![]() |
Ilustrasi | Istimewa |
Jakarta, eMaritim.com – Meski
masa pemerintahan Jokowi-JK sudah menginjak tahun ketiga, namun sejumlah
pengusaha di sektor logistik masih mengeluhkan tingginya biaya logistik yang
justru menyulitkan industri untuk berkembang.
Ketua Umum
Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Zaldy Ilham mengaku, belum puas dengan
kinerja pemerintahan Jokowi-JK dalam menurunkan biaya logistik. "Kami
belum puas. Masih banyak masalah yang tidak terselesaikan," ujarnya seperti
dikutip RMOL.
Menurutnya,
pemerintah belum serius dalam menurunkan ongkos logistik yang menjadi ganjalan
bagi pengusaha. "Masalah ini yang kami tunggu penyelesaian. Apalagi banyak
aturan justru menyulitkan industri dan bertolak belakang dengan janji untuk
mengurangi biaya logistik," ungkapnya.
Biaya
logistik mahal juga disebabkan infrastruktur transportasi yang belum memadai. Subsidi
yang diberikan ke industri pelayaran dan penerbangan sangat tidak tepat.
"Itu dampaknya tidak permanen atau hanya jangka pendek," katanya.
Menurutnya,
begitu subsidi dicabut maka tarif bisa tinggi lagi. Jadi lebih baik pemerintah
memperbaiki fasilitas pelabuhan yang bagus sehingga waktu tunggu tidak lama
dan kapal swasta maupun Pelni akan dapat keuntungan dari fasilitas tersebut.
Ketua Dewan
Pimpinan Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindrawardana
mengatakan, isu pemangkasan biaya logistik nasional, khususnya biaya double
handling di pelabuhan bukan merupakan hal baru. Menurutnya, isu tersebut ada
sejak ia dulu menjabat sebagi ketua Ombdusman.
"Sejak
dulu tanggapan serius mengenai sistem dwelling time atau sistem biaya logistik
sudah ada, terutama di pelabuhan. Lalu sudah ada perbaikan. Lalu, sekarang
muncul lagi," ujar Danang.
Menurutnya,
yang menjadi masalah di pelabuhan untuk saat ini adalah biaya logistik yang
menjadi lebih mahal dari sebelumnya. "Fokusnya jika mau mengurangi biaya
logistik, mestinya dilihat dari kemampuan pelabuhan melakukan modernisasi.
Karena semakin modern pelabuhan, maka biayanya lebih rendah," ujarnya.
Danang
menuturkan, setiap pelabuhan memiliki karakteristik yang berbeda. Seperti
pelabuhan baru di Lamongan yang menurutnya sudah sangat modern. "Biaya di
sana harusnya lebih murah karena sudah menggunakan peralatan yang lebih modern,"
ucapnya.
Ia
mengatakan, rata-rata masalah di pelabuhan Indonesia yang menyangkut biaya
logistik adalah pelabuhan-pelabuhan yang tidak efisien. "Ketidakefisien
itu berasal dari peraturan-peraturan yang kurang jelas penerapannya baik di
tingkat undang-undang atau peraturan Menteri," katanya.
Ia
mencontohkan, untuk menangani kontainer di pelabuhan tidak sepenuhnya
dilakukan oleh PT Pelindo (Persero). Perusahaan lain yang melakukannya.
"Akibatnya kan biaya-biaya pelabuhan tidak bisa murah karena ditangani
oleh operator yang tidak perlu ada," ujarnya.
Wakil Ketua
Komite Tetap Pengembangan SDM Infrastruktur Bidang Konstruksi dan Infrastruktur
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Dandung Sri Harninto mengakui,
penyebab biaya logistik di Indonesia tinggi adalah masalah perizinan dan proses
di pelabuhan. Selain itu, masih banyaknya pungutan liar yang harus dibebankan
ke biaya tersebut.
"Kirim
barang dari Jakarta ke Surabaya harus berhadapan dengan oknum-oknum yang mungut
pungli. Praktiknya masih ada lo, karena saya bayarnya tetap segitu. Perusahaan
logistik pun bayar segitu, berarti kan ini ada something wrong," keluhnya.
Dandung
berharap, dengan adanya tol Trans Jawa dalam dua hingga tiga tahun mendatang
bisa membuat biaya logistik berkurang. "Kalau tol Trans Jawa jadi semua,
dua-tiga tahun lagi, ongkos logistik pasti bisa ditekan," ujarnya.
Sebelumnya,
Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, pemerintah akan
menerbitkan aturan untuk memangkas biaya logistik jalur laut hingga 50 persen
dari 14,9 persen menjadi 7 persen terhadap total biaya produksi pada 2019. "Kebijakan sebenarnya finalisasi dengan
beberapa kelompok kerja yang sudah bekerja dalam kurun tiga bulan
terakhir," ujarnya.
Luhut
menyampaikan, kebijakan tersebut diambil karena ongkos logistik Indonesia masih
terbilang tinggi yakni mencapai 14,9 persen terhadap struktur biaya produk.
Angka itu masih jauh lebih tinggi dari Jepang yang hanya memiliki porsi ongkos
logistik 4,9 persen. Jepang merupakan negara yang dijadikan tolak ukur dalam
pengelolaan ongkos logistik.
Jika
kebijakan ini efektif, ia berharap ongkos logistik laut bisa ditekan hingga 50
persen dua tahun mendatang, atau menjadi hanya 7 persen pada 2019. "Angka
ini mungkin lebih baik jika makin banyak basis logistik yang jalan,"
pungkasnya.(*)