![]() |
Data Infografik Indonesia di Peringkat 45 Dunia |
Persatuan Pengusaha Pelayaran Niaga Nasional Indonesia atau
Indonesian National Shipowner’s Association (INSA) sambut baik peningkatan
peringkat Indonesia dalam Indeks Global Competitiveness 2018 ke posisi 45 dari
47 yang dirilis World Economic Forum.
Berdasarkan indeks tersebut, Indonesia unggul dibandingkan
Meksiko yang berada di posisi 46, Filipina (56), India (58), Turki (61), dan
Brasil (72). Namun, Indonesia masih kalah dibandingkan Malaysia yang
diperingkat 25, Rusia (43), dan Thailand (38). Sedangkan Amerika Serikat berada
diperingkat pertama, disusul Singapura, Jerman, Swiss, dan Jepang.
Penilaian daya saing berdasarkan kompenen yang diteliti yakni
institusi, infrastruktur, kesiapan teknologi informasi dan komunikasi,
stabilitas makroekonomi, kesehatan, keterampilan, pangsa pasar, tenaga kerja,
sistem keuangan, dinamika bisnis, dan kapasitas inovasi. Terkait infrastruktur,
Indonesia berada pada peringkat 71 atau skor 67.
“Dunia usaha Indonesia cukup senang mendengar ada perbaikan
peringkat Global Competitiveness Report dari World Economi Forum,” ungkap Ketua
Umum INSA, Carmelita Hartoto.
Carmelita mengatakan, Indonesia harus terus memperbaiki
komponen-komponen yang menjadi penilaian dalam Global Competitiveness Repot.
Artinya, komponen apa saja yang perlu mendapat perhatian untuk digenjot
kinerjanya, dan komponen mana saja yang perlu dipertahankan.
“Misalnya pada penilaian di sektor infrastruktur yang mencakup
darat, laut, udara, dan kereta api yang di posisi 71, yang kami nilai perlu
terus ditingkatkan konektivitasnya khususnya di wilayah terluar, terdalam dan
terpencil,” kata Carmelita.
Menurut Carmelita, pembangunan infrastruktur yang masif dalam
beberapa tahun terakhir ini perlu diapresiasi dan diharapkan berjalan
konsisten, sehingga daya saing Indonesia akan ikut terkerek naik di masa
mendatang.
Selain itu, dikatakan Carmelita, pemerintah dan seluruh
stakeholder masih perlu bekerja keras melakukan perbaikan dan peningkatan di
sektor inovasi dan tenaga kerja yang mana undang-undang tenaga kerja sangat
tidak berpihak kepada dunia usaha.
“Kita perlu fokus dan kerja sama semua pihak mengingat negara
tujuan investasi yang berada wilayah yang sama dengan Indonesia seperti
Malaysia dan Thailand diberi peringkat yang jauh lebih tinggi. Kita perlu
segera melakukan inisiatif-inisiatif dan terobosan untuk mengejar
ketertinggalan kita. Ini adalah kesempatan dimana pada saat ini kondisi ekonomi
dunia sedang mencari equilibrium
baru,” tuturnya.
Carmelita menjelaskan, equilibrium baru adalah dimana nilai mata
uang dolar Amerika Serika lebih stabil, world
trade sudah mendapatkan balance yang disepakati. Bilateral antara AS-CHINA
dan juga bilateral negara lainnya. Kestabilan emerging markets sangat bergantung nilai tukar dolar AS dan Trade
Agreement antara negara-negara besar pelaku ekonomi dunia.
“Kalau kondisi-kondisi di atas bisa tercapai, kemungkinan tahun
depan keadaan bisa membaik dan hanya satu faktor yang dapat memperlambat pertumbuhan
Indonesia yaitu harga minyak yang masih naik turun dikisaran USD 70 - USD 80,”
pungkasnya. (*)