Jakarta, eMaritim.com - Persatuan Pengusaha Pelayaran Niaga Nasional
Indonesia atau Indonesian National Shipowner's Association (INSA) mendorong
adanya solusi alternatif sebagai pengganti jaminan petikemas.
Ketua Umum DPP INSA Carmelita Hartoto mengatakan solusi
alternatif yang dimaksud itu berbentuk one
time deposit, bank guarantee atau
semacam insurance. Pelaksanaan
pengganti jaminan petikemas dilakukan dengan skema business to business (B to B).
"Kami sangat mendorong munculnya business creativity (kreativitas bisnis) dimana antara pengguna
jasa (importir dan agennya) dan perusahaan pelayaran asing untuk saling mencari
solusi mengurangi resiko bisnis dengan mencari alternatif lain," katanya,
Selasa (2/10/2018).
Carmelita mengatakan jaminan petikemas selayaknya tidak
dipandang sebagai pencetus penaikan biaya logistik, mengingat jaminan petikemas
hanya bersifat sementara dan hanya dipergunakan jika terjadinya biaya kerusakan
petikemas. Bahkan, dalam banyak kesempatan jaminan petikemas tidak bisa
menutupi biaya yang diakibatkan kerusahakan ataupun kehilangan petikemas.
"Yang perlu digaris bawahi, bahwa jaminan petikemas
ini tidak dapat dikatakan sebagai faktor pencetus kenaikan biaya logistik,
karena sifatnya ini sementara saja."
INSA dan anggotanya dari perusahaan pelayaran asing
memahami adanya Surat Edaran Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan
terkait jaminan petikemas. Pada tataran implementasi di lapangan, kata
Carmelita beberapa perusahaan pelayaran asing juga telah menerapkan zero container deposit sebelum
dikeluarkannya Surat Edaran tersebut.
Menurut Carmelita, penerapan jaminan petikemas sejauh
ini mengacu kepada business to business agreement, dimana masing-masing perusahaan
pelayaran asing memiliki strategi dan resiko bisnis yang berbeda antara satu
dengan yang lainnya.
Setelah keluarnya Surat Edaran Dirjen Hubla,
semakin banyak perusahaan pelayaran asing yang sudah mengikuti arahan yang tertuang
dalam Surat Edaran tersebut. Jika masih ada yang menerapkan jaminan petikemas,
hal itu mengacu kepada Surat Edaran yang berlaku (melalui
proses evaluasi).
Sementara itu, INSA juga mengusulkan agar
penertiban kelaikan petikemas dan berat kotor terverifikasi agar mengacu pada
kebiasaan yang berlaku secara internasional (best international practice).
Inspektur dari pemilik petikemas yang telah memiliki IILC dapat melakukan self assesment pada petikemas yang telah
melewati batas waktu berlakunya initial sertifikat dari pabrik dan mencantumkan
perubahan tanggal masa berlaku.
"Pemeriksaan terhadap kelaikan petikemas, dapat
dilakukan secara random dan berkala oleh BU tersertifikasi yang ditunjuk oleh
pemerintah atau Badan Klasifikasi International yang diakui pemerintah."
Carmelita melanjutkan, bila ditemukan petikemas yang
kondisinya sudah tidak laik dan sertifikatnya sudah melampaui batas waktu, maka
petikemas tersebut tidak diizinkan untuk dipakai dan barang yang ada di
dalamnya harus dipindahkan ke petikemas lain yang sertifikasinya masih berlaku
dengan semua biaya re-working sepenuhnya
dibebankan ke operator peti kemas tersebut.
"Dengan tidak diizinkannya untuk terus dipakai serta
dibebani biaya pengalihan muatan atas pemakaian petikemas yang tidak memenuhi
syarat sudah merupakan sanksi yang harus ditanggung oleh pemilik (operator)
petikemas, sehingga tidak diperlukan sanksi tambahan yang hanya akan
menimbulkan biaya ekstra."
Adapun terkait aturan berat kotor terverifikasi, INSA
mengusulkan agar petikemas kosong yang dikirim dari DEPO dan akan dimuat ke
atas kapal, maka perhitungan berat petikemas kosong yang dimaksud adalah berat
yang tertera di CSC plate yang terbitkan produsen dari petikemas dimaksud.
"Untuk petikemas isi dengan muatan maka sebelum
petikemas isi tersebut dinaikkan ke kapal, dilakukan verifikasi penimbangan di
pelabuhan tanpa biaya, sebagai bentuk pelayanan dari pelabuhan petikemas."
Terkait
Permenhub No 120 Tahun 2017 Tentang Pelayanan Pengiriman Pesanan Secara
Elektronik (Delivery Order Online) Untuk Barang Impor di Pelabuhan, INSA dan
anggotanya dari perusahaan pelayaran asing menyambut baik adanya aturan
tersebut.
PM tersebut menjadi payung hukum yang jelas
terhadap proses transfer data secara elektronik yang selama ini sudah berjalan,
antara perusahaan pelayaran aing dengan terminal petikemas selaku mitra usaha
dalam kegiatan bongkar muat.
Wakil Ketua
Umum I DPP INSA Witono Soeprapto mengatakan transfer data secara
elektronik menggunakan pedoman secara universal yang digunakan di seluruh
dunia, seperti Codeco, Coari, Coparn dan Coreor. Implementasi penerapan D/O
Online dapat bervariasi antara perusahaan pelayaran asing satu dengan yang
lainnya, dikarenakan perbedaan sistem yang
digunakan dan juga bentuk kerjasama dengan terminal petikemas. “Akan tetapi,
pedoman transfer datanya tetap menggunakan kaidah secara universal,” ucap
Witono.
Witono melanjutkan, implementasi D/O online
tidak menggugurkan kewajiban pengguna jasa (importir) terhadap perjanjian
bisnis antara importir dengan perusahaan pelayaran asing, seperti halnya
pengembalian original bill of lading,
pembayaran freight dan local charges,
ataupun persyaratan umum lainnya.
Implementasi D/O online juga harus didukung
oleh kesiapan terminal petikemas, dan bukan hanya kewajiban semata dari
perusahaan pelayaran asing.
“INSA sangat mendorong terciptanya iklim
persaingan bisnis yang sehat, dimana perusahaan pelayaran asing dituntut untuk
menawarkan solusi bisnis secara elektronik yang paling mudah bagi importir, sehingga
tercipta efisiensi dalam proses.”
INSA juga
turut berbela sungkawa dan berduka cita atas bencana gempa dan tsunami yang
terjadi di Palu dan Donggala. Sebagai wujud keprihatinan, INSA akan memberikan
bantuan dengan mengirimkan kapal bantuan ke Palu.
Adapun kapal
bantuan pertama yakni kapal MV Kisik Mas yang berangkat pada Selasa (10/2/2018)
sore dari Balikpapan menuju lokasi bencana. “Selanjutnya akan disusul beberapa
kapal yang berangkat dari berbagai pelabuhan, seperti dari pelabuhan di
Surabaya,” kata Carmelita.(*)