Napak Tilas Sejarah Pelaut Indonesia, Bukan Djongos Kapal -->

Iklan Semua Halaman

Napak Tilas Sejarah Pelaut Indonesia, Bukan Djongos Kapal

25 Juni 2017
Jakarta 25 Juni 2017, eMaritim.com


Menyebut Indonesia sebagai bangsa pelaut, haruslah menempatkan pelaut dan kapal Indonesia sebagai pemeran utama dari lakon sejarah itu sendiri. Maka dari itu para ahli sejarah menggolongkan masa-masa tersebut menjadi 3 periode besar sebagai berikut ;
1.The first archipelagic State (Negara Nusantara Pertama), Sriwijaya;
2.The second  archipelagic State (Negara Nusantara II), Majapahit
3.The third archipelagic State (Negara Nusantara III), Republik Indonesia setelah 1945.

Periode sejarah bangsa pelaut antara akhir kerajaan Majapahit (1478), kedatangan bangsa Portugis (1511), datangnya armada kapal Belanda (1596), sampai dengan berdirinya Republik Indonesia (1945) dicatat sebagai Sejarah Hitam bangsa. Hal ini dikarenakan tidak banyak perkembangan dunia maritim Nusantara dimasa penjajah menguasai negeri ini sampai berakhirnya penjajahan Jepang  pada 17 Agustus 1945.

Catatan dan bukti sejarah mengenai kejayaan negara maritim Sriwijaya dan Majapahit banyak ditemukan di artefak, candi dan jejak peninggalan pelaut nenek moyang Indonesia sampai Madagaskar, Persia, India,  Asia Timur, Polinesia, dan  Australia. Bahkan di  relief candi Borobudur, selain kapal bercadik, juga didapati peninggalan ilmu astronomis nenek moyang kita berupa pahatan rasi bintang Ursa Mayor dengan 7 buah bulatan yang menggambarkan bintang dan diapit oleh bulan sabit dan matahari. Dari mana mereka tahu rasi Ursa Mayor? karena rasi bintang ini hanya terlihat di lintang utara, sementara pulau jawa sendiri ada di lintang selatan. Inilah yang membuktikan bahwa mereka pernah pergi berlayar jauh ke pulau-pulau dan kerajaan di utara pada masa lalu.

Sebelum kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara, dunia pelayaran di Indonesia sudah sangat maju. Mereka menjelajah dunia dengan kapal buatan mereka sendiri, dengan seluruh ABK termasuk nakhoda kapal dari nusantara. Ilmu pelayaran yang dikuasai meliputi :
1.Ilmu Pelayaran Astronomi dengan menggunakan bulan, matahari, planet dan bintang sebagai referensi
2.Ilmu Penentuan posisi
3.Ilmu Pelayaran datar dengan menggunakan benda darat sebagai referensi.
4.Ilmu Pasang Surut
5.Ilmu Cuaca
6.Ilmu Memuat
7.Ilmu Stabilitas
8.Ilmu Kepemimpinan
9.Ilmu Tali temali
10.Ilmu Niaga dll

Sayangnya bukti sejarah dalam literasi yang lengkap sulit ditemukan, karena pada masa itu menulis tidak banyak digemari, penyampaian sejarah secara lisan lewat tembang, kesenian, dan cerita rakyat justru lebih populer di tanah Nusantara. Ditambah lagi dengan pendudukan Bangsa Belanda selama 350 tahun yang tidak hanya mengambil seluruh hasil bumi Indonesia, tapi juga banyak bukti sejarah yang dilarikan ke Belanda serta dihapus demi kepentingan penguasaan Belanda atas negeri yang makmur ini. Bagaimanapun sejarah mengenai kejayaan Negara Nusantara Pertama (Sriwijaya) dan Negara Nusantara Kedua (Majapahit) tidak boleh dikesampingkan, karena disitulah letak kejayaan bangsa didalam dunia maritim dimana bangsa Nusantara dengan armadanya sendiri yang memainkan peran besar bagi peradaban dunia, khususnya bangsa pelaut Nuasantara. Masa setelah pendudukan Belanda adalah masa kelam bangsa Nusantara dimana kita dijadikan korban  atas politik dagang VOC dan Pemerintah Belanda. Sejarah heroik bangsa dimasa penjajahan ditandai dengan kisah pertempuran, pemberontakan, pendirian pendidikan oleh anak bangsa, dan yang paling fenomenal adalah rasa kebangsaan dalam Soempah Pemoeda 1928 sebelum Indonesia merdeka.

