Karamnya KM Multi Prima I, Contoh Kecelakaan Laut yang Kalah Kelas -->

Iklan Semua Halaman

Karamnya KM Multi Prima I, Contoh Kecelakaan Laut yang Kalah Kelas

21 Januari 2019
Ilustrasi : eMaritim.com
Jakarta, eMaritim.com – Dua bulan lalu menjadi kabar buruk bagi keluarga korban karamnya kapal Multi Prima I di perairan Selat Alas Sumbawa NTT, hingga pergantian tahun belum menemukan titik terang dari para korban yang hilang di tengah laut.

Sudah memasuki akhir di bulan Januari 2019 keluarga korban masih pesimistis peristiwa sedih itu dapat terselesaikan, sebab indisen tersebut dianggap 'kalah kelas' dibanding kecelakaan yang lebih mencuri perhatian publik, misalnya kejadian Lion Air beberapa bulan lalu.

Jumat, 26 Oktober 2018, telepon genggam Ummi Hadyah Saleh putri dari korban KM Multi Prima I Mahmud Dullah Pande Saleh. Ummi terkejut karena mendapat pesan singkat dari sang ayah memutuskan kembali berlayar setelah dua tahun silam pensiun.

Keputusan Pande untuk kembali ke laut kali ini ternyata benar-benar menjadi yang terakhir untuknya. Laut tak lagi mau melepasnya ke daratan.

Tiga pekan kemudian, Kamis 22 November 2018, kapal kargo Multi Prima I rute Surabaya menuju Waingapu, dikabarkan tenggelam di sekitar Selat Alas Sumbawa, Nusa Tenggara Timur .

Karamnya kapal tersebut menyisakan kisah pilu. Enam ABK hingga kekinian belum ditemukan.

Salah satu ABK yang belum ditemukan itu adalah Pande Saleh. Lelaki berusia 67 tahun itu adalah satu dari 6 ABK Multi Prima I yang belum ditemukan.

Ummi Hadyah Saleh , putrinya, menuturkan keluarga sebenarnya tidak mengizinkan sang ayah untuk kembali berlayar. Sebab, Pande sudah menyatakan pensiun sejak dua tahun silam.

Namun, keputusan Pande berubah pada tanggal 26 Oktober 2018. Ummi kala itu mendapat pesan singkat dari ibu yang menyampaikan kabar sang ayah ingin kembali berlayar.

"Aku dan ibuku sudah mohon-mohon sampai menangis-nangis agar bapak tidak usah lagi berlayar. Ini kali pertama bapak pergi berlayar setelah beliau sekitar dua tahun lalu berhenti berlayar, pensiun," tutur Ummi, Senin (14/1/2019).

Ternyata, tekad Pande untuk kembali merasakan embusan angin laut khas para pelaut tak lagi tertahan.

Selang sehari setelah meminta izin keluarga, persisnya Sabtu 27 Oktober 2018, Pande secara khusus memanggil Ummi, putri kesayangannya dan sang istri.

”Kami kira, bapak memutuskan untuk tak berlayar. Ternyata kami salah. Bapak bilang tiket sudah dibeli oleh pemilik kapal. Aku sudah bilang, uangnya akan kukembalikan. Tapi bapak tetap mau berangkat, ya Allah,” tuturnya.

Tangis Ummi dan sang ibu kembali pecah di hadapan Pande. Berkali-kali mereka meminta Pande tak berlayar. Tapi, panggilan samudera kepada sang pelaut tua sungguh menggoda.

”Dia bilang, panggilan untuk kembali berlayar itu adalah hadiah, rezeki dari yang maha kuasa. Tidak boleh ditolak,” kata Ummi yang juga jurnalis Suara.com ini.

Ummi menangis sejadi-jadinya mendengar ketetapan hati sang ayah. Upaya untuk memperingati Pande bahwa musim penghujan di penghujung tahun sudah tiba sehingga laut tengah ganas-ganasnya pun ditepis.

Kepada Ummi, Pande hanya berpesan: ”ikhlaskan kepergian bapak untuk berlayar, semoga diberi kelancaran. Tak akan lama, hanya dua atau tiga bulan.”

”Kepadaku, bapak hanya berpesan jangan lupa salat. Pesan itu yang selalu kuingat,” tutur Ummi.

Ummi mengakui, seumur hidup tak bakal melupakan hari Minggu, 28 Oktober itu. Ia sempat mengantarkan sang ayah ke Stasiun Senen, jakarta Pusat.

Kala itu, Ummi juga membawakan jaket dari indekosnya di bilangan Tebet, Jakarta Selatan, yang dimintakan Pande.

Pande ingin, jaket pemberian Ummi itu lekat pada badannya saat melaut, untuk menahan hawa dingin dan pula hawa rindu keluarga.

