Kasus Pencemaran Laut dan Dampak Hukum, Menatap Masyarakat Pesisir Balikpapan Sebagai Korban -->

Iklan Semua Halaman

Kasus Pencemaran Laut dan Dampak Hukum, Menatap Masyarakat Pesisir Balikpapan Sebagai Korban

09 April 2018
Jakarta, 9 April 2018

Oleh Muchsin XXXVI /Utta Yangkara-13 (Member of IKPPNI)

Kasus Pencemaran Laut bisa dilihat pada tumpahan minyak yang diangkut oleh kapal- kapal tanker, misalnya Kapal Tanker Exxon Valdes di Lautan Alaska tahun 1989 dan Kasus Tumpahan Minyak di Timor Gap/ Celah Timur tahun 2009.

1.         Kasus Exxon Valdes di Lautan Alaska Tahun 1989.
Banyak perusahaan dan organisasi pernah mengalami masa krisis selama perjalanannya. Namun hanya sedikit sekali perusahaan yang tidak memiliki kompetensi dan tidak bertanggung jawab dapat melalui kejadian kritis dengan baik, salah satunya adalah Exxon. Pada tahun 1989, Exxon Valdez (kapal tanker) minyak karam dan mulai menyebarkan minyaknya dipantai di Alaska. Dalam waktu yang singkat sebanyak 1.260.000 barel minyak membanjiri lautan dan menjadi peristiwa kebocoran minyak mentah terbesar di sepanjang sejarah Laut Amerika.

Setelah ditelusuri, ternyata Captain dan Chief Officer kapal tidak dalam kondisi yang layak untuk menahkodai kapal tanker tersebut, seperti Chief Officer yang tidak memiliki kualifikasi yang layak untuk menahkodai, ada beberapa awak kapal termasuk Captain sedang dalam keadaan mabuk saat mengarahkan kapal. Namun saat itu, Exxon tidak mengambil tindakan cepat untuk menanggulangi bencana ini. Sampai dengan lebih dari 24 jam pasca kejadian, Exxon tidak mengambil tindakan nyata untuk mencegah agar kontaminasi tidak menyebar ke wilayah lainnya.

Dari segi publikasi perusahaan juga tidak bersikap terbuka terhadap kalangan media, saat beberapa media berusaha meminta keterangan, Exxon selalu menghindar sementara itu minyak semakin menyebar tidak terkendali. Hal ini diperparah dengan buruknya cuaca saat itu ketika terjadi hujan besar yang di barengi oleh kencangnya angin.
Seminggu setelah berlalu, bencana ini oleh Presiden Amerika saat itu dinyatakan sebagai “bencana ini tergolong bencana nasional”, namun perusahaan tetap tidak melakukan usaha yang mencukupi dalam penanganan bencana setelah mendengarkan pernyataan Presiden Amerika. Jumpa pers yang dilakukan Exxon pun justru semakin memperburuk image perusahaan di mata publik karena dalam siaran pers pihak perusahaan diserang habis oleh kalangan media, komunitas atau organisai yang bergerak di bidang sumber daya lingkungan, dan penduduk lokal.

Komunitas lokal mengaku bahwa perusahaan telah memberikan janji akan membersihkan limbah yang mereka bocorkan dan menjaga kualitas hidup masyarakat sekitar, sehingga mereka kecewa dan memiliki persepsi buruk pada perusahaan.
Usaha media untuk menggali informasi terus berlanjut, pimpinan Exxon diundang pada satu acara bincang-bincang di televisi. Pada saat acara pimpinan tersebut terlihat gugup dan menolak untuk menjelaskan laporan yang diterimanya mengenai isu kebocoran minyak, sebaliknya beliau malah menyalahkan kalangan media yang terlalu melakukan pemberitaan berlebihan pada kejadian ini. Kesalahan penanganan pada kejadian ini menyebabkan perusahan menderita kerugian dari dua sisi, yakni biaya yang besar (sekitar 7 miliar dolar) termasuk biaya pembersihan dan juga hancurnya reputasi perusahaan karena kesalahan dalam penanganan bencana.

Akibat kejadian ini, Exxon jatuh dari urutan pertama menjadi urutan ketiga pada perusahaan yang beroperasi di industri minyak. Kejadian ini menjadi simbol arogansi perusahaan dan cerita ini terus diperbincangkan selama setahun penuh. Menurut survey yang dilakukan pada tahun 1990-an 65% responden menyatakan bahwa kebocoran minyak ini adalah elemen penting dalam menaikan kesadaran public mengenai isu lingkungan khususnya pencemaran laut.
Dalam kasus ini setidaknya terdapat dua hal yang dapat kita pelajari, yaitu :

a.     Diperlukan usaha perusahaan untuk memenuhi janji yang telah disampaikan. Hal ini sangat penting untuk menjaga hubungan dengan para stakeholder terutama dalam memupuk rasa kepercayaan.
b.    Perlunya tindakan sebagaimana perusahaan yang baik dan berkontribusi pada lingkungan di sekitarnya.

2.         Kasus Tumpahan Minyak di Timor Gap/ Celah Timur Tahun 2009.
Tumpahan minyak yang berasal dari ladang minyak Montara, di Laut Timor di lepas pantai utara Western Australia, disebabkan oleh suatu ledakan pada tanggal 21 Agustus 2009 yang mengakibatkan terjadi kebocoran sekitar 400 barrels minyak mentah setiap harinya sampai akhirnya berhasil ditutup pada 74 hari kemudian. Perkiraan tentang luasnya wilayah yang tertutup lapisan minyak tersebut berkisar antara 6.000 km2 menurut Australian Maritime Safety Authority, berdasarkan pencitraan satelit 28.000 km2, dan menurut World Wildlife Fund sampai 9.,000 km2.

Ada beberapa besar jumlah lapisan minyak memasuki perairan yang berada dibawah yurisdiksi Indonesia, dan diperkirakan mengakibatkan kerugian pada mata pencaharian nelayan sekitar 18.000 orang yang masih memerlukan estimasi kerugian terhadap lingkungan laut itu sendiri.
Pemerintah Indonesia mengancam akan melaporkan perusahaan asal Australia, Montara, akibat meledaknya sumur minyak tersebut ke forum internasional jika solusi belum juga tercapai. Ini merupakan suatu tindakan tegas dari pihak Indonesia dalam menghadapi Pencemaran Lingkungan laut yang akan berdampak besar di lingkungan darat yurisdiksi wilayah Indonesia.

Dalam hal ini Indonesia menetapkan berdasarkan peraturan lingkungan hidup pada UU No. 23/1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 9/1985 Tentang Perikanan, UU No. 5/1983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), UU No.21/1992  jo UU no 17 tahun 2008 tentang  Pelayaran, UU No.5/1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya serta UU No. 6/1996 Tentang Perairan Indonesia ,UU no 32 tahun 2014 tentang Kelautan, UU no 27 tahun 2007 jo No 1 2001 tentang Kepulauan kecil dan Pesisir Pantai dan UU no 23 tahun 2014 tentang Otonomi Daerah.

PTTEP merupakan operator kilang minyak Thailand yang berlokasi di Montara Welhead Platform, Laut Timor atau 200 km dari Pantai Kimberley, Australia. Dari sudut kepentingan Indonesia, tumpahan minyak dengan volume 500.000 liter per hari menimbulkan efek pencemaran dahsyat di wilayah perairan Indonesia, terutama di wilayah Kabupaten Rote Ndao dan Kabupaten Sabu Raijua. Tindakan yang dilakukan Pemerintah RI adalah dengan mengajukan klaim ganti rugi kepada PTTEP sekaligus menjaga komunikasi diplomatik dengan Pemerintah Australia dan Thailand. Klaim Pemerintah Indonesia kepada PTTEP berujung pada ganti rugi dengan nilai sebesar ± Rp. 291 miliar atau setara dengan ± US$ 30 juta (dalam proses).

