Kapal Asing Yang di Awaki Pelaut Indonesia Jarang Mengalami Kecelakaan, Kenapa Bisa? -->

Iklan Semua Halaman

Kapal Asing Yang di Awaki Pelaut Indonesia Jarang Mengalami Kecelakaan, Kenapa Bisa?

04 Agustus 2018
eMaritim.com, 4 Agustus 2018

(Capt. Dwiyono kedua dari kanan) 

Dalam Rakernas DPP INSA yang diselenggarakan pada Kamis 2 Agustus lalu, ketua IKPPNI yang menjadi salah satu nara sumber dalam Diskusi Panel ke 2 berjudul Mendorong Regulasi Pelaut Menuju Industri Maritim yang Kompetitif memaparkan presentasi yang membuka mata peserta akan sebuah fakta.

Bahwa dengan SDM pelaut NKRI yang sama, kecelakaan kapal di Indonesia jauh lebih tinggi dibanding kecelakaan yang terjadi diluar negeri. Capt. Dwiyono Soeyono menjelaskan; "Arti kata human error dalam kecelakaan kapal di Indonesia tidak boleh diartikan sebagai kesalahan pelaut saja, karena human dalam kegiatan maritim yang terlibat adalah stake holders:
1. Di sektor kapal atau Shipboard management. 
2. Di perusahaan pelayaran atau Shore base management sebagai Top Level. 
3. Di pemerintahan atau Regulator". 

"Apakah semua sudah sesuai dengan kompetensinya? Jika dikapal dengan profesi pelaut jelas harus comply kepada aturan yang diberlakukan sebagai standar baik yang domestik maupun aturan STCW.
Bagaimana dengan yang didarat sebagai shore based management:
1. Government officials as regulator.
2. Shipping management at the office as top level.
Apakah sudah memiliki standar yg dibakukan sebagai kompetensi SDM yg match dengan industri maritim?" Capt Dwi bertanya balik.

"Ada sekitar 45.000 pelaut Indonesia yang bekerja dikapal asing, dan kita sangat jarang mendengar kecelakaan kapal terjadi dimana ABK nya adalah orang Indonesia, kenapa bisa begitu?" jelas Capt Dwi.

Lebih detail ketua IKPPNI menjabarkan; "Jadi, angka pembanding kecelakaan kapal didalam dan diluar negeri ini adalah merupakan indikator bahwa yang dikatakan human error dalam kecelakaan kapal dalam negeri bisa disimpulkan bukan dari human error shipboard management  sepenuhnya. Karena mereka sudah kompeten dan dibuktikan dengan sertifikasi.

Dilain sisi terkait status pelaut, Capt. Dwiyono menyayangkan bahwa pengaturan pelaut masih menjadi profesi rebutan dalam proses ketenaga kerjaan, antara beberapa instansi yang semestinya sudah beres dari puluhan tahun lalu.

Kekhususan pelaut ini sudah di jelaskan dari semenjak era kolonial dengan pengaturan yang ada di didalam KUHD, bukan KUHP dan selanjutnya didalam Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 2000 tentang Kepelautan. Dijelaskan bahwa profesi pelaut yang dalam bahasa baku IMO disebut Seafarers adalah profesi yang Lex Specialist. Tempat mereka bekerja bergerak dari negara ke negara, dan nakhoda kapal memiliki wewenang yang sangat tinggi diatas kapal, diantaranya bisa sebagai Hakim, Pejabat Sipil, Penghulu, dan wewenang istimewa lainnya.

Kekhususan ini juga ada dibanyak hal, mulai dari sekolah yang khusus, kontrak kerjanya pun sangat spesifik yang disebut PKL (Perjanjian Kerja Laut), bahkan ada Mahkamah Pelayaran. Tidak mungkin menyamakan pelaut dengan buruh (setara tenaga terampil) dan menyerahkan urusan kepelautan kepada Kementerian lain selain Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Dunia sudah mengakui bahwa kapal dan pelaut adalah motor penggerak ekonomi dalam peradaban umat manusia, dan itu tidak akan tergantikan.

Menyamakan pelaut dengan buruh akan semakin menghancurkan tatanan administrasi yang berujung semakin banyaknya kecelakaan kapal di republik ini. Jadi UU nomor 13 tentang Ketenaga kerjaan yang bersifat general tidak bisa dipakai untuk pelaut. Ilmu hukum mengacu pada pakem Lex Specialist Derogate Lex Generalis, sesuatu yang khusus akan diberlakukan dengan hirarkhi yg lebih tinggi dalam rezim untuk mengalahkan pemberlakuan hukum hal yang umum.

Lebih jauh Capt.Dwiyono mengatakan: "Yang menjadi concern kita di industri maritim adalah kesadaran akan lex specialist ini apakah sudah dengan konsisten dilakukan semua pihak, di Goverment party,  dan Shore base management party sebagai stake holder. Karena di shipboard management (kapal) sudah pasti sesuai dengan peraturannya. Padahal pemerintah juga sudah jelas mengatur soal tersebut didalam Undang Undang nomor 5 tentang Aparatur Sipil Negara yang menyebut kata KOMPETENSI mulai dari pembukaan, dan di hampir semua ayat yang ada didalamnya. Kalau itu dilakukan dengan konsisten, maka lihatlah kapal-kapal asing yang diawaki ABK Indonesia, selalu berlayar dengan selamat dan aman. Indonesia jelas bisa, kalau memang mau".

eMaritim mencatat bahkan didalam negeri dimana perusahaan pelayaran swasta anggota INSA yang umumnya menerapkan standard baik, sangat jarang terjadi kecelakaan kapal. (salah satu contohnya di pelayaran lepas pantai). Hal ini dipercaya karena mereka memiliki shore base management yang baik dan sistem rekrutmen pegawai serta pelautnya sudah menerapkan the right man in the right place.

Capt. Dwiyono Suyono mengajak semua pihak untuk bersama sama menghetikan trial and error dan praktek error and trial untuk meminimalisir kecelakaan dilaut.(jan)