"Bapak senang banget waktu itu. Dia bilang jaketnya pas di badan. Sebelum naik kereta, seperti biasa, aku menjabat tangan dan mencium bapak. Itulah di mana aku terakhir ketemu bapak.”

Kini, sudah lebih dua bulan Pande tak pulang. Kapalnya tak sempat menanam jangkar.

Laut menyimpan Pande, sementara Ummi menginginkan sang ayah kembali.

”Aku hanya ingin melihat bapak lagi.”
Calon Wakil Presiden Maruf Amin mendoakan agar Pande Saleh, salah satu korban tenggelamnya KM Multi Prima I cepat ditemukan. (Dok Tim Jokowi - Maruf Amin)
Paras Taher Saleh menunjukkan kesedihan pada Sabtu sore, 24 November 2018, saat baru saja menerima kabar pasti bahwa kapal tempat ayahnya berada, tenggelam dua hari sebelumnya.

Delapan anak buah kapal itu selamat. Tapi Pande Saleh (67), ayah Taher, yang merupakan Kepala Kamar Mesin Kapal Multi Prima I, masih belum ditemukan.

Hingga kekinian, Pande Saleh dan lima kru kapal yakni Tarsisius D Atulolong (Nakhoda), Philipus Kopong, Sony Kansil, Sutrisno, dan Syamsul Syahdan masih dinyatakan hilang.

Tim SAR Mataram sempat melancarkan operasi pencarian di wilayah Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.

Taher, sehari setelah menerima informasi itu, juga bertolak ke Mataram untuk mencari tahu perkembangan pencarian ayahnya.

"Saya berniat memantau langsung pencarian yang dilakukan SAR Mataram,” ujar Taher—kakak Ummi Hadyah Saleh itu, pekan lalu.

Saat berada di Mataram, lelaki kelahiran Flores Timur 35 tahun silam itu bertemu dengan Kepala Kantor SAR Mataram I Nyoman Sidakarya. Menurutnya, Nyoman memberikan respons terbilang baik dan informatif, namun kurang proaktif.

"Selama delapan hari saya di Mataram, hampir selalu saya yang lebih dulu WhatsApp atau menelepon Pak Nyoman untuk bertanya informasi terbaru soal pencarian ABK hilang.”

Pada hari ketujuh atau hari terakhir pencarian sesuai SOP Basarnas, Taher kembali mengunjungi Kantor SAR Mataram.

Ketika itu dirinya juga bertemu nakhoda kapal RIB 212 yang melakukan pencarian, Kapten Nurdin. Sang kapten menjelaskan detail proses pencarian yang dilakukan Basarnas.

“Medannya cukup sulit karena cuaca sangat ekstrem. Kami menyisir hampir ke semua wilayah sekitar tenggelamnya kapal, termasuk pulau-pulau kecil di sana. Hasilnya tetap tidak ketemu juga (para korban)," kata Kapten Nurdin kepada Taher.

Sementara Kepala Kantor SAR Mataram I Nyoman Sidakarya mengakui, telah berupaya maksimal mencari dan menemukan para korban yang masih hilang.

Atas permintaan keluarga, akhirnya masa pencarian sempat diperpanjang tiga hari. Namun, kenyataanya, enam kru kapal KM Multi Prima I tak kunjung ditemukan.

"Usaha yang kami lakukan ini sudah sangat maksimal. Bahkan, kapal kami sempat bocor diterjang ombak," ucap Nyoman.

Nyoman juga menuturkan pencarian melibatkan kantor SAR Makassar, Sulawesi Selatan, dan nelayan di sekitar perairan itu.

Sebab, perairan Makassar adalah tempat ditemukannya satu ABK Kapal Multi Prima I Nahum Naibahas alias Riski. ABK itu ditemukan selamat.

Riski terbawa arus jauh dari lokasi tenggelamnya kapal. Ia ditemukan kapal asing MV Virgo, setelah terombang-ambing di laut selama tujuh hari.

Kepala Kantor SAR Makassar Mustari MM sempat dihubungi pihak keluarga korban melalui telepon, “Tapi tak pernah direspons,” tukas Taher.

Ia juga mengungkapkan, sikap yang sama ditunjukkan Kepala Basarnas M Syaugi—kini sudah diganti—karena tak pernah membalas pesan singkat atau menjawab telepon dari keluarga korban.

Karena tak mendapat respons dari para petinggi tersebut, Taher mengakui muncul penilaian keluarga korban bahwa tenggelamnya kapal Multi Prima I seperti dianak-tirikan pemerintah.

Mereka mengklaim, perhatian para petinggi Basarnas cenderung intensif saat pesawat Lion Air JT 610 terjatuh ke perairan Tanