Melihat Grey Area di Pelayaran, INSA Usulkan Kembali ke NCVS -->

Iklan Semua Halaman

Melihat Grey Area di Pelayaran, INSA Usulkan Kembali ke NCVS

26 Oktober 2018
Jakarta, eMaritim.com - Tumpang tindihnya peraturan berujung terciptanya grey area atau wilayah abu-abu di tengah laut, dampaknya bukan saja benturan kepentingan yang menimbulkan membengkaknya biaya logistik tapi akan menurunkan daya saing pelayaran merah putih di kancah intenasional. Sebut saja seperti peraturan tentang pengaturan lambung kapal, pengawakan, salvage dan air ballast serta banyak lagi peraturan yang saling berbenturan dengan instansi terkait.

Beragam peraturan itu bagi perusahaan pelayaran seperti ranjau di tengah laut, menimbulkan interpretasi berbeda-beda oleh pelaksana di lapangan. Sekretaris Umum 1  Dewan Pimpinan Pusat  Indonesian National Shipowner's Association (DPP INSA) Capt. Otto K.M Caloh mengatakan, seluruh ketentuan tentang operasional kapal niaga berbendera merah putih termasuk keselamatan pelayaran dan perlindungan wilayah perairan sudah diatur secara menyeluruh di Keputusan menteri Nomor KM 65 Tahun 2009 tentang Standar Kapal  Non Konvensi (Non Convention Vessel Standard) Berbendera Indonesia atau NCVS.

Sebagai negara maritim, dimana kapal menjadi jembatan penghubung antar pulau di Indonesia dan kelancaran distribusi logistik, hanya membutuhkan dua peraturan sebagai acuan. Yaitu, konvensi International maritime Organization (IMO) untuk kapal–kapal diatas 500 GT yang berlayar ke luar negeri (perairan internasional/Ocean Going), dan non konvensi seperti diamanatkan dalam NCVS, yang mengatur kapal-kapal dibawah 500 GT atau lebih yang hanya berlayar di dalam negeri.

Pemerintah tidak perlu lagi menambah mumet perusahaan pelayaran nasional dengan menerbitkan beragam peraturan secara parsial, sebab Indonesia telah memiliki peraturan baku yang diakui IMO untuk kapal-kapal non konvensi yaitu NCVS.

“Sayangnya, peraturan yang cukup tebal itu kini hanya menjadi hiasan rak buku, tidak digunakan secara utuh, malah pemerintah menerbitkan banyak peraturan melalui kementerian teknis. Sebut saja seperti peraturan tentang lambung kapal, pengawakan, salvage sampai persoalan perlengkapan air ballast yang alatnya selangit. Masing-masing dibuat peraturan sendiri-sendiri melalui keputusan menteri,” tutur Otto.

Operator pelayaran sekarang ini hanya membutuhkan kepastian hukum berusaha di lingkungan maritim.  Jangan ada lagi peraturan-peraturan yang memberatkan pelaku usaha, sehingga kegiatan pelayaran yang mengawal terciptanya NAWACITA Presiden Joko Widodo menuju Indonesia sebagai poros maritim dunia menjadi terbelenggu.

Dijelaskannya, kalau NCVS masih ada kelemahan, bisa direvisi atau diperbaiki dengan melibatkan seluruh stakeholder terkait. Sebut saja seperti INSA, Iperindo, BKI dan para ahli hukum kemaritiman yang jumlahnya cukup banyak. Masing-masing stakeholder itu memiliki keahlian, dan seluruh masukan dijadikan dasar untuk melakukan perbaikan yang akan melengkapi NCVS sebagai kitab sucinya pelayaran nasional.
Indonesia negara berdaulat, menentukan aturan didalam wilayahnya sendiri, bukan melulu harus mengikuti keinginan negara-negara di Eropa, yang iklim dan kondisi perairannya bebeda dengan Indonesia (tropis). Artinya, serahkan kebebasan itu juga kepada pemilik kapal. Mau berlayar di dalam negeri gunakan satu peraturan, yaitu NCVS dan untuk berlayar ke perairan internasional, kapal di atas 500 GT pakai peraturan Konvensi IMO. Dengan demikian, menjadi jelas.

“Sederhana, bagi kami dari pelayaran, pemilik kapal niaga, cuma mau ada kepastian hukum di perairan. Kami sudah banyak beban, tapi dibebani lagi dengan peraturan-peraturan baru, padahal peraturan, yang namanya NCVS yang menurut kami sudah lengkap dan diakui IMO malah tidak digunakan secara maksimal dan kalau mau dibedah jumlahnya banyak,” tutur Otto.

Dalam beleid NCVS jelas diatur, kalau memang ada kekurangan untuk dibenahi terkait kemaritiman, menteri diamanatkan membuat “forum tenaga ahli”. Forum tenaga ahli itu, dibentuk atas usul Dirjen Perhubungan Laut. Selain tenaga ahli libatkan juga assosiasi yang terkait, seperti INSA, BKI, Iperindo dan seterusnya yang masing-masing memiliki peran dan fungsi sesuai bidangnya.

Biaya Tinggi

Di lapangan petugas dari masing-masing instansi membuat interpretasi beragam tentang satu peraturan dengan argumen masing-masing yang bertameng di Undang-undang. “Seperti untuk garis muat ada ketentuan sendiri, untuk pengawakan dibuatkan lagi peraturan, semuanya menjadi banyak, sehingga NCVS yang tebal itu tidak terpakai. Kami pengusaha pelayaran, kalau mau bicara keselamatan pelayaran, acuannya harus jelas. Misalnya untuk kapal-kapal yang tidak menentukan ketentuan konvensi IMO di Indonesia, silahkan berikan kebebasan kepada pemilik kapal menggunakan aturan non konvensi. Tinggal dikasih tahu, kalian mau ikut aturan konvensi atau non konvensi,” tuturnya.

Kapal-kapal kecil dibawah 500 GT yang jalannya cuma di dalam, apakah harus ikut aturan konvensi IMO, yang didalamnya mengatur soal cuaca buruk yang tidak terjadi di Indonesia karena Indonesia beriklim tropis. Ini kan sangat memberatkan. Contoh, untuk keadaan cuaca yang paling ekstrem yaitu di daerah winter north atlantic yang ketinggian gelombangnya 8-10 meter. Gelombang setinggi itu tidak ditemui di perairan Indonesia. Yang ada 3 sampai 5 meter. Apakah konstruksi kapalnya juga harus sama dengan kapal yang menahan gelombang 8-10 meter seperti diatur dalan konvensi IMO?

“Kalau kita mengacu ke NCVS kan ada penurunan biaya kapal. Misalnya saja dari ketebalan plat, untuk menghadapi ombak 8–10 meter, konstruksi kapal di buat sedemikian rupa sesuai ukuran dengan ketebalan kapal misalnya minimum 12 mili meter. Tapi karena kapal hanya berlayar di Indonesia, ketebalan plat kapal tidak harus 12 mili cukup 10 mili. Sudah ada penurunan 2 mili, dan nilainya cukup besar karena ukurannya 2 mili x berat jenis besi 7,85 x  panjang x lebar, sudah berapa ton penghematannya? Ini baru dari segi konsruksi. Dari segi operasional, penghematannya muncul karena konstruksi dan ketebalan yang tidak setebal aturan konvensi. Mau tidak mau kapal bisa memuat lebih banyak dan ongkos angkut menjadi lebih murah,” tutur Otto. (*/Hp)