Jakarta, eMartim.com - Ketua Dewan Pimpinan Pusat Ikatan
Pengusaha Industri Kapal dan Lepas Pantai Indonesia (IPERINDO) Edie K Logam
memberi masukan agar Pemerintah indonesia segera membuat moratorium impor
kapal untuk mendorong berkembagnya industri galangan nasional yang mampu
menciptakan lapangan kerja sekaligus menciptakan tumbuhnya industri pendukung.
"Cara ini diyakini mampu membangkitkan industri galangan dalam
negeri," ungkapnya.
Ini sama dengan asas cabotage yang telah sukses
diimplementasikan perusahaan pelayaran melalui Indonesian National Shipowner's
Association (INSA) di bawah payung hukum Inpres 5/2005 tetang Pemberdayaan
Industri Pelayaran dan UU 17/2008 tentang Pelayaran.
Pertumbuhan kapal berbendera merah putih terdongkrak hingga
lebih dari 150 persen. Melalui program Asas Cobotage seluruh komoditi domestik
wajib menggunakan kapal dan kru merah putih.
"INSA berhasil dengan Asas Cabotage-nya, Kami ingin
moratorium kapal juga terwujud. Moratorium kapal ini membutuhkan campur
tangan pemerintah dalam memanfaatkan potensi nasional di sektor
industri galangan untuk pengadaan kapal. SDM kita cukup banyak dan tidak kalah
dengan luar negeri ," tegas Edie.
Menurutnya, tanpa ketegasan pemerintah, industri galangan
kapal nasional tidak akan tumbuh seperti yang diharapkan. "Pemerintah yang
bisa menghentikan sementara impor kapal. Semua kebutuhan armada wajib di bangun
di dalam negeri, kecuali untuk jenis kapal-kapal tertentu yang belum bisa
dibangun di dalam negeri," tuturnya.
Edie menjelaskan, saat ini IPERINDO tengah menyiapkan konsep
moratorium kapal yang akan disampaikan kepada pemerintah.
"Konsep moratorium tengah kami persiapkan dan kalau sudah selesai akan kami ajukan kepada pemerintah, melalui kementerian teknis terkait" kata Edie, dalam bincang santai di DPP IPERINDO Rabu (17/10/2018)di kawasan perkantoran Sunter Kemayoran Jakarta.
"Konsep moratorium tengah kami persiapkan dan kalau sudah selesai akan kami ajukan kepada pemerintah, melalui kementerian teknis terkait" kata Edie, dalam bincang santai di DPP IPERINDO Rabu (17/10/2018)di kawasan perkantoran Sunter Kemayoran Jakarta.
Moratorium ini, lanjutnya, harus dibarengi dengan kebijakan perbankan nasional. Indonesia belum memiliki
lembaga keuangan yang khusus menangani investasi di sektor kemaritiman.
"Kita belum mempunyai bank maritim, yaitu bank yang khusus menangani masalah pembiayaan kapal dengan bunga kredit
yang kompetitip," jelasnya.
Moratorium kapal dan pendirian lembaga keuangan di sektor
kemaritiman harus jalan beriringan. Karena tanpa dukungan lembaga keuangan,
tujuan yang akan dicapai akan mengalami banyak kendala.
Inisiatif IPERINDO mengusulkan moratorium kapal dan bank
maritim itu mendapat sambutan positif di kalangan industri galangan. Dirut PT
Krakatau Shipyard Askan Naim mengatakan, moratorium adalah upaya mendorong pertumbuhan industri galangan sekaligus memacu perusahaan membangun kapalnya di
dalam negeri dengan dukungan kredit modal kerja yag kompetitip.
"Di China galangan mendapat dukungan dari lembaga
keuangan negara itu dengan pemberian bunga kredit yang rendah. Demikian juga di
Korea dan Jepang. makanya negara-negara
itu industri galangannya maju dan berkembang," tuturnya.
Selama ini Indonesia hanya menjadi pasar industri perkapalan
bagi negara-negara di kawasan Asia dan Eropa. "Sekarang kita balik, dalam
10 atau 20 tahun kedepan kita yang menjadi produsen kapal dan ini bisa kita
lakukan karena Indoesia negara maritim dengan potensi yannng sangat
besar," tuturnya.
Moratorium impor kapal adalah bagian terpenting bagi
Indonesia untuk memulai pengembangan industri galangan di dalam negeri.
"Kita mulai pembangunan kapal untuk konsumsi sendiri, selanjutnya kita
siapkan untuk luar atau ekspor," jelas Askan.
Terkait kredit modal kerja, para pengusaha pelayaran
sebelumnya mendesak pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan memberikan insentif pembangunan dan pembelian
kapal, berupa keringanan bunga kredit.
Ketua Umum DPP INSA, Carmelita Hartoto mengatakan, selama
ini bunga bank untuk pembangunan dan pembelian kapal di Indonesia sangat
tinggi. Kondisi itu menjadi kendala utama minimnya pengembangan bisnis atau
ekspansi operator pelayaran merah putih.
Carmelita bahkan berharap, program pemerintah berupa tol
laut, dan target pemerintah untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim
dunia, diikuti dengan pemberian insentif kepada perusahaan pelayaran berupa
bunga kredit yang rendah untuk pembangunan kapal.
Sebagai perbandingan, bunga perbankan untuk pembangunan
kapal di luar negeri hanya sekitar 1-2 persen. Tapi di Indonesia, perusahaan
pelayaran yang akan meminjam uang di perbankan nasioal dikenakan bunga kredit
12 - 14 persen. (*/hp)