Ilustrasi : eMaritim.com |
Sudah memasuki akhir di bulan Januari 2019 keluarga
korban masih pesimistis peristiwa sedih itu dapat terselesaikan, sebab indisen
tersebut dianggap 'kalah kelas' dibanding kecelakaan yang lebih mencuri
perhatian publik, misalnya kejadian Lion Air beberapa bulan lalu.
Jumat, 26 Oktober 2018, telepon genggam Ummi Hadyah Saleh
putri dari korban KM Multi Prima I Mahmud Dullah Pande Saleh. Ummi terkejut
karena mendapat pesan singkat dari sang ayah memutuskan kembali berlayar
setelah dua tahun silam pensiun.
Keputusan Pande untuk kembali ke laut kali ini ternyata
benar-benar menjadi yang terakhir untuknya. Laut tak lagi mau melepasnya ke
daratan.
Tiga pekan kemudian, Kamis 22 November 2018, kapal kargo
Multi Prima I rute Surabaya menuju Waingapu, dikabarkan tenggelam di sekitar
Selat Alas Sumbawa, Nusa Tenggara Timur .
Karamnya kapal tersebut menyisakan kisah pilu. Enam ABK
hingga kekinian belum ditemukan.
Salah satu ABK yang belum ditemukan itu adalah Pande
Saleh. Lelaki berusia 67 tahun itu adalah satu dari 6 ABK Multi Prima I yang
belum ditemukan.
Ummi Hadyah Saleh , putrinya, menuturkan keluarga
sebenarnya tidak mengizinkan sang ayah untuk kembali berlayar. Sebab, Pande
sudah menyatakan pensiun sejak dua tahun silam.
Namun, keputusan Pande berubah pada tanggal 26 Oktober
2018. Ummi kala itu mendapat pesan singkat dari ibu yang menyampaikan kabar
sang ayah ingin kembali berlayar.
"Aku dan ibuku sudah mohon-mohon sampai
menangis-nangis agar bapak tidak usah lagi berlayar. Ini kali pertama bapak
pergi berlayar setelah beliau sekitar dua tahun lalu berhenti berlayar,
pensiun," tutur Ummi, Senin (14/1/2019).
Ternyata, tekad Pande untuk kembali merasakan embusan
angin laut khas para pelaut tak lagi tertahan.
Selang sehari setelah meminta izin keluarga, persisnya
Sabtu 27 Oktober 2018, Pande secara khusus memanggil Ummi, putri kesayangannya
dan sang istri.
”Kami kira, bapak memutuskan untuk tak berlayar. Ternyata
kami salah. Bapak bilang tiket sudah dibeli oleh pemilik kapal. Aku sudah
bilang, uangnya akan kukembalikan. Tapi bapak tetap mau berangkat, ya Allah,”
tuturnya.
Tangis Ummi dan sang ibu kembali pecah di hadapan Pande.
Berkali-kali mereka meminta Pande tak berlayar. Tapi, panggilan samudera kepada
sang pelaut tua sungguh menggoda.
”Dia bilang, panggilan untuk kembali berlayar itu adalah
hadiah, rezeki dari yang maha kuasa. Tidak boleh ditolak,” kata Ummi yang juga
jurnalis Suara.com ini.
Ummi menangis sejadi-jadinya mendengar ketetapan hati
sang ayah. Upaya untuk memperingati Pande bahwa musim penghujan di penghujung
tahun sudah tiba sehingga laut tengah ganas-ganasnya pun ditepis.
Kepada Ummi, Pande hanya berpesan: ”ikhlaskan kepergian
bapak untuk berlayar, semoga diberi kelancaran. Tak akan lama, hanya dua atau
tiga bulan.”
”Kepadaku, bapak hanya berpesan jangan lupa salat. Pesan
itu yang selalu kuingat,” tutur Ummi.
Ummi mengakui, seumur hidup tak bakal melupakan hari
Minggu, 28 Oktober itu. Ia sempat mengantarkan sang ayah ke Stasiun Senen,
jakarta Pusat.
