Jakarta, eMaritim.com - Dalam rangka mendukung terciptanya keselamatan jiwa di laut, Indonesia meratifikasi Protocol of 1988 Relating to The International Convention for the Safety of Life at Sea (SOLAS), 1974 melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2017 tentang Pengesahan Protocol of 1988 Relating to The International Convention for the Safety of Life at Sea, 1974 yang ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo pada tanggal 30 Mei 2017 di Jakarta.
Menurut info yang disampaikan Perhubungan Laut bahwa protokol ini sendiri ditetapkan oleh International Maritime Organization (IMO) di London, Inggris pada tanggal 11 November 1988 sebagai hasil perundingan wakil Delegasi Negara Anggota Maritim Internasional.
Sebelumnya, Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi menekankan pentingnya pengesahan protokol dimaksud guna memberikan dasar hukum pemberlakuan ketentuan Protokol 1988 terkait dengan Konvensi Internasional untuk Keselamatan Jiwa di Laut, 1974.
Berbeda dengan solas 1974 dan amandemennya, yang mengatur keselamatan di atas kapal secara keseluruhan, Protokol SOLAS 1988 mengatur tentang harmonisasi masa berlaku sertifikat dan pelaksanaan pemeriksaan yang terdiri atas pemeriksaan initial, pemeriksaan tahunan, pemeriksaan antara dan pemeriksaan pembaharuan. Adapun sertifikat yang di harmonisasi masa berlakunya menjadi 5 tahun (tergantung dari tipe kapalnya) adalah Passenger Ship Safety Certificate termasuk Record of Equipment-nya, Cargo Ship Safety Construction Certificate, Cargo Ship Safety Equipment Certificate termasuk Record of Equipment-nya, Cargo Ship Safety Radio Certificate termasuk Record of Equipment-nya, Cargo Ship Safety Certificate termasuk Record of Equipment-nya, International Load Lines Certificate, International Load Lines Exemption Certificate, International Oil Pollution Prevention Certificate, International Pollution Prevention Certificate for the Carriage of Noxious Liquid Substances in Bulk, International Certificate of Fitness for the Carriage of Dangerous Chemicals in Bulk, International Certificate of Fitness for the Carriage of Liquefied Gases in Bulk, serta Certificate of Fitness for the Carriage of Dangerous Chemicals in Bulk.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perhubungan Laut, A. Tonny Budiono menyebutkan bahwa pengesahan ini penting untuk mengharmoniskan sistem survei dan sertifikasi dengan ketentuan internasional mengenai Konvensi Internasional Keselamatan Jiwa di Laut, 1974 (SOLAS Convention, 1974), Konvensi Internasional Garis Muat 1966 (Load Lines Convention, 1966) serta Konvensi Internasional untuk Pencegahan Pencemaran dari Kapal 73/78 (MARPOL Convention 73/78)
Dirjen Tonny juga menyatakan bahwa sebagai negara Anggota IMO sejak tahun 1960, Indonesia turut terlibat aktif dalam pembentukan konvensi internasional yang membahas mengenai produk-produk hukum atau yang dikenal dengan nama peraturan statutori (statutory regulations) terkait dengan dunia kemaritiman.
“Sebagai anggota IMO, Indonesia telah meratifikasi produk-produk hukum yang dikeluarkan IMO, karena tentunya semua produk hukum, baik secara nasional, maupun internasional yang diprakarsai oleh IMO bertujuan untuk melindungi, menyelamatkan jiwa, harta dan nyawa manusia di laut, serta ekosistem maritim dari kerusakan, misalnya SOLAS, MARPOL dan STCW,” jelas Tonny.
Dirjen Tonny kembali menjelaskan, bahwa selain turut menandatangani peraturan statutori pada konvensi internasional, Indonesia juga telah mengesahkan peraturan tersebut dengan melakukan ratifikasi. “Ada dua macam pengesahan atau ratifikasi perjanjian internasional di Indonesia, yaitu dalam bentuk Undang-Undang (UU) dan Keputusan Presiden (Keppres),” ujar Tonny.
Setelah diratifikasinya Protokol SOLAS 1988 ini, bagi kapal-kapal stakeholder yang berlayar di internasional voyage secara otomatis wajib memenuhi ketentuan SOLAS 1974 dan Protokol SOLAS 1988 terkait pelaksanaan pemeriksaan yang wajib dilaksanakan untuk setiap tahun, antara dan pembaharuan. Selanjutnya, pemerintah akan memberikan masa berlaku sertifikat selama 5 tahun apabila kapal-kapal tersebut memenuhi ketentuan.
Sebagai informasi, Konvensi internasional SOLAS pertama kali diadopsi pada bulan Januari 1914 oleh organisasi internasional yang dulu masih bernama IMCO (Inter-Governmental Maritime Consultative Organization) dan dikenal sebagai SOLAS 1914. Konvensi ini merupakan respon terhadap musibah tenggelamnya kapal RMS Titanic pada tahun 1912. SOLAS 1914 ini tidak pernah diberlakukan karena hanya diratifikasi oleh 5 negara dan pada saat itu terganggu dengan terjadinya Perang Dunia I. IMCO kemudian menyusun ulang SOLAS yang diadopsi pada tahun 1929 (SOLAS 1929) dan SOLAS 1948. Baik SOLAS 1929 maupun SOLAS 1948 juga tidak pernah diberlakukan. Baru pada tahun 1960, tepatnya pada tanggal 17 Juni 1960, IMCO berhasil mengadopsi SOLAS 1960, yang diberlakukan mulai tanggal 26 Mei 1965. Sementara itu, dunia pelayaran maju begitu pesatnya sehingga ukuran kapal dan teknologi di sektor pelayaran pun mengalami perubahan yang sangat cepat. Hal ini menjadikan SOLAS 1960 dari tahun ke tahun semakin tidak mampu memfasilitasi terjaminnya keselamatan Pelayaran.
Pada tanggal 1 November 1974, IMCO mengadopsi SOLAS 1974, yang baru diberlakukan pada tanggal 25 Mei 1980, setahun setelah terpenuhinya ketentuan terkait jumlah negara yang meratifikasi sesuai artikelnya.
Kemudian, Pada tahun 1988, SOLAS 1974 mengalami perubahan besar sehubungan dengan disetujuinya Sistem Survei dan Sertifikasi kapal yang diharmonisasikan (HSSC –Harmonized System of Survey and Certification) serta perubahan pada Peraturan Radio (Radio Regulation) 1987 dari ITU (International Telecomunication Union) yang menghilangkan Kode Morse menjadi GMDSS (Global Maritime Distress and Safety System). Pada saat itu, IMCO sudah berubah nama menjadi IMO (International Maritime Organization), yang dimulai sejak tanggal 1 Mei 1982, sesuai dengan Konvensi IMO Bagian I. Perubahan besar tersebutlah yang menyebabkan diadopsinya SOLAS Protocol 1988.
Dirjen Tonny menjelaskan, bahwa sejak diberlakukan tahun 1974, SOLAS sudah mengalami banyak perubahan/amandemen. “Bisa dibilang terdapat perubahan/amandemen terhadap SOLAS 1974 setiap 2 tahun sekali,” ujar Tonny.
Indonesia sendiri, sebagai negara yang masuk ke dalam Anggota Dewan IMO pada Kategori C, telah meratifikasi SOLAS 1974 melalui Keppres No 65 tahun 1980. Konsekuensinya, Pemerintah Indonesia wajib melaksanakan SOLAS 1974, yaitu dengan membuat instrumen-instrumen hukum nasional mulai dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, sampai dengan peraturan-peraturan pelaksanaan, baik Peraturan Menteri maupun Peraturan Dirjen.
Undang-undang Pelayaran pertama yang merefleksikan pelaksanaan dari SOLAS 1974 adalah Undang-Undang RI nomor 21 tahun 1992, yang sekarang sudah diganti dengan Undang-Undang RI nomor 17 tahun 2008, yang tidak hanya merefleksikan SOLAS 1974 saja, namun juga merefleksikan MARPOL 1973/78, Load Line Convention 1966, Maritime Labour Convention, 2006 serta ketentuan-ketentuan internasional lainnya, baik yang telah ataupun belum diratifikasi.(*)