Jakarta, eMaritim.com - Tumpang tindihnya peraturan berujung
terciptanya grey area atau wilayah abu-abu di tengah laut, dampaknya bukan saja
benturan kepentingan yang menimbulkan membengkaknya biaya logistik tapi akan
menurunkan daya saing pelayaran merah putih di kancah intenasional. Sebut saja
seperti peraturan tentang pengaturan lambung kapal, pengawakan, salvage dan air
ballast serta banyak lagi peraturan yang saling berbenturan dengan instansi
terkait.
Beragam peraturan itu bagi perusahaan
pelayaran seperti ranjau di tengah laut, menimbulkan interpretasi berbeda-beda
oleh pelaksana di lapangan. Sekretaris Umum 1
Dewan Pimpinan Pusat Indonesian
National Shipowner's Association (DPP INSA) Capt. Otto K.M Caloh mengatakan,
seluruh ketentuan tentang operasional kapal niaga berbendera merah putih
termasuk keselamatan pelayaran dan perlindungan wilayah perairan sudah diatur
secara menyeluruh di Keputusan menteri Nomor KM 65 Tahun 2009 tentang Standar
Kapal Non Konvensi (Non Convention
Vessel Standard) Berbendera Indonesia atau NCVS.
Sebagai negara maritim, dimana kapal menjadi
jembatan penghubung antar pulau di Indonesia dan kelancaran distribusi
logistik, hanya membutuhkan dua peraturan sebagai acuan. Yaitu, konvensi
International maritime Organization (IMO) untuk kapal–kapal diatas 500 GT yang
berlayar ke luar negeri (perairan internasional/Ocean Going), dan non konvensi
seperti diamanatkan dalam NCVS, yang mengatur kapal-kapal dibawah 500 GT atau
lebih yang hanya berlayar di dalam negeri.
Pemerintah tidak perlu lagi menambah mumet
perusahaan pelayaran nasional dengan menerbitkan beragam peraturan secara
parsial, sebab Indonesia telah memiliki peraturan baku yang diakui IMO untuk
kapal-kapal non konvensi yaitu NCVS.
“Sayangnya, peraturan yang cukup tebal itu
kini hanya menjadi hiasan rak buku, tidak digunakan secara utuh, malah
pemerintah menerbitkan banyak peraturan melalui kementerian teknis. Sebut saja
seperti peraturan tentang lambung kapal, pengawakan, salvage sampai persoalan
perlengkapan air ballast yang alatnya selangit. Masing-masing dibuat peraturan
sendiri-sendiri melalui keputusan menteri,” tutur Otto.
Operator pelayaran sekarang ini hanya
membutuhkan kepastian hukum berusaha di lingkungan maritim. Jangan ada lagi peraturan-peraturan yang
memberatkan pelaku usaha, sehingga kegiatan pelayaran yang mengawal terciptanya
NAWACITA Presiden Joko Widodo menuju Indonesia sebagai poros maritim dunia
menjadi terbelenggu.
Dijelaskannya, kalau NCVS masih ada kelemahan,
bisa direvisi atau diperbaiki dengan melibatkan seluruh stakeholder terkait.
Sebut saja seperti INSA, Iperindo, BKI dan para ahli hukum kemaritiman yang
jumlahnya cukup banyak. Masing-masing stakeholder itu memiliki keahlian, dan
seluruh masukan dijadikan dasar untuk melakukan perbaikan yang akan melengkapi
NCVS sebagai kitab sucinya pelayaran nasional.
Indonesia negara berdaulat, menentukan aturan
didalam wilayahnya sendiri, bukan melulu harus mengikuti keinginan
negara-negara di Eropa, yang iklim dan kondisi perairannya bebeda dengan
Indonesia (tropis). Artinya, serahkan kebebasan itu juga kepada pemilik kapal.
Mau berlayar di dalam negeri gunakan satu peraturan, yaitu NCVS dan untuk
berlayar ke perairan internasional, kapal di atas 500 GT pakai peraturan
Konvensi IMO. Dengan demikian, menjadi jelas.
“Sederhana, bagi kami dari pelayaran, pemilik
kapal niaga, cuma mau ada kepastian hukum di perairan. Kami sudah banyak beban,
tapi dibebani lagi dengan peraturan-peraturan baru, padahal peraturan, yang namanya
NCVS yang menurut kami sudah lengkap dan diakui IMO malah tidak digunakan
secara maksimal dan kalau mau dibedah jumlahnya banyak,” tutur Otto.
Dalam beleid NCVS jelas diatur, kalau memang
ada kekurangan untuk dibenahi terkait kemaritiman, menteri diamanatkan membuat
“forum tenaga ahli”. Forum tenaga ahli itu, dibentuk atas usul Dirjen
Perhubungan Laut. Selain tenaga ahli libatkan juga assosiasi yang terkait,
seperti INSA, BKI, Iperindo dan seterusnya yang masing-masing memiliki peran
dan fungsi sesuai bidangnya.
Biaya
Tinggi
Di lapangan petugas dari masing-masing
instansi membuat interpretasi beragam tentang satu peraturan dengan argumen
masing-masing yang bertameng di Undang-undang. “Seperti untuk garis muat ada
ketentuan sendiri, untuk pengawakan dibuatkan lagi peraturan, semuanya menjadi
banyak, sehingga NCVS yang tebal itu tidak terpakai. Kami pengusaha pelayaran,
kalau mau bicara keselamatan pelayaran, acuannya harus jelas. Misalnya untuk
kapal-kapal yang tidak menentukan ketentuan konvensi IMO di Indonesia, silahkan
berikan kebebasan kepada pemilik kapal menggunakan aturan non konvensi. Tinggal
dikasih tahu, kalian mau ikut aturan konvensi atau non konvensi,” tuturnya.
Kapal-kapal kecil dibawah 500 GT yang
jalannya cuma di dalam, apakah harus ikut aturan konvensi IMO, yang didalamnya
mengatur soal cuaca buruk yang tidak terjadi di Indonesia karena Indonesia
beriklim tropis. Ini kan sangat memberatkan. Contoh, untuk keadaan cuaca yang
paling ekstrem yaitu di daerah winter north atlantic yang ketinggian
gelombangnya 8-10 meter. Gelombang setinggi itu tidak ditemui di perairan
Indonesia. Yang ada 3 sampai 5 meter. Apakah konstruksi kapalnya juga harus
sama dengan kapal yang menahan gelombang 8-10 meter seperti diatur dalan
konvensi IMO?
“Kalau kita mengacu ke NCVS kan ada penurunan
biaya kapal. Misalnya saja dari ketebalan plat, untuk menghadapi ombak 8–10
meter, konstruksi kapal di buat sedemikian rupa sesuai ukuran dengan ketebalan
kapal misalnya minimum 12 mili meter. Tapi karena kapal hanya berlayar di
Indonesia, ketebalan plat kapal tidak harus 12 mili cukup 10 mili. Sudah ada
penurunan 2 mili, dan nilainya cukup besar karena ukurannya 2 mili x berat
jenis besi 7,85 x panjang x lebar, sudah
berapa ton penghematannya? Ini baru dari segi konsruksi. Dari segi operasional,
penghematannya muncul karena konstruksi dan ketebalan yang tidak setebal aturan
konvensi. Mau tidak mau kapal bisa memuat lebih banyak dan ongkos angkut
menjadi lebih murah,” tutur Otto. (*/Hp)