Kesemua ini telah diratifikasi oleh pihak Indonesia, sementara mengenai tanggung jawab dan ganti rugi pencemaran lingkungan laut belum secara khusus diatur dalam UU tersebut. Secara khusus pengaturan mengenai penerapan ganti rugi atas pencemaran lingkungan laut sangat perlu ditangani segera guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan karena banyaknya kecelakaan dan kandasnya kapal berakibat tumpahnya minyak ke laut tersebut.

Laut adalah kumpulan air yang merupakan sambungan alamiah dari daratan yang menutupi permukaan tanah dan umumnya mengandung garam yang berasa asin. Laut juga merupakan kumpulan air asin dalam jumlah yang banyak dan luas yang menggenangi serta membagi daratan atas pulau-pulau maupun benua. Laut dikatakan sambungan alamiah dari daratan karna pada umumnya air yang ada di daratan mengalir dan akan bermuara ke laut.

Pencemaran Laut berdasarkan Peraturan Pemerintah No.19/1999 tentang Pengendalian Pencemaran atau Perusakan Laut adalah masuk atau dimasukkannya mahluk hidup atau zat berupa energi dan komponen lainnya ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu dan menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu atau fungsinya.
Pencemaran laut menurut definisi para ahli yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah :
Introduction by man, directly or indirectly, of substance or energy into the marine environment (including) resulting in such deleterious effects as harm to living resources, hazardous human health, hindrance to marine activities including fishing, impairment quality for use of sea water and reduction of amenities.
Masuk atau dimasukkannya mahluk hidup atau zat berupa energi dan komponen lainnya ke dalam lingkungan laut (termasuk) mengakibatkan efek merusak seperti membahayakan sumber daya hidup, kesehatan manusia berbahaya, halangan untuk kegiatan kelautan termasuk memancing, kualitas penurunan penggunaan air laut dan pengurangan fasilitas.

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup merupakan upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.

Pelaksanaan hukum dalam perlindungan, pengelolaan dan penegakan hukum merupakan suatu hal
yang sangat penting dalam menciptakan suatu keadaan yang diinginkan suatu
negara. Penegakan hukum terhadap perbuatan pencemaran oleh asing harus dilakukan sesuai dengan ketentuan dan proses hukum. Di samping itu, penegakan hukum merupakan suatu keharusan dalam memberikan efek jera kepada pelanggar hukum. Pemerintah seolah menutup mata, bahwa UU 32 Tahun 2009 sudah mengatur pengelolaan lingkungan di yuridiksi Indonesia. Pasal 53 ayat (1) UU PPLH menyatakan bahwa Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Pelanggaran lingkungan secara tegas dapat dipidana sebagaimana diatur dalam Pasal 93 UU PPLH
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien,baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

(3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 99
(1) Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Melihat Pasal 98 dan Pasal 99 UU PPLH tersebut, berlaku bagi siapa saja yang melanggar baik WNI atau WNA yang melakukan pelanggaran dalam yuridiksi lauti Indonesia.

Unclos 82, memberikan kesempatan kepada negara pantai untuk melakukan tinjauan terhadap wilayah landas kontinen hingga mencapai 350 mil laut dari garis pangkal. Berdasarkan ketentuan UNCLOS jarak yang diberikan adalah 200 mil laut maka sesuai ketentuan yang ada di Indonesia berupaya untuk melakukan submission ke PBB mengenai batas landas kontinen Indonesia diluar 200 mil laut, karena secara posisi geografis dan kondisi geologis, Indonesia kemungkinan memiliki wilayah yang dapat diajukan sesuai dengan ketentuan penarikan batas landas kontinen diluar 200 mil laut.

Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur juga pemanfaatan laut sesuai dengan status hukum dari kedelapan zonasi pengaturan tersebut. Negara-negara yang berbatasan dengan laut termasukIndonesia memiliki kedaulatan penuh atas wilayah perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial sedangkan untuk zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landasan kontinen,negara memiliki hak-hak eksklusif, misalnya hak memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di zona tersebut. Sebaliknya laut lepas merupakan zona yang tidak dapat dimiliki oleh negara manapun,sedangkan kawasan dasar laut Internasioal dijadikan sebagai bagian warisan umat manusia.

UNCLOS 1982 merupakan puncak karya dari upaya dunia internasional atas pembentukan rezim hukum laut menyeluruh yang disetujui di Montego Bay, Jamaica, pada tanggal 10 Desember 1982. Pada hari pertama penandatangan UNCLOS 1982 telah ditanda tangani oleh 119 negara dan dikenal juga sebagai Konstitusi Lautan (Constitution for the Ocean). UNCLOS 1982 terdiri dari 17 bagian dan 9 lampiran yang antara lain mengatur tentang: batas-batas dari yurisdiksi nasional di ruang udara diatas laut, navigasi, riset ilmiah,pertambangan laut, eksploitasi sumber hayati dan non hayati di laut, perlindungan dan pemeliharaan laut serta penyelesaian perselisihan atas eksploitasi dan eksplorasi laut oleh negara-negara peserta.

UNCLOS 1982 berlaku 12 bulan setelah tanggal deposit dari instrumen ratifikasi ke enam puluh dan menggantikan Konvensi-Konvensi yang telah dihasilkan pada Konferensi Hukum Laut I tahun 1958 sebelumnya. UNCLOS 1982 meletakkan kewajiban kepada negara-negara peserta  untuk melindungi dan memelihara lingkungan laut. Juga menetapkan hak negara-negara peserta untuk mengelola sumber-sumber kekayaan alam mereka sesuai dengan kebijaksanaan lingkungan dari masing-masing negara.

UNCLOS 1982 juga mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pertanggungjawaban terhadap kerusakan lingkungan laut, hak kekebalan bagi kapal perang dan kapal-kapal pemerintah serta kaitan dari Bagian XII UNCLOS 1982 tentang Perlindungan dan Pemeliharaan Lingkungan Laut dengan kewajiban-kewajiban yang tercantum pada konvensi-konvensi lainnya guna perlindungan lingkungan laut. Di dalam Ketentuan Umum dari Bab XV UNCLOS 1982 tentang Penyelesaian Perselisihan ditetapkan bahwa pada dasarnya negara peserta UNCLOS 1982 yang bersengketalah yang akan menyelesaikan perselisihan dengan cara-cara damai yang sesuai dengan ketentuan dari Piagam PBB.

UNCLOS 1982 juga tidak menghalangi negara peserta UNCLOS 1982 yang bersengketa untuk mencari metode penyelesaian perselisihan dengan cara damai lainnya (other free means), dan apabila 2 asas metode penyelesaian sengketa tersebut tidak berhasil, maka UNCLOS 1982 mengatur prosedur lain yang bersifat formal dan mengikat, yaitu melalui:

1.    Mahkamah Internasional Hukum Laut (International Tribunal for the Law of the Sea) yang berkedudukan di Hamburg, Jerman.

2.    Mahkamah Internasional (International Court ofJustice) yang berkedudukan di Belanda.

3.    Arbitrase atau Prosedur Arbitrase Khusus (Arbitration or Special Arbitration Procedures) yang diatur di dalam Lampiran VII dan VIII UNCLOS 1982.

4.    Konsiliasi (Conciliation) yang keputusannya tidak mengikat para pihak dan diatur di dalam Lampiran V UNCLOS 1982.

UNCLOS 1982 juga mengatur bahwa apabila negara peserta UNCLOS 1982 yang bersengketa setuju, maka penyelesaian perselisihan sengketa dapat melalui persetujuan bilateral, regional atau persetujuan umum yang akan mengatur suatu prosedur untuk memberikan keputusan yang mengikat bagi masing-masing pihak yang bersengketa.

Prosedur di dalam persetujuan bilateral, regional ataupun persetujuan umum tersebut akan ditetapkan sebagai prosedur tetap bagi pihak yang bersengketa yang akan mengantikan i prosedur yang berlaku di dalam  UNCLOS 1982 sebagaimana telah diuraikan diatas. memberikan kesempatan kepada negara pantai untuk melakukan tinjauan terhadap wilayah landas kontinen hingga mencapai 350 mil laut dari garis pangkal. Berdasarkan ketentuan UNCLOS jarak yang diberikan adalah 200 mil laut maka sesuai ketentuan yang ada di Indonesia berupaya untuk melakukan submission ke PBB mengenai batas landas kontinen Indonesia diluar 200 mil laut, karena secara posisi geografis dan kondisi geologis, Indonesia kemungkinan memiliki wilayah yang dapat diajukan sesuai dengan ketentuan penarikan batas landas kontinen diluar 200 mil laut.

Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur juga pemanfaatan laut sesuai dengan status hukum dari kedelapan zonasi pengaturan tersebut. Negara-negara yang berbatasan dengan laut termasuk Indonesia memiliki kedaulatan penuh atas wilayah perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial sedangkan untuk zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landasan kontinen,negara memiliki hak-hak eksklusif, misalnya hak memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di zona tersebut. Sebaliknya laut lepas merupakan zona yang tidak dapat dimiliki oleh negara manapun,sedangkan kawasan dasar laut Internasioal dijadikan sebagai bagianwarisan umat manusia.

Prosedur di dalam persetujuan bilateral, regional ataupun persetujuan umum tersebut akan ditetapkan sebagai prosedur tetap bagi pihak yang bersengketa yang akan mengantikan  prosedur yang berlaku di dalam UNCLOS 1982 sebagaimana telah diuraikan diatas. Indonesia juga memiliki aturan mengenai pencemaran laut yang disebabkan oleh tumpahan minyak dilaut tersebut. Bagi pelaku pencemaran laut oleh tumpahan minyak, dalam hal ini kapal-kapal tanker wajib menanggulangi terjadinya keadaan darurat tumpahan minyak yang berasal dari kapalnya
Salah satu sumber pencemaran adalah minyak, pencemaran oleh jenis-jenis minyak sebenarnya juga diatur dalam “International Convention on Civil Liability for Oil Pollutiion Damage 1969” (CLC 1969). CLC 1969/1992 merupakan Konvensi Internasional yang mengatur tentang ganti rugi akibat pencemaran lingkungan laut atas tumpahan minyak oleh kegiatan kapal-kapal tanker. Pencemaran atas minyak tersebut dapat dituntut ganti kerugiannya sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang yang berlaku. Karena ada beberapa jenis minyak yang bernama “minyak persisten” yaitu minyak yang masuk dalam kategori B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun), dimana terdapat bahan kimia yan bercampur didalamnya.

Apabila terjadi pencemaran akibat tumpahan minyak dari kapal atau kilang minyak di perairan Indonesia dan ZEE Indonesia, maka pemilik kapal (shipowner), atau pemilik fasilitas, bertanggung jawab secara mutlak (strict liability) untuk kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh tumpahnya minyak persisten (kategori B3) dari kapal atau fasilitasnya. Hal ini berarti bahwa pemilik kapal atau pemilik fasilitas bertanggung secara langsung, tanpa perlu pembuktian atas kesalahan pada pihaknya.  Apabila terjadi pencemaran minyak yang diakibatkan selain oleh tumpahan minyak dari kapal maka penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan bertanggung jawab secara mutlak (strict liability) untuk kerusakan lingkungan yang disebabkannya.(jan)