Kenapa IMO Tidak Memberlakukan Persyaratan Syahbandar Sesuai Persyaratan Seafarers? -->

Iklan Semua Halaman

Kenapa IMO Tidak Memberlakukan Persyaratan Syahbandar Sesuai Persyaratan Seafarers?

23 Juli 2018
eMaritim.com, 23 Juli 2018


Uni Eropa menderita kekurangan tenaga pelaut secara sangat signifikan sebelum tahun 2000, dimana hal itu sudah jauh jauh hari diprediksi oleh Inggris dan negara negara tetangganya. Negara negara seperti Jerman,  Belanda, dan Belgia memiliki ratusan kapal yang dalam kondisi mengkhawatirkan karena tidak adanya warga negara mereka yang mau lagi bekerja sebagai pelaut. Mereka bersama Inggris ramai ramai menyuarakan permasalahan tersebut ke Parlemen Uni Eropa agar melonggarkan aturan tentang tenaga kerja.

Pada akhir tahun 90an, Komisi Transportasi Eropa memberikan lampu hijau kepada anggotanya untuk mempekerjakan perwira senior asing diatas kapal kapal berbendera Uni Eropa. Setiap negara diminta untuk membuat standar assesmen dan kualifikasi untuk para pelaut asing (perwira) yang kebanyakan berasal dari Eropa Timur,  Filipina dan India, sementara Perwira yang berasal dari Indonesia pada saat itu bisa dihitung dengan jari.

Keadaan ini menggambarkan kondisi shipping industry di Eropa pada saat itu, bahwa pertumbuhan armada kapal tidak bisa diimbangi dengan bertambahnya jumlah pelautnya. Sebagian negara bergegas membuka pintu penerimaan perwira senior dari negara lain, karena tidak banyak warga negara eropa utara yang berminat lagi menjalani kehidupan sebagai pelaut.

IMO sebagai lembaga yang menaungi industri pelayaran di dunia menyadari fenomena tersebut, apalagi Inggris sebagai rumah IMO juga mengalami hal yang sama. IMO cepat bereaksi,  karena sangat menyadari bahwa keberadaan pelaut yang kompeten tidak hanya penting untuk menjaga maritime safety,  tapi juga mutlak untuk menjamin terjaganya lingkungan hidup di kegiatan maritim disamping sangat penting untuk menjaga pertumbuhan ekonomi negara negara anggotanya secara global.  Apa yang selanjutnya terjadi?

Kekurangan Pandu Laut

Dengan kekurangan tenaga nakhoda dan perwira senior lainnya, Rotterdam, London,  Antwerpen, Hamburg, Dublin, Kiel Kanal bahkan perairan Fjord di Norwegia membebaskan area wajib pandu untuk kapal kapal yang rutin memasuki wilayah tersebut. Selama sang navigator familiar dan tercatat mampu melakukan navigasi sendiri, maka ijin akan diberikan.

Eropa pada akhirnya kehabisan SDM untuk mengisi posisi Harbor Master.

Untuk mengantisipasi pelabuhan pelabuhan di eropa di invasi oleh para pelaut asing, maka United Kingdom Harbor Masters Association (UKHMA) mulai melakukan pendekatan dan lobby ke pemerintah agar diberikan kemudahan oleh National Occupational Standards (NOS) untuk jabatan harbor master. NOS tidak berkeberatan jika kapal dan pandu laut dijabat oleh para Captain dari negara lain, tapi urusan harbor master adalah hal berbeda, ini adalah urusan kedaulatan negara ditanah mereka sendiri.

Pada kongres UKHMA ditahun 2011 Capt. Kevin Richardson, General Manager Port Operations/Harbour Master, Port of Dover yang juga merupakan President dari United Kingdom Harbour Masters Association, United Kingdom (UKHMA) menjelaskan; "Secara pasti kita kekurangan orang yang qualified dan kompeten untuk mengisi jabatan penting harbor master. Sumber utama yang secara tradisional menyediakan tenaga tersebut yaitu Perwira Kapal Niaga dan Royal Navy secara pasti mulai kekeringan SDM dengan sangat cepat".

