Potensi Penghematan APBN Sebesar 25 Triliun Yang Luput Dari Perhatian, Kapal Berbanding Truk ODOL. -->

Iklan Semua Halaman

Potensi Penghematan APBN Sebesar 25 Triliun Yang Luput Dari Perhatian, Kapal Berbanding Truk ODOL.

30 November 2018
eMaritim.com, 30 November 2018

Catatan Capt.Zaenal A Hasibuan

Di Pulau Jawa hampir 90 persen distribusi logistik dan jasa menggunakan akses infrastruktur darat. Dari jumlah itu, sekitar 85 persen menggunakan jalan nasional Pantura dan sisanya memakai jalur kereta api dan jalur laut.

Akibatnya, Pantura kelebihan beban dengan sangat eksesif. Idealnya Jalur Pantura dilewati 1.600 satuan mobil penumpang, namun faktanya kendaraan yang lewat 40 ribu sampai dengan 45 ribu kendaraan per hari. Dengan jumlah kendaraan 45 ribu per hari, tingkat kejenuhan mencapai 1,3. Padahal idealnya, kejunuhan jalan Pantura 0,4 sampai dengan 0,6. Inilah kenapa, begitu ada gangguan sedikit saja, jalur Pantura langsung macet total.

Yang lebih mengenaskan lagi, volume kendaraan yang melintas justru berupa kendaraan berat yang melebihi tonase alias truk ODOL (Over Dimension Over Load). Pantura yang asalnya tanah berawa-rawa didesain untuk dilalui kendaraan dengan muatan sumbu terberat (MST) sebesar 10 ton. Kenyataannya banyak kendaraan yang lewat membawa beban sampai 50 ton setiap harinya. Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Marga Kementerian PUPR Arie Setiadi Moerwanto pernah mengakui bahwa; "70% dari total 100% populasi truk berdasarkan data jembatan sebagai jembatan timbang yang lewat di Pantura Overload”. Tentunya kondisi ini memperpendek usia jalan Pantura. Untuk daya beban, truk yang lewat berdasarkan pemantauan Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian PU, dalam lima tahun terakhir ini yaitu 125 juta equivalen standar exeload.


Pembangunan Jalan Tol Cikampek - Surabaya yang belum selesai, juga belum terlihat membuahkan hasil yang signifikan, prediksi yang memperkirakan bahwa 60% truk akan beralih ke jalur Tol tidak menjadi kenyataan. Kenyataan bahwa truk tidak bisa memacu kecepatan lebih tinggi walaupun di jalan tol menjadi penyebab utama. Ditambah bahwa truk tidak bisa beristirahat lebih lama dari 2 jam di Rest Area jalan tol membuat pengemudi truk tetap menggunakan jalur Nasional Pantura. Truk tetap lebih memilih keluar di Cikampek atau masuk di Cikampek saat lewat di jalur utara. Hal yang menjadi pertimbangan lain adalah,  membayar tol lebih mahal ketimbang membayar denda di jembatan timbang membuat kehancuran jalan di Pulau Jawa menjadi agenda tahunan khususnya dimusim hujan.

Jalan Pantura yang ada saat ini sebenarnya adalah bekas jalan Anyer – Panarukan yang dibangun pada masa Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-36 yang memerintah antara tahun 1808–1811. Jalan yang kala itu lebih dikenal dengan nama Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) hanya dibangun selama setahun (1807-1808).

Akibat dari kejenuhan beban jalan di Pantura, maka yang terjadi antara lain;
- Kemacetan.
- Meningkatnya polusi udara.
- Biaya pemeliharaan dan perawatan jalan yang sangat besar setiap tahun.
- Meningkatnya subsidi BBM.
- Biaya kecelakaan.Truk dengan bobot besar membutuhkan waktu lama untuk evakuasi.
- Konsekuensi dari semua itu tentunya adalah biaya tinggi pada transportasi.

Indonesia memiliki Undang Undang nomor 22 Tentang lalu lintas dan angkutan jalan yang pada Bab.II Pasal 2 berbunyi ;
(2) Pengelompokan Jalan menurut kelas Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. jalan kelas I, yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 10 (sepuluh) ton.

Kenyataan bahwa truk seberat apapun selalu bisa melewati jembatan timbang tanpa harus menurunkan bebannya yang berlebih, menjadi laten buruk di dunia tranportasi Indonesia dan terlebih lagi adalah sebagai pelanggaran terang-terangan terhadap Undang Undang.

Data dari Aptrindo ada 12.000 truk yang bergerak dari Jakarta menuju Surabaya setiap harinya, sementara ada 1200 truk yang melintasi pulau Bali(http://www.tribunnews.com/regional/2014/09/12/truk-truk-gajah-pantura-kembali-lewat-selatan.).

Jika 70% dari 12.000 truk tersebut kelebihan bobot, maka sebuah langkah kongkrit dan sustain harus segera dilakukan. Tidak ada seorang ahli di Indonesia yang tidak setuju bahwa angkutan kapal dan kereta api seharusnya lebih murah dari moda transportasi jalan raya.


Mari kita bandingkan nilai ekonomis secara kacamata NEGARA dari angkutan menggunakan Truk berbanding sebuah kapal jenis RoRo yang diasumsikan mampu membawa sebanyak 250 truk setiap tripnya.

Jika jarak dari Jakarta ke Surabaya 750 km, sebuah truk dengan pemakaian BBM 1 liter per 2,5 km akan menghabiskan 300 liter per truknya.

Sebuah Kapal Roro yang mampu membawa 250 truk dengan mesin 6000-8000 HP akan dengan mudah menempuh jarak yang sama dalam 24 jam,  dengan pemakaian BBM perjam 700 liter, maka BBM yang dihabiskan adalah sebanyak 16.800 liter.

Kapal akan sangat efisien, karena jika 1 truk menggunakan BBM 325 lt, maka 250 truk  menggunakan BBM  sebanyak 75.000 liter. Ada perbedaan di banyak 58.200 liter yang bisa dihemat dengan menggunakan kapal. Itu baru hitungan per 250 truk, bagaimana kalau dilakukan perhitungan atas 12.000 truk,  pulang pergi dalam setahun ?  Dengan mudah akan didapatkan penghematan biaya untuk belanja negara atas BBM sebesar 25 sampai 30 triliun rupiah per tahunnya.

Penghematan akan lebih besar lagi jika biaya perawatan jalan bisa dikurangi secara signifikan, disamping bertambahnya kecepatan kendaraan yang melintas di jalur tersebut yang berimbas kepada semakin hemat bahan bakar serta waktu tempuh lebih singkat.

Lalu kenapa kapal masih dianggap lebih mahal dari angkutan truk ? Berikut adalah beberapa penyebab dari mahalnya biaya kapal jika dibanding moda transportasi truk ;
- Kapal menggunakan BBM non Subsisi seharga Rp.14.000/ liter sementara truk mengggunakan BBM subsidi seharga Rp. 5150/ liter.
- Kapal dibebankan biaya pelabuhan sekitar 30% dari total biaya yang diterima dari mengangkut truk, ironisnya Pelabuhan yang dimiliki oleh BUMN tidak membantu hal ini sebagai projek nasional. Sementara truk bebas masuk ke kota tujuan tanpa biaya terminal.
- Kapal tidak boleh membawa muatan melebihi kapasitas angkutnya, truk bebas memuat seberat yang mereka inginkan.
- Dan alasan alasan teknis lainnya.

Jadi sangat disayangkan apabila pemerintah tidak melihat hal ini sebagai peluang menghemat APBN, bukan sekedar persaingan bisnis antara kapal laut melawan angkutan darat. Apabila ditangani dengan benar, maka seharusnya pemerintahlah yang akan mendapatkan keuntungan terbesar dengan dipindahkannya beban jalan Pantura ke Laut Jawa.(jan)