itu terbagi antara Perwira Pelayaran Niaga dan Anak Buah Kapal (ABK). Sistem Hierarki diatas kapal adalah baku, dimana Nakhoda dan Kepala Kamar Mesin(KKM) pasti berasal dari golongan Perwira Pelayaran Niaga dan memiliki kualifikasi yang dipersaratkan oleh negara dan Internasional (IMO).
Dengan sumbangan devisa buat negara sekitar 16 trilyun setahun (data 2016), sudah selayaknya pelaut mendapatkan perhatian yang lebih baik dan Pelaut juga seharusnya memiliki posisi tawar yang lebih baik. Lalu kenapa Pelaut belum bisa berbicara banyak di Indonesia ? Jawaban nya adalah karena mereka tidak banyak yang menyadari penting nya Organisasi Profesi dan cenderung tetap individualis selama ini.
Saat seorang Mahasiswa Lulus dari Universitasnya, organisasi profesi masing masing sudah menanti dan menjadi acuan untuk dimasuki para lulusan tersebut. Bagaimana dengan Perwira Pelayaran Niaga saat mereka Lulus dari Perguruan Tinggi Pelayaran?
Di dunia Kepelautan Indonesia sebenarnya sudah ada organisasi legal dan legitimate untuk Para Perwira tersebut, seperti Ikatan Perwira Pelayaran Niaga Indonesia (IKPPNI), Ikatan Nakhoda Niaga Indonesia (INNI)dan Ikatan Marine Engineer (ImarE). Perjuangan yang dilakukan segelintir pionir dalam organisasi-organisasi tersebut sejauh ini masih belum direspons dengan baik oleh rekan-rekan Profesinya. Keinginan untuk mendapatkan kesetaraan dengan Profesi yang lain semestinya bisa diperjuangkan lewat Organisasi Profesi. Karena tanpa Organisasi profesi maka suara-suara individu tidak akan bisa diakomodasi oleh Regulator dunia Pelayaran. Hal yang sama juga berlaku di dunia Internasional, dimana IMO hanya meminta masukan dari organisasi yang legitimate untuk membahas kebijakannya bukan dari individu.
Sementara Industri Maritim lainnya di Indonesia sudah memiliki organisasi yang mapan, seperti INSA untuk Pengusaha Kapal, APBMI untuk usaha bongkar muat ataupun ALFI untuk asosiasi logistik forwarder.
Kesadaran Para Perwira Pelayaran Niaga akan pentingnya organisasi Profesi, tentu akan mampu merubah wajah Industri Pelayaran di Indonesia dimana Regulator, Asosiasi Pengusaha , dan Organisasi Perwira Pekayaran Niaga Indonesia/ Ikatan Nakhoda Niaga Indonesia/ Ikatan Marine Engineer akan berdiri sama tinggi dalam membantu mewujudkan cita-cita bangsa menjadi Negara Maritim yang kuat.(janno)