Capt. Richardson yakin Inggris tidak sendirian mengalami hal tersebut, sebuah masalah eropa bersama sama dalam mencari the right man with right qualification and right experience.

Saat ditanya, apa yang dimaksud dengan right qualification, dia menjawab; "Seharusnya itu adalah seorang yang memiliki sertifikat COC Master Foreign Going, dan ini masih tetap akan jadi pilihan utama serta dasar menentukan standarisasi. Tapi dunia dan kita harus merubah itu semua, karena keberadaan master mariner sudah hampir habis, pelan tapi pasti.

Maka pada tahun 2012, Inggris merubah persaratan untuk menjadi harbor master, setelah mendapat restu dari NOS. Tidak ada lagi disebut persaratan harus memiliki latar belakang harus pernah menjadi perwira senior diatas kapal niaga atau diatas kapal perang mereka. Yang lebih ditekankan adalah soal assessmen yang akan dilakukan oleh penyelenggara pelabuhan,  dan semua masih dalam koridor Port Marine Safety Code.

Walau dalam praktek umum diakui bahwa yang terbaik adalah harbor master harus memiliki kualifikasi minimal sama tinggi dengan nakhoda kapal terbesar yang mungkin masuk kedalam pelabuhan tersebut. Di hampir semua pelabuhan komersial ini bisa dikategorikan sebagai ANT-1, atau boleh dengan ijazah lainnya dipelabuhan yang lebih kecil.

Tindakan yang dilakukan oleh Inggris, selanjutnya diadopsi oleh IMO dan kita tidak pernah lagi menemukan standar kualifikasi untuk menjadi harbor master, semua berpulang kepada penyelenggara pelabuhan.

Apa yang terjadi di Indonesia?

HUBLA sebagai administrateur dari negara untuk IMO memiliki persoalan yang sangat berbeda dari eropa. Keberadaan perwira senior dari pelayaran niaga ataupun angkatan laut lebih dari cukup. Indonesia belum sama dengan eropa, di eropa kapal dibuat pada standar yang paling tinggi. Nakhoda dan perwira kapal di eropa juga tidak terlalu berpengaruh dengan siapa yang menjadi harbor master. Mereka tetap menjalankan Safety karena sudah menjadi persaratan dan budaya hidup mereka sehari hari. Ada atau tidak ada harbor master,  kapal tetap terjaga mutu dan performa nya.

Negara negara di eropa memberikan paket remunerasi yang mewah untuk pejabat harbor masternya, ini untuk menjamin mereka bisa mendapatkan kualitas terbaik dari warganya yang mau mengisi jabatan harbor master.

Saat ini, pejabat harbor master di Indonesia lebih banyak yang dipegang oleh pegawai negeri sipil dengan latar belakang beragam, dan mereka yang berlatar belakang perwira pelayaran niaga atau angkatan laut tidak menjadi dominan.
Alasan kenapa eropa memperbolahkan harbor master dijabat oleh siapa saja asalkan warga negara, diartikan berbeda di Indonesia. Dan sebagai salah satu konsekuensinya, kita melihat banyaknya kecelakaan kapal yang menjadi akumulasi dari lemahnya pengetahuan teknis dari sang harbor master.

Persoalan mencolok lainnya adalah rendahnya paket remunerasi yang ditawarkan HUBLA untuk mampu menarik para perwira kapal senior. Wajar saja ketertarikan untuk mengisi posisi di HUBLA tidak bisa mengalahkan sektor swasta apalagi perusahaan asing dalam menjaring kader kader yang mumpuni dibidang tersebut. 

Sebuah dilema bagi HUBLA dalam rangka meningkatkan aspek keselamatan kapal,  penumpang dan terjaminnya lingkungan hidup dalam kegiatan pelayaran. Apabila kesadaran awak kapal tentang safety masih lemah, dan operator kapal juga masih berkutat di persoalan kelangsungan hidup pelayaran yang ditekan krisis, maka seorang harbor master yang qualified dan kompeten bisa menjadi pengatrol meningkatnya parameter keselamatan pelayaran.(zah)