Ilustrasi |
Carmelita Hartoto, Ketua Umum Indonesian National
Shipowner’s Association (INSA) mengatakan pengenaan tarif yang dimaksud adalah
tarif jasa barang dan tarif progresif.
Tarif jasa barang merupakan tarif yang dikenakan operator
pelabuhan untuk consignee atau shipper. Namun pada praktek di lapangan,
operator pelabuhan mengenakaannya kepada pelayaran.
Alasannya, operator pelabuhan kerap memakan waktu yang
lama untuk menerima pembayaran tarif jasa barang dari consignee atau shipper.
Pelayaran harus menanggung lebih dulu beban biaya tarif jasa
barang, untuk selanjutnya pihak pelayaran yang menagih kepada consignee ataupun
shipper.
“Pelayaran harus menanggu lebih dulu tarif jasa barang di
pelabuhan, ini tentunya memberatkan pelayaran karena mengeluarkan cost lebih
besar di awal, padahal hal ini tidak lazim dalam praktek bisnis di dunia pelayaran
internasional,” katanya.
Pada tarif progresif yang juga memberatkan pelayaran
karena penerapannya tanpa berdasarkan service level agreement (SLA) atau
service level guarantee (SLG) antara pelayaran dan operator pelabuhan.
Kesepakatan SLA atau SLG dibuat dengan menimbang perfomance pelabuhan dan
pelayaran.
Jika lambatnya produksifitas pelabuhan disebabkan oleh
performance operator pelabuhan maka tarif progresif tidak bisa dibebankan
kepada pelayaran, namun jika keterlambatan disebabkan pihak pelayaran tentunya
tarif progresif menjadi beban pelayaran.
Untuk itu, penerapan tarif progresif di pelabuhan tanpa
adanya kesepakatan SLA atau SLG sulit diterapkan dan merugikan pelayaran.
“Kalau tidak ada SLA atau SLG, maka tarif tersebut sulit
diterapkan." tuturnya. (hp)