Sejarah Hitam Dunia Pelayaran Indonesia

Kekuasaan Belanda atas jalur perdagangan Nusantara juga dimulai dari kegiatan maritim. Saat pertama kali Cornelis d Houtman dengan 4 kapalnya tiba di pelabuhan Banten pada 22 Juni 1596, yang bertujuan untuk berniaga, kedatangannya ini kemudian disusul oleh kedatangan armada niaga Belanda lainnya sampai akhirnya terciptalah sebuah pusat perniagaan yang ramai dan VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) didirikan pada 20 Maret 1602. Tujuan VOC  jelas, yaitu memonopoli perniagaan lewat armada kapal lautnya di kawasan Asia.



Pada tahun 1799 VOC dibubarkan karena kasus korupsi yang sangat parah, pemerintah Belanda lantas menyita aset VOC untuk membayar hutangnya sebesar 219 juta Gulden. Belanda juga mengambil alih kekuasan perdagangan di daerah yang dikuasasi VOC sebelumnya. Lalu pemerintah Belanda membentuk semacam daerah otonomi dengan nama Nederlands Indie atau Dutch East Indies yang dalam bahasa Indonesia kita sebut Hindia Belanda.

Dalam kurun waktu 1800 sampai 1912 berbagai perlawanan di tanah Nusantara terus berkecamuk melawan pemerintah Belanda. Perang Padri (1821-1837), perang Diponegoro (1825-1830), Perang Puputan (1846-1908), Perang Batak (1878-1907), Perang Aceh (1873-1912), dan perang-perang di daerah lainnya. Hanya setelah tahun 1912 seluruh wilayah Indonesia dikuasai Belanda kecuali Timor Timur yang dikuasai Portugis. Hal tersebut membuktikan bahwa perlawanan terhadap pendudukan pemerintah Belanda tidak pernah selesai sampai para pahlawan benar-benar telah di tumpas atau dipenjarakan dan disiksa. Hal ini bahkan semakin memicu rasa kebangsaan anak-anak muda di seluruh pulau, pada 1908 mulailah didirikan perkumpulan-perkumpulan pemuda untuk menentang penjajah. Beberapa perkumpulan yang menjadi tonggak sejarah seperti Muhammadiyah yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan (1912), Pendidikan Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara (1922) dan Nadhatul Ulama yang didirikan oleh Hasjim Ashari (1926).

Untuk memperkuat armada dagangnya, Belanda mendirikan KPM (Koninglijke Paketvaart Maatschappij) pada 4 September 1888 di Amsterdam atas gabungan Rotterdamsche Lloyd (RL) dan Stoomvaart Maatschappij Nederland (SMN) dengan berkantor pusat di Amsterdam untuk mengelola pelayaran regional interinsuler (antar pulau) di kepulauan Nusantara. RL dan SMN sendiri telah mengoperasikan layanan kapal uap reguler antara Belanda dan Jawa selama 20 tahun saat KPM didirikan. Sedangkan layanan pos antar pulau telah dilakukan oleh Nederlandsch-Indische Stoomboot Maatschappij (NISM), anak perusahaan British India Navigation Company (BINC). KPM mulai beroperasi pada 1 Januari 1891 dengan modal 29 kapal uap kecil  (13 baru dan 16 warisan dari NISM). KPM terutama berfokus pada rute pelayaran regular terjadwal bagi penumpang dan muatan kargo antara pulau di Hindia Belanda yang kemudian lebih populer dengan istilah sebagai pelayaran pos antar pulau.

Sementara di Eropa, pada 1914 pecah Perang Dunia Pertama, dimana Jerman menginvasi hampir seluruh Eropa. Belanda saat itu mencari aman dengan mendeklarasikan diri sebagai negara netral. Bahkan saat Jerman menyerbu Belgia, mereka menggunakan jalur pintas dengan memotong wilayah Belanda menuju Belgia, untuk menjaga netralitas dan kekhawatiran dianggap sebagai penentang Jerman, Belanda tidak melakukan protes atau keberatan atas hal itu. Konsentrasi Belanda terpecah, karena mereka ingin menguasai Nusantara dan timbul peperangan di hampir semua pulau. Belum lagi kebangkitan Kekaisaran Jepang di Asia Timur bisa mengancam keberadaan Belanda di Indonesia. Maka bermain aman dengan Jerman di Eropa adalah langkah penakut yang terpaksa diambil. Pada 1917, kriris pangan di Belanda mencapai puncaknya, dimana penduduk sipil sampai menjarah makanan untuk tentara karena Belanda dikelilingi oleh negara-negara yang sedang berperang dan jalur niaga lewat kapal menjadi tidak aman.

