Peluang Beyond Cabotage, Ini Sasaran INSA -->

Iklan Semua Halaman

Peluang Beyond Cabotage, Ini Sasaran INSA

11 Agustus 2018
Jakarta, eMaritim.com - Implementasi program Beyond Cabotage sepertinya menjadi hal yang dapat dinikmati pelayaran, kali ini Indonesian National Shipowners Assocaiation sedang menyiapkan rencana kerja peta jalan (roadmap).Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) yang mewajibkan setiap eksportir batu bara dan crude palm oil (CPO) menggunakan kapal berbendera merah putih.

Pembahasan yang akan dimasukan dalam roadmap itu, selain soal komoditi yang akan diangkut juga spesifikasi kapal yang akan mengangkut komoditi, seperti batubara dan secara teknis, termasuk juga pelabuhan tujuan.

Ketua Umum INSA Carmelita Hartoto mengatakan, tahap awal akan dilakukan pendataan, jenis barang yang akan diangkut dan pelabuhan tujuan maupun pelabuhan muat. Misalnya Philipin, Malaysia, Vietnam dan akan terus berlanjut ke Jepang dan China serta negara lainnya.

Hal ini perlu dilakukan, karena setiap pelabuhan di masing-masing negara memiliki karakteristik yang berbeda. "Ini juga menjadi bagian yang terus dilakukan DPP INSA dalam memperjuangkan dan mengimplementasikan Permendag 82," kata Carmelita, Jumat (10/8/2018) di Jakarta.

Pelayaran nasional memiliki kemampuan dan kecukupan armada untuk mengangkut komoditi ekspor maupun impor, asalkan ada kepastian dan keberpihakan pemerintah.

Rendahnya daya saing pelayaran nasional karena selama ini harus berhadapan langsung dengan pelayaran asing, yang telah menguasai pasar internasional.

"Makanya kita meminta pemerintah memberikan perlindungan dan keberpihakan kepada pelayaran nasional. Setelah pemerintah memberikan kemudahan itu, kita siap bergerak," kata Carmelita.

DPP INSA mentargetkan, tahap awal pelayaran nasional mengangkut 10 - 30 persen dari total komoditi yang ada.

"Kita juga tidak serakah langsung meminta sampai 30 pesen. Ini kan bertahap dan akan terus kita perjuangkan. 10 persen saja bila benar bisa kita angkut sudah cukup besar, secara bertahap akan terus ditingatkan," tutur Carmelita seperti dikutip dari Bisnisnews.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) volume komoditi ekspor batubara tahun 2017 mencapai 364 juta ton dan tahun ini ditargetkan tembus sebesar 371 juta ton atau naik 7 juta ton.

Direktur Jenderal Mineral dan BatubaraKementerian ESDM Bambang Gatot sebelumnya mengatakan, komoditi batubara nasional cukup besar. Tahun ini produksi batubara ditargetkan mencapai 485 juta ton atau meningkat lima persen dibandingkan realisasi produksi 2017 yang mencapai 461 juta ton.

Direktur PT Gurita Lintas Samudera, Soeharyo Sangat yang juga Wakil Ketua Umum IV DPP INSA menegaskan dengan mengangkut 10 persen dari total ekspor sudah cukup besar. Masaahnya sekarang ini, apakah kuota yang diharapkan bisa diberikan.

Kendala lain yang nantinya dihadapi pelayaran nasional ialah ongkos angkut. "Disini kita tidak bisa bersaing secara maksimal dengan mereka," jelasnya.

Implementasi Permendag 82/2017 ini juga akan berpengaruh kepada skema transaksi. Yaitu dari sistem FOB (free on board) di mana eksportir berkewajiban menyerahkan batubara sampai di atas kapal, menyiapkan izin ekspor, membayar pajak dan royalti yang berlaku berubah menjadi CIF (cost, insurance and freight).

Dalam Skema CIF ini,  eksportir akan menanggung biaya pengiriman sampai ke pelabuhan negara tujuan, termasuk asuransinya.

Khusus ekspor batu bara ini, selain soal skema transaksi, juga kemampuan pelayaran nasional dalam menyediakan armada.  DPP INSA mengatakan, pelayaran nasioal memiliki kemampuan penyediaan armada sesuai spesifikasi yang dibutuhkan. (*/Hp)

Berikut spesifikasi kapal angkutan batubara yang umumnya digunakan pelayaran internasional:

1-Handymax :40.000 -  59.999 DWT

2-Supramax :50.000 -  59.999 DWT

3-Panamax  :60.000 -  79.999 DWT

4-Post Panamax : 80.000 -  109.999 DWT

5-Capesize : 110.000    -  199.000 DWT

6-Handysize: 39.999 DWT