Jakarta, eMaritim.com – Tiga negara antara Indonesia, Malaysia, dan Singapura akan melakukan uji air laut (test water). Ini pertama kalinya negara asia tenggara yang melakukan kerjasama untuk melihat adanya pengaruh spesies baru terhadap biota laut yang terkandung dalam air.
Test water ini dilakukan karena kapal-kapal dari tiga negara
ini yang rutin melakukan pelayaran. Fokusnya adalah, jangan sampai ada spesies
jahat yang terbawa dari satu negara melalui kapal dan dibuang di negara tujuan.
Test water ini diperlukan untuk melihat lebih jauh, apakah
ada perbedaan biota laut antara Indonesia dengan negara-negara Asia Tenggara. Karena ini adalah bagian
penting yang harus dilakukan sejak dilakukan ratifikasi
Tes Water ini adalah bagian penting terkait rencana
penerapan Ballast Water di
Indonesia dimana Indonesia telah melakukan ratifikasi Convention of Ballast Water Management melalui Peraturan
Presiden Nomor 132 Tahun 2015 tentang Pengesahan The International Convention
For The Control And Management Of Ships Ballast Water And Sediments, 2004 (Marpol
Annex 4).
Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Indonesia National
Shipowner's Association (INSA) Budi Halim menegaskan, kewajiban seluruh kapal
merah putih untuk menerapkan Ballast
Water di setiap kapal.
"Indonesia - Malaysia - Singapura, tiga negara yang
akan merealisasikannya dengan melakukan uji perairan laut atau test
water," tutur Budi Halim, di tengah-tengah acara Workshop
Ballast Water Management yang digelar
Ditkapel Kemenhub dan DPP
INSA, Jumat (7/12/2018) di Hotel Santika
Hayam Wuruk Jakarta Pusat.
Hasil uji air laut itu nantinya akan disampaikan kepada
International Maritime Organization (IMO). Harapannya adalah, tidak ada biota
atau spesies lain yang membahayakan dari
perairan di tiga negara.
"Kita kan mau melihat apakah biota pada perairan di tiga negara ini ada
kesamaan atau tidak," tuturnya.
Test water ini, telah dilakukan Singapura dan Malaysia.
Indonesia akan mengikutinya dengan biaya yang ditanggung secara bersama-sama
dari tiga negara. Kebutuhan biaya test water, ungkap Budi Halim sekitar Rp 4
miliar.
Untuk sementara ini diberlakukan pada tiga negara, selanjutnya akan dimekarkan pada seluruh
negara di Asia Tenggara. "Sementara ini hanya tiga negara, karena melihat
kapal-kapal kita," tuturnya.
Kendala Biaya
Kendala utama diterapkannya
ballast water di Indonesia ialah,
faktor biaya. Harga mesin penyaring atau ballast water cukup tinggi. Kalau diterapkan pada seluruh
kapal di Indonesia, maka investasinya nyaris sama dengan harga kapalnya, karena
kapal di Indonesia rata-rata berusia diatas 15 tahun.
Senior Manager
Convention Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) Aditya Trisandhya Pramana yang
hadir sebagai narasumber dalam
Workshop itu mengakui, mahalnya
perangkat yang harus disiapkan pemilik kapal.
Namun ada solusi yang
dapat dilakukan para pemilik kapal di Indonesia. Air dari kapal di transfer ke
kapal yang telah memiliki perangkat ballast water, dan diolah selanjutya dibuang.
"Cara ini,
biayanya jauh lebih ringan ketimbang menyediakan sendiri perangkat. Cara
lainnya ialah, untuk kapal-kapal domestik
yang berlayar pada perairan yang sama, limbahnya air limbah kapal dibuang di laut lepas pada
kedalaman, minimal 100 meter.
Negara maju yang sudah menerapkan sistem ini ialah Amerika
Serikat (AS). Negara itu mulai memberlakukan peraturan air ballast melalui US
Coastguard (USCG) pada Juni 2012.
Konvensi Manajemen Balast Air IMO akan berlaku penuh pada 8
September 2017. Selain itu, beberapa badan nasional lainnya memperkenalkan
peraturan khusus sebagai tanggapan untuk masalah unik di perairannya
masing-masing.
Berdasarkan peraturan IMO, sekitar 60 ribu kapal membutuhkan
solusi pengolahan air balas dalam jangka pendek. Sebagian besar dari
kapal-kapal ini diharapkan mematuhi dengan memasang sistem perawatan air
ballast tetap di kapal.
Ketika Konvensi IMO mulai berlaku pada 8 September 2017,
semua kapal yang berdagang di perairan internasional akan diminta mengelola air
pemberat di setiap pelayaran dengan
menukarkannya sesuai dengan apa yang disebut standar D-1 yang ditetapkan dalam
konvensi IMO.
Setelah pembaharuan sertifikat IOPP pertama kapal setelah 8
September 2017, perawatan (bukan pertukaran) adalah wajib. Perawatan ditentukan
dalam standar D-2 Konvensi Pengelolaan Balast Air IMO dan harus dilakukan
dengan peralatan bersertifikasi. (*/hp)