Jakarta, eMaritim.com - Usulan untuk membuka kran investasi asing hingga 100 persen pada usaha angkutan multimoda akan menodai kebijakan asas cabotage di sektor angkutan laut nasional.
Asas cabotage yang bermakna kedaulatan negara (sovereign the
country) telah terbukti sukses dalam menjaga kedaulatan negara pada aspek
keamanan dan pertahanan. Armada pelayaran nasional menjadi bagian dari
pertahanan negara, yang dapat dimobilisasi jika negara dalam keadaan bahaya.
Hal ini seperti amanat Undang-undang No 32 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Kebijakan asas cabotage yang tertuang dalam Inpres No 05
tahun 2005 dan Undang-undang No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran juga telah
terbukti berperan dalam mendorong pertumbuhan perekonomian nasional.
Penerapan asas cabotage yang didukung para pelaku usaha
pelayaran nasional telah mendorong investasi sektor angktuan laut. Pada 2017,
armada pelayaran nasional mencapai 23.823 atau melonjak dari sejak awal
diterapkannya asas cabotage pada 2005 yang hanya berkisar 6.041 armada. Hal ini
juga diiringi dengan pertumbuhan perusahaan pelayaran nasional yang pada 2017
telah mencapai 3.760 perusahaan.
Dengan kekuatan armada yang cukup besar, pelayaran nasional
juga telah mampu melayani seluruh pendistribusian kargo domestik. Seluruh
distribusi kargo domestik sudah terlayani oleh kapal nasional dari total kargo
sekitar 965 juta ton pada 2017 untuk seluruh wilayah Indonesia.
Asas cabotage juga berperan dalam mendorong pertumbuhan
sektor terkait pelayaran nasional lainnya. Sedikitnya, terdapat 18 cluster
bisnis terkait pelayaran nasional yang terdampak positif dari tumbuh kembangnya
armada pelayaran nasional, misalnya galangan kapal, asuransi kapal, hingga
sektor sekolah SDM pelaut.
Ketua Umum Indonesian National Shipowner’s Association
(INSA) Carmelita Hartoto mengatakan adanya usulan dari pihak-pihak tertentu
untuk merevisi Daftar Negatif Investasi (DNI) pada angkutan multimoda,
khususnya sektor angkutan laut merupakan sebuah kemunduran dan menodai semangat
nasionalisme yang tertuang dalam asas cabotage.
“Asas cabotage harus tetap berjalan konsisten, karena sudah
terbukti memberikan banyak dampak positif dalam banyak aspek negara. Jadi kalau
ada suara atau usulan untuk mengubah DNI di sektor angkutan laut tentunya harus
ditolak,” katanya Jumat (5/10/2018).
Menurutnya, pasar dalam negeri Indonesia dengan penduduk
nomor 4 terbesar memang sangat menggiurkan investor asing, apalagi di saat
pasar dunia yang tengah mengalami kelesuan. Untuk itu, pemerintah harus
menempatkan safety dan security nasional di atas segalanya termasuk investasi
asing.
Di sisi lain, pelayaran nasional masih memiliki pekerjaan
rumah dalam mendorong daya saingnya. Jika DNI pada sektor angkutan laut dibuka
hingga 100 persen untuk investasi asing, secara serta merta akan membuat
pelayaran nasional akan kembali mengalami kelesuan.
Sekretaris Umum DPP INSA Budhi Halim mengatakan, asas
cabotage menegaskan angkutan laut dalam negeri menggunakan kapal berbendera
merah putih, dan diawaki oleh awak berkebangsaan Indonesia.
Kebijakan ini tidak hanya diterapkan di Indonesia. Beberapa
negara sudah memberlakukan asas cabotage seperti, Amerika Serikat, Brazil,
Kanada, Jepang, India, China, Australia, Phillippina dan sebagainya.
Terlebih kata Budhi, saat ini Presiden Joko Widodo tengah
mencita-citakan Indonesia sebagai negara poros maritim dunia. Cita-cita itu
akan terwujud dengan dukungan industri pelayaran nasional yang kuat dengan
konsistensi implementasi kebijakan asas cabotage.
“Jadi asas cabotage harus konsisten dijalankan kalau kita
mau menuju poros maritim dunia sesuai dengan keinginan Bapak Presiden Joko
Widodo.”katanya.
Untuk itu, kebijakan terkait transportasi laut baik di
tingkat pusat maupun daerah harus
mengedepankan kebijakan asas cabotage.
“Kebijakan asas cabotage merupakan bentuk kedaulatan negara
dan mandatory atau bersifat wajib untuk negara. Asas cabotage harus
dipertahankan demi kepentingan nasional." tuturnya. (Hp)