Kala itu, Ummi juga membawakan jaket dari indekosnya di
bilangan Tebet, Jakarta Selatan, yang dimintakan Pande.
Pande ingin, jaket pemberian Ummi itu lekat pada badannya
saat melaut, untuk menahan hawa dingin dan pula hawa rindu keluarga.
"Bapak senang banget waktu itu. Dia bilang jaketnya
pas di badan. Sebelum naik kereta, seperti biasa, aku menjabat tangan dan
mencium bapak. Itulah di mana aku terakhir ketemu bapak.”
Kini, sudah lebih dua bulan Pande tak pulang. Kapalnya
tak sempat menanam jangkar.
Laut menyimpan Pande, sementara Ummi menginginkan sang
ayah kembali.
”Aku hanya ingin melihat bapak lagi.”
Calon Wakil Presiden Maruf Amin mendoakan agar Pande Saleh, salah satu korban tenggelamnya KM Multi Prima I cepat ditemukan. (Dok Tim Jokowi - Maruf Amin) |
Paras Taher Saleh menunjukkan kesedihan pada Sabtu sore,
24 November 2018, saat baru saja menerima kabar pasti bahwa kapal tempat
ayahnya berada, tenggelam dua hari sebelumnya.
Delapan anak buah kapal itu selamat. Tapi Pande Saleh
(67), ayah Taher, yang merupakan Kepala Kamar Mesin Kapal Multi Prima I, masih
belum ditemukan.
Hingga kekinian, Pande Saleh dan lima kru kapal yakni
Tarsisius D Atulolong (Nakhoda), Philipus Kopong, Sony Kansil, Sutrisno, dan
Syamsul Syahdan masih dinyatakan hilang.
Tim SAR Mataram sempat melancarkan operasi pencarian di
wilayah Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.
Taher, sehari setelah menerima informasi itu, juga
bertolak ke Mataram untuk mencari tahu perkembangan pencarian ayahnya.
"Saya berniat memantau langsung pencarian yang
dilakukan SAR Mataram,” ujar Taher—kakak Ummi Hadyah Saleh itu, pekan lalu.
Saat berada di Mataram, lelaki kelahiran Flores Timur 35
tahun silam itu bertemu dengan Kepala Kantor SAR Mataram I Nyoman Sidakarya.
Menurutnya, Nyoman memberikan respons terbilang baik dan informatif, namun
kurang proaktif.
"Selama delapan hari saya di Mataram, hampir selalu
saya yang lebih dulu WhatsApp atau menelepon Pak Nyoman untuk bertanya
informasi terbaru soal pencarian ABK hilang.”
Pada hari ketujuh atau hari terakhir pencarian sesuai SOP
Basarnas, Taher kembali mengunjungi Kantor SAR Mataram.
Ketika itu dirinya juga bertemu nakhoda kapal RIB 212
yang melakukan pencarian, Kapten Nurdin. Sang kapten menjelaskan detail proses
pencarian yang dilakukan Basarnas.
“Medannya cukup sulit karena cuaca sangat ekstrem. Kami
menyisir hampir ke semua wilayah sekitar tenggelamnya kapal, termasuk
pulau-pulau kecil di sana. Hasilnya tetap tidak ketemu juga (para
korban)," kata Kapten Nurdin kepada Taher.
Sementara Kepala Kantor SAR Mataram I Nyoman Sidakarya
mengakui, telah berupaya maksimal mencari dan menemukan para korban yang masih
hilang.
Atas permintaan keluarga, akhirnya masa pencarian sempat
diperpanjang tiga hari. Namun, kenyataanya, enam kru kapal KM Multi Prima I tak
kunjung ditemukan.
"Usaha yang kami lakukan ini sudah sangat maksimal.
Bahkan, kapal kami sempat bocor diterjang ombak," ucap Nyoman.
Nyoman juga menuturkan pencarian melibatkan kantor SAR
Makassar, Sulawesi Selatan, dan nelayan di sekitar perairan itu.