Kondisi tersebut membuat Belanda sulit mendatangkan pelaut-pelaut muda dari Eropa yang sedang dilanda Perang Dunia Pertama ( 1914-1918), untuk mengatasi kekosongan itu Belanda mulai mengadakan pelatihan-pelatihan kepada penduduk pribumi yang dimulai dengan cara pelatihan langsung diatas kapal dan mendirikan sekolah pelayaran tingkat dasar yang tujuannya untuk terus menguasai Indonesia, bukan untuk mendidik pemuda Indonesia. Keinginan menguasai Nusantara ditambah kekhawatiran bangkitnya kekuatan Jepang di Asia Timur, mau tidak mau membuat Belanda harus merekrut sebanyak-banyaknya pelaut pribumi untuk dipekerjakan dengan setengah paksa diatas kapal-kapal Belanda. Semua anak pribumi yang bekerja diatas kapal Belanda dikelaskan sejajar dengan djongos, istilah yang dipakai untuk jabatan terendah disebuah institusi. Mereka bekerja sebagai Kelasi, Juru Api dan Juru masak, dan bekerja melayani perwira dan nakhoda Belanda.

Penguasaan KPM atas pelayaran di perairan Nusantara juga merambah sampai kepada angkutan jemaah haji. Hasil kajian menunjukkan bahwa ada sebuah ironi terkait dengan kebijakan pemerintah kolonial dengan aturan transportasi yang termuat dalam Ordonansi Hajj tahun 1898 – 1922 yang menekankan pada aspek kesehatan fasilitas ibadah. Pembahasan terkait transportasi ibadah haji ini menunjukkan bahwa Pemerintah Hindia Belanda sebenarnya tidak memberikan pelayanan dalam perjalanan ibadah haji, kecuali hanya mementingkan aspek ekonomi saja. Kesimpulan ini diambil berdasarkan fakta bahwa banyak jamaah haji yang sakit dan meninggal dalam kapal angkutan milik pemerintah Hindia Belanda. Kapal ini tidak dilengkapi fasilitas yang memadai dan kabin yang tidak layak untuk perjalanan jauh.

Perlakuan terhadap awak kapal pribumi yang tidak adil juga yang pada akhirnya memicu pemberontakan diatas kapal De Zeven Provincien pada tahun 1933. Di tahun 1930-an sudah banyak orang Indonesia yang menjadi pelaut di Angkatan Laut Belanda. Namun, mereka di bawah komando perwira dan nakhoda Belanda. 

Beberapa nama yang tercatat seperti; Martin Paradja, Kawilarang, Sagino, Amir, Said Bini, Miskam, Gosal, Rumambi, Koliot, Kasueng, Ketutu Kramas, Mohammad Basir, dan Simon termasuk pelaut-pelaut militer itu. Mereka inilah yang kemudian terlibat dalam pemberontakan kapal Zeven Provincien yang dimulai pada 4 Februari 1933. 

Paradja beserta pelaut pribumi, dengan bantuan Maud Boshart dan pelaut Belanda lain, berontak di Kapal Perang Zeven Provincien. Mereka mengambil alih kapal dan meninggalkan kapten kapal di daratan.  Tanggal 10 Februari 1933, ketika setelah melewati Selat Sunda, kapal yang dikuasai pemberontak itu terus dikawal dua kapal torpedo Angkatan Laut Belanda. Pesawat amfibi Dornier mengitari kapal itu. Kapal itu ditekan untuk menyerah, tetapi mereka bersikeras bergerak ke Surabaya. Bom seberat 50 kg pun akhirnya dijatuhkan ke kapal hingga beberapa pemberontak terluka. 

Mereka kemudian ditangkap dan dipenjara di Pulau Onrust. Pemberontak juga dimakamkan di Onrust juga. Martin Paradja, Kawilarang dan yang tewas lainnya dimakamkan di sana juga, sebelum akhirnya di makamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. 

Perlawanan atas monopoli Belanda juga ditunjukkan oleh para pengusaha pelayaran tradisional yang merasa jasa pelayaran mereka tergerus oleh KPM. Surat Kabar Bintang Borneo pernah menurunkan artikel yang mengungkapkan betapa lemah posisi perahu ketika berhadapan dengan pengguna jasa. Demi untuk mendapatkan muatan, nakhoda sering kali harus mengeluarkan uang sebagai jaminan keselamatan bagi barang yang diangkutnya. Uang jaminan tersebut seharusnya dapat diterima kembali bila barang telah sampai ditempat tujuan dengan selamat. Namun demikian, yang sering terjadi adalah bahwa uang jaminan dan bahkan ongkos pengangkutan barang kadang tidak dibayarkan sesuai dengan pembicaraan pada waktu barang akan diangkut, karena penerima barang adalah pedagang lain di
tempat lain pula.

Atas prakarsa Nadjamoedin Daeng Malewa yang pada waktu itu bekerja di bidang pabean, didirikanlah badan usaha koperasi bernama Roepelin yang merupakan singkatan dari Roekoen Pelajaran Indonesia. Organisasi tersebut didirikan di Surabaya pada 1 November 1935 dan disahkan
sebagai badan hukum pribumi (Inheemsch Rechtspersoon) pada 8 Juni 1936 (Melawa, t.t.:18; Dewan Redaksi, 1990: 166; Dick, 1978: 78). Selanjutnya berkat bantuan R. M. Margono Djojohadikusumo yang pada waktu itu menjabat sebagai inspektur pada Dinas Koperasi, Roepelin mendapat subsidi dari pemerintah guna menjalankan usaha koperasinya. Roepelin beranggotakan para nakhoda perahu layar yang secara teratur mengunjungi pelabuhan Surabaya. Pada 1937 telah tercatat lebih dari 200 nakhoda yang menjadi anggota Roepelin. Sebagian besar anggotanya berasal dari Sulawesi Selatan. Perahu mereka rata-rata berukuran antara 40-100 m³. 

Upaya Roepelin tersebut  menampakkan hasilnya tidak lama setelah organisasi ini berdiri. Pada 1936, ketika Roepelin baru saja berdiri, jumlah kargo yang diangkut armada perahu ke pelabuhan Makassar secara keseluruhan adalah sebesar 93.000 ton. Pada 1937 dan 1938 jumlah itu meningkat masingmasing menjadi 109.400 ton dan 114.800 ton. Pada 1937 dari 286 perahu anggota Roepelin (jumlah ini hanya sekitar 2% dari total perahu yang masuk ke pelabuhan Surabaya) telah mengangkut kargo sebanyak 7.550 ton, suatu jumlah yang cukup signifikan bagi perdagangan dengan perahu antara pelabuhan-pelabuhan Surabaya, Makassar, dan Banjarmasin 

Pada 12 Januari 1942 Tentara Jepang masuk ke Indonesia lewat Tarakan dalam rangka merebut Hindia Belanda. Dalam waktu singkat Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang ditandai dengan Perjanjian Kalijati 8 Maret 1942. Kapal-kapal KPM digunakan sebagai kapal pengungsi dan Belanda melarikan sebagian kapal-kapal tersebut ke Australia dengan jumlah 21 kapal;
Balikpapan (1938), Bantam (1930), Bontekoe (1922), Both (1931), Cremer (1926), Generaal Verspijck (1928), Janssens (1935), Japara (1930), Karsik (1938), KhoenHoea (1924), Maetsuycker (1936), Jacob (1907), Sibigo (1926), Stagen (1919), Swartenhondt (1924), Tasman (1921), Van den Bosch (1903), Van der Lijn (1928), Van Heemskerk (1909), Van Heutsz (1926) dan Van Spilbergen (1908). 

Setelah Kemerdekaan Indonesia, sebenarnya Belanda masih tetap ngotot mempertahankan KPM untuk terus beroperasi di Indonesia. Bahkan setelah ada usulan menasionalisasi kapal-kapal KPM, Belanda tetap bersikeras bahwa kapal niaga mereka tetap boleh beroperasi di Indonesia. Sejarah Maritim setelah Kemerdekaan memiliki dimensi berbeda, dimana kebangkitan dunia maritim dimulai dari kapal-kapal ex pampasan perang dan terus berkembang sampai pada keadaan pemerintah menyadari pentingnya memiliki Sekolah Pelayaran Tingkat Tinggi untuk melayarkan kapal-kapal niaga Indonesia. Di periode ini pula pemerintah Presiden Soekarno mendirikan Akademi Angkatan Laut, Akademi Ilmu Pelayaran dan Sekolah pelayaran lainnya untuk ambisinya yang sangat fenomenal :
“ … Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya…, bangsa pelaut dalam arti yang seluas-luasnya. Bukan sekedar menjadi jongos-jongos di kapal, bukan! tetapi bangsa pelaut dalam arti kata cakrawati samudera. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri.”(Amanat Presiden RI Sukarno 1953).