It's a Long Way To Academy, Catatan Seorang Mantan Kadet -->

Iklan Semua Halaman

It's a Long Way To Academy, Catatan Seorang Mantan Kadet

13 Juni 2018
eMaritim.com, 13 Juni 2018
Catatan (khusus) W.P Lumintang


Selamat pagi Indonesia, selamat pagi masa depan maritim negeri tercinta. Perkenalkan nama saya Willem Pieter Lumintang, Pada September 2017 lalu saya baru berusia 80 tahun dan lahir di negeri tercinta Indonesia, negeri tercantik di dunia, a piece of heaven that falls to earth.

Seperti kebanyakan orang di negeri ini, saya menghabiskan masa kecil di kampung halaman saya, Minahasa. Mulai dari SD di Ratahan, SMP di Langoan sampai SMA di Tomohon. Setelah melewati masa pendidikan dasar dan menengah, saya memutuskan untuk mengabdikan hidup saya ke dunia maritim dan masuk sekolah yang bernama Akademi Ilmu Pelayaran pada tahun 1959, di kwartal ke tiga. Walau saya pernah masuk juga di  Universitas Gajah Mada dan Akademi Penerbangan Curug sebelumnya. Sea is my destination.

Setelah melewati masa pendidikan Basic selama 6 bulan di Ancol, pada tahun 1960 saya mulai mencicipi rasanya menjadi awak kapal sebagai kadet diatas kapal KM Berau milik PT Pelni. Di saat saya menjalani Sea Project bersama kadet nautika lain bernama Sam Polii, Republik ini sedang berusaha memadamkan pemberontakan PRRI- Permesta di Sumatera dan Sulawesi. KM Berau termasuk kapal yang diberi tugas untuk mengangkut pasukan  dari pulau Jawa ke Sumatera dan Sulawesi. Mengangkut pasukan tempur dengan senjata lengkap dalam kondisi cuaca yang kurang baik memberikan banyak pengalaman yang unik.

Selesai Sea project (sekarang disebut Prola) pada tahun 1961, kami harus kembali ke kampus di Gunung Sahari. Tak lama berselang dilakukan tes kepada 49 taruna tingkat 2 untuk dikirim ke Kings Point, USA. Tes tersebut menghasilkan 7 taruna yang lulus, 4 orang dari jurusan Nautika ( R.Jatim, Matakupan, Lumintang dan Pattiwael), dan 3 dari jurusan Teknika (Harahap, Sianipar dan M. Zaenuri). Walaupun pada saat kami kuliah di Gunung Sahari, yang menempati ranking pertama jurusan Nautika adalah Soediono Djauhari, tapi dia tidak diijinkan oleh Djakarta Lloyd untuk pergi ke Amerika.


Kami bertujuh tiba di United States Merchant Marine Academy Kings Point pada bulan September 1961 dan berbaur dengan para kadet dari Amerika yang mewakili setiap States nya. Sesuai Act of Congress USA setiap tahun Kings Point menerima lebih kurang 300 taruna baru. Karena masih ada tempat kosong, maka kami bertujuh dari Indonesia bisa masuk. Untuk diketahui Amerika Serikat memiliki 5 Federal Academy; Army di West Point; Navy di Annapolis; Air Force di Colorado Spring; Coastguard di New London, dan United States Merchant Marine Academy (USMMA) di Kings Point.

Selanjutnya kami bertujuh dibagi kedalam batalyon berbeda sesuai jurusan kami, nautika dan teknika. Dengan masih memakai pakaian preman besoknya kami langsung mengikuti kuliah yang memang sudah berlangsung sejak permulaan September 1961. Kami semua duduk di tingkat 3 yang disana disebut sebagai "second classmen". Tahun 1962 kami bertujuh naik kelas menjadi "first classmen". Pada akhirnya di bulan Agustus 1963 kami lulus dari Kings Point, dan pada bulan Nopember 1963 sudah kembali ke kampus Ancol, Gunung Sahari, Jakarta.

Kings Point biasa memberikan apresiasi bagi yang memiliki nilai rata-rata A berupa long weekend dan bintang emas, dan yang nilai rata-rata B mendapatkan long weekend dan bintang perak. R. Jatim dan saya waktu ditingkat 4, pernah mendapat bintang perak, yang membuktikan kita tidak kalah dari taruna Amerika dalam segala aspek.

Untuk diketahui, semua negara bagian Amerika punya hak sama untuk mengirimkan taruna-taruna terbaiknya ke 5 akademi yang disebut diatas. Laporan hasil pendidikan setiap tahun dilaporkan ke Congressmen setiap negara bagian. Dan untuk memenuhi undang-undang AS maka kami bertujuh di endorse oleh Congressmen dari 2 negara bagian, yaitu California dan New York.

Saat kami kembali ketanah air, suasana politik Indonesia sedang mencekam karena PKI dangan Pemuda Rakyatnya sangat anti Amerika. Walau kami bertujuh dianggap sukses, dan kemudian dipersiapkan lagi kelompok ke 2 yang rencananya berangkat tahun 1964, namun akhirnya ditarik kembali setelah Presiden R.I Bung Karno menyatakan "to hell with your aid".


Sekedar tambahan dari 300 taruna yg memulai pendidikan di USMMA tahun 1959, yang menyelesaikan pendidikan hanya 198 termasuk kami bertujuh. Bahkan sesuai info saat ini tinggal 151 surviving members of class 1963 yang diundang untuk reuni yang ke 55 tanggal 22 September 2018 di US.

Sayangnya dari kami bertujuh, tinggal saya dan Capt Boy Pattiwael yang masih hidup, selebihnya : Capt Rozaimi Jatim, Capt Matakupan dan para engineer Harahap, Sianipar dan M Zaenuri telah mendahului kami.

Semoga Indonesia bisa mencapai kejayaan maritimnya, seperti yang sudah dirintis oleh pendahulu bangsa dan kami sebagai bagian dari sejarah tersebut. Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat membutuhkan maritim sebagai nafas utama pembangunan peradaban manusianya. Nauyanam Avasyabavi, Jivanam Anavasyabavi.(zah)