Sebab, perairan Makassar adalah tempat ditemukannya satu
ABK Kapal Multi Prima I Nahum Naibahas alias Riski. ABK itu ditemukan selamat.
Riski terbawa arus jauh dari lokasi tenggelamnya kapal.
Ia ditemukan kapal asing MV Virgo, setelah terombang-ambing di laut selama
tujuh hari.
Kepala Kantor SAR Makassar Mustari MM sempat dihubungi
pihak keluarga korban melalui telepon, “Tapi tak pernah direspons,” tukas
Taher.
Ia juga mengungkapkan, sikap yang sama ditunjukkan Kepala
Basarnas M Syaugi—kini sudah diganti—karena tak pernah membalas pesan singkat
atau menjawab telepon dari keluarga korban.
Karena tak mendapat respons dari para petinggi tersebut,
Taher mengakui muncul penilaian keluarga korban bahwa tenggelamnya kapal Multi
Prima I seperti dianak-tirikan pemerintah.
Mereka mengklaim, perhatian para petinggi Basarnas
cenderung intensif saat pesawat Lion Air JT 610 terjatuh ke perairan Tanjung
Karawang, Jawa Barat.
Namun, perhatian seperti itu tak tampak dalam kecelakaan
Kapal Multi Prima I. “Bahkan sekadar ungkapan simpati pun sama sekali tak ada,”
tukas Taher.
Direktur National Maritime Institute Siswanto Rusdi
memunyai penilaian yang sama. Ia mengatakan, perhatian pemerintah cenderung
rendah terhadap kasus kecelakaan transporasi yang jumlah korbannya sedikit dan
tak mendapat perhatian media massa.
Perlakuan tersebut, jauh berbeda dengan penanganan
kecelakaan pesawat yang menyedot perhatian banyak pihak, baik dalam maupun luar
negeri.
"Ini bukti nyata begitu tidak perhatiannya pada
orang-orang miskin, pada orang-orang kecil," kata Siswanto.
Ia mencontohkan kapal nelayan yang hilang di Pantura dua
tahun silam, yang hingga kekinian belum ditemukan. Tidak ada upaya pemerintah
yang signifikan untuk mengawal kasus tersebut.
"Di Pantura, rakyat kecil, rakyat miskin, ke mana
mau cari keadilan? Ibu Susi Pudjiastuti (Menteri Kelautan dan Perikanan) sudah
dimention-mention enggak ada perhatian. Coba kereta, pesawat (diperhatikan).
Begitu (kecelakaan) di laut diam," tudingnya.
Tapi, Direktur Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP)
Kementerian Perhubungan Juniaidi, membantah pemerintah meremehkan kecelakaan KM
Multi Prima I yang korbannya tidak sebanyak kecelakaan pesawat.
"Enggak (meremehkan). Itu sudah dilakukan penyisiran
setiap hari. Setiap hari selama dua minggu. Satu minggu belum diketemukan,
diperpanjang lagi. Ditambah lagi tiga
hari. Kan enggak bisa juga setiap hari," katanya.
Kalimat
yang Hilang Setelah Selamat
Tenggelamnya KM Multi Prima I benar-benar menyisakan
sejumlah tanya. Satu pertanyaan yang muncul di kalangan keluarga korban adalah,
dugaan kebocoran pada kapal sebelum berangkat dari Surabaya menuju Waingapu,
NTT.
Dugaan ini merebak setelah terdapat cerita dari seorang
anak buah kapal (ABK) yang kali pertama ikut menyelamatkan ABK korban selamat
KM Multi Prima I.
Jurnalis Suara.com menemui ABK kapal yang ikut membantu
evakuasi korban selamat KM Multi Prima I tersebut. Ia bersedia berbagi cerita
dengan syarat seluruh identitasnya tak dimunculkan.
"Saya ikut mengevakuasi ABK KM Multi Prima yang
selamat. Kata mereka, ada kebocoran di lambung kapal dan kelebihan muatan,
sempat ditambal soda api. Cuma juga kurang bagus, jadi nahas-lah,"
ujarnya.
Namun, ia mengakui, keterangan tersebut berubah ketika 7
ABK Multi Prima yang selamat telah
dievakuasi ke Probolinggo, Jawa Timur.
Ia menduga, ketujuh ABK itu mendapat tekanan psikologis
dari banyak pihak. Karenanya, para ABK selamat kompak menjawab satu kalimat
saja saat ditanya media massa mengenai penyebab karamnya KM Multi Prima I:
"Kapal dihantam ombak setinggi dua hingga tiga meter”.
"Menurut saya, kalau mereka memberitahukan cerita
yang sebenarnya soal kecelakaan itu, kan bisa juga mereka terjerat," duga
ABK penyelamat.
Selain dugaan kebocoran kapal, kelaikan KM Multi Prima I
untuk berlayar juga menjadi sorotan. Misalnya, Tim SAR Mataram baru mendapatkan
informasi kecelakaan kapal pada Sabtu 24 November 2018—dua hari setelah kapal
tenggelam.
Dengan demikian, sinyal darurat dari KM Multi Prima I
saat kejadian, tidak bisa diterima oleh SAR Mataram.
Salah satu ABK KM Multi Prima yang selamat, ahum Naibahas
alias Riski, mengungkapkan sebelum kapal
tenggelam, nakhoda Tarsisius D Atulolong sudah memberi isyarat tanda bahaya
melalui telepon radio.
Saat itu, hanya KM Cahaya Abadi yang menerima sinyal
tersebut, karena jaraknya tidak jauh dari lokasi tenggelamnya kapal.
Untuk diketahui, ABK KM Cahaya Abadi yang berhasil
menyelamatkan tujuh dari 14 ABK KM Multi Prima 1.
Selain sinyal darurat yang tak menjangkau pangkalan Tim
Sar Mataram, Riski menjelaskan peralatan life craft di KM Multi Prima I juga
tak mengembang saat dilempar ke laut.
Sementara sekoci atau perahu penyelamat tidak digunakan karena semua
orang saat itu panik.
"Akhirnya kami naik kasur busa yang muat lima orang
di laut," ucap Riski.
Berbeda dengan Riski, ABK selamat lainnya yakni Zainal
Arifin menduga sekoci tidak diturunkan bukan lantaran kondisi panik, namun
rusak.
"Sekoci kayaknya rusak," kata Zainal.
Namun, Kesyahbandaran Utama—dulu Kantor Syahbandar dan
Otoritas Pelabuhan (KSOP)—Tanjung Perak Surabaya menepis semua dugaan tersebut.
Penyidik PNS Kesyahbandaran Utama Tanjung Perak Syaiful
mengklai, KM Multi Prima 1 laik berlayar. Buktinya, kapal itu mendapat surat
perintah berlayar,
“Kami enggak mungkin memberangkatkan kapal kalau
kondisinya konyol," kata Syaiful.
Syaiful juga menegaskan,
alat keselamatan dan pengirim sinyal darurat yang ada di KM Multi Prima
1 berfungsi baik.
"Bukan rusak, masih laik. Kondisi laik sesuai
sertifikat," tutur dia. Kapal itu juga tercatat mengikuti pemeriksaan
berkala sebelum berangkat.
"Kalau musibah, namanya panik. Kalau kita kan enggak
mengalami waktu panik. Kalau di atas kapal mungkin panik, sehingga lupa
memberikan seperti itu (alat pemancar darurat)," kata Syaiful.
Sementara Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT)
tengah melakukan investigasi kecelakaan KM Multi Prima 1.
Prosesnya memakan waktu hingga enam bulan. Karena itu,
mereka belum bisa memastikan penyebab utama tenggelamnya kapal KM Multi Prima 1
yang mengangkut 14 ABK.
"Kami mendapatkan beberapa data, kami pastikan
termasuk dari perawatan kapal sebelumnya seperti apa," kata Investigator
KNKT Bambang Irawan di kantornya. (*)
*Berita
ini telah dimuat di portal online suara.com dengan
kanal Liputan Khusus*