Dewan Penasihat Indonesian Nasional Shipowners’ Association (INSA), Oentoro Surya |
Jakarta, eMaritim.com –
Tahun ini merupakan tahun yang paling menentukan bagi para pelaku bisnis
Pelayaran Nasional, pasca kebijakan ekonomi jilid XV yang dikeluarkan oleh
pemerintah bulan Juni lalu, arah tujuan pengusaha pelayaran nasional semakin
jelas, Implementasi Beyond Cabotage juga mendekati pengesahan resmi oleh
pemerintah Indonesia.
Pasca kebijakan XV lalu para
pengusaha pelayaran nasional dituntut saat ini untuk meningkatkan kualitas dan
daya saing dalam menyambut pengesahan beyond cabotage, didalam kebijakan XV tentang
‘Pengembangan Usaha dan Tingkatkan Daya Saing Penyedia Logistik Nasional’ .
Terdapat kalimat yang
memberikan angin segar bagi pelaku usaha pelayaran nasional dalam isi kebijakan
ekonomi jilid XV berupa; Pemberian Kesempatan Meningkatkan Peran dan Skala
Usaha, dengan kebijakan yang memberikan peluang bisnis untuk angkutan dan
asuransi nasional dalam mengangkut barang ekspor impor, serta meningkatkan
usaha galangan kapal/pemeliharaan kapal di dalam negeri.
Seiring dengan itu, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi
mengatakan pelaku usaha pelayaran nasional perlu didorong untuk terus
meningkatkan kompetensinya.
Kompetensi dibutuhkan untuk bersaing pada kegiatan angkutan luar
negeri atau ekspor impor. Kemenhub juga bersedia memfasilitasi dan membantu
pelaku usaha pelayaran untuk peningkatan kompetensi.
“Kalau memang ada yang perlu dibantu dari Kementerian
Perhubungan, itu yang kami bantu,”katanya.
12 tahun sejak diterapkannya asas cabotage, jumlah armada dan
perusahaan pelayaran meningkat pesat. Pelaku usaha pelayaran nasional juga
telah berhasil melayani seluruh pendistribusian kargo domestik yang mencapai
621 juta ton pada 2016.
Kondisi berbalik justru terjadi pada angkutan luar negeri. Dari
1,04 miliar ton total muatan luar negeri pada tahun lalu, hanya hanya 6,4%
atau 67,23 juta ton muatan yang menggunakan kapal berbenderan
Indonesia, sedangkan sisanya 93,7% atau 976,20 juta ton dikuasai kapal asing.
Kemajuan Armada Laut Nasional pada
Beyond Cabotage
Dewan Penasihat Indonesian Nasional
Shipowners’ Association (INSA), Oentoro Surya angkat bicara, bahwasannya dalam
menjamin kemajuan pengusaha pelayaran nasional dalam armada lautnya perlu
adanya dukungan dari Pemerintah.
Menurutnya, dukungan itu berupa
pemberian fasilitas, dan kredit untuk membangun armada kapal laut dan daya
saing bisnis yang sehat di nasional bahkan mancanegara. Dia menghimbau kepada
seluruh pemangku jabatan terutama pihak Bank nasional sebagai pemberi kredit agar
bunga pinjaman bank tak terlalu tinggi, “kalau bunga bank kita (nasional) gak
tinggi kan kita sebagai pelaku usaha pelayaran bisa melebarkan sayap ke
mancanegara,” ungkap Mantan Ketua Umum INSA Periode tahun 2005-2008.
Seperti yang telah di
programkan Presiden Joko Widodo dengan nawacita maritim nasional, dirinya
menghimbau agar semua pemangku kepentingan (Bank nasional dan Hubla) untuk
sama-sama ikut berkontribusi menjalankan usaha maritim nasional agar dapat maju
dan bisa bersaing dengan asing.
“Sebab kalau kreditnya ini
diberikan kepada bidang maritim, tentunya asetnya maritim (kapal, shipyard,
pelabuhan), jadi bukan kita investasi kertas dimana saja (investasi tak
beraturan), begitu habis ya kertasnya (jenis bisnis) habis, modalnya habis, akan tetapi kalau dibangun menjadi armada
laut sifatnya akan tetap dan dipastikan menjadi aset nasional,” kata Oentoro
Surya kepada eMaritim.com.
Pasca kebijakan jilid XV,
Dirinya menghimbau kepada seluruh perbankan nasional agar tidak takut untuk
memberikan kredit kepada usaha pelayaran, menurutnya bila pihak bank tetap
takut memberikan kredit kepada para pengusaha pelayaran maka dipastikan kondisi
pelayaran nasional akan terus kalah dengan pelayaran negara lain atau tetangga.
“Bagaimana kita berusaha
kalau kredit bunganya masih tinggi, sedangan negara tetangga itu, bunganya
hanya 2 persen, kalau dikita (nasional) sini 12 persen dengan rupiah, dan 6
sampai 8 persen dengan dollar, maka dari itu kita (pelaku usaha pelayaran) tak
akan mungkin bisa bersaing,” tegasnya.
Mengikuti amanat presiden
Joko Widodo dengan nawa cita poros maritim dan isi kebijakan ekonomi jilid XV
tersebut, dirinya menghimbau kepada seluruh perbankan agar dipermudah untuk
pengadaan kredit pembelian armada laut, sebab apabila armada lautnya tersedia
maka dirinya memastikan bisa dipakai untuk kegiatan eksport , dan pengiriman
domestik lainnya.
Menurut Oentoro investasi di
bidang kemaritiman nantinya akan menciptakan lapangan pekerjaan dan ekonomi
lebih maju, dengan demikian, masih Oentoro, pemerintah akan mendapatkan
penerimaan pajak yang lebih banyak, karena apabila armada laut nasional
berkembang maka pajak juga akan bertambah banyak.
Namun disayangkan saat ini,
masih Oentoro, ballance neraca ekonomi nasional masih terbilang negatif, “kita
(pemerintah dan pelaku usaha pelayaran) selalu mengatakan bahwa eksportnya positif,
namun bila dipotong jasa maka akan menjadi negatif, jadi neraca berjalan kita
itu negati,” ungkapnya.
“Kenapa negatif karena
seluruh komoditi kita yang berlimpah, semua di eksport dengan FOB, (Free on
board),” tuturnya
Dirinya menambahkan dalam penerapan program beyond
cabotage sebagai salah satu langkah menuju kedaulatan maritim nasional
perlu dilakukan dengan mengubah skema perdangangan dari free on board (FOB) ke cost insurance and freight (CIF)
untuk kegiatan ekspor, dan dari skema CIF ke FOB untuk impor.
Dengan demikian, masih
Oentoro, perkembangan armada nasional juga dapat berpartisipasi untuk
memasarkan komoditi nasional dan mengembankan armada laut nasional agar bisa
berlayar kepelabuhan dunia.
Menurutnya hanya beyond
cabotage lah sebagai salah satu untuk menggalang valuta asing, sehingg devisa
nasional bisa masuk ke negara sendiri, “ini yang saya kira sangat penting
sekali untuk kedepannya, pemerintah juga fokus bersama kami, dan kami sebagai
pelaku usaha pelayaran, agar diajak, sama sama sinergi, demi memajukan maritim
nasional,” ungkapnya
Direktur Lalu Lintas Laut Ditjen Perhubungan Laut Kementerian
Perhubungan Bay Mokhamad Hasani mengatakan penerapan beyond cabotage perlu
melibatkan para eksportir, karena skema perdagangan CIF untuk ekspor adalah
para pengguna jasa yang menentukan kapal.
Penggunaan skema CIF pada kegiatan ekspor sangat mungkin bagi eksportir yang menggunakan jasa kapal
untuk satu komoditas. Namun kondisi saat ini, kebanyakan kegiatan ekspor dalam
satu kali pelayaran kapal bermuatan beragam komoditas dan digunakan beberapa
eksportir atau pengguna jasa.
“Muatan kapal itu dengan satu jenis (komoditas), misalnya batu
bara. Bisa saja itu ekportir carter kapal dengan sitem CIF. Tapi kalau di
sini satu kapal penggunanya banyak, ramai-ramai,” kata Bay yang juga Plt.
Dirjen Perhubungan Laut beberapa waktu lalu.
Bay melanjutkan, pihaknya juga tidak bisa memaksakan eksportir
menggunakan kapal berbendera Indonesia dalam perdagangan luar negeri, mengingat
kesepakatan itu merupakan business to
business antara ekportir dan pelaku usaha pelayaran nasional.
Kemenhub, katanya, hanya sebatas mengimbau kegiatan ekspor impor
yang dilakukan pemerintah dan BUMN agar sebisa mungkin menggunakan kapal
nasional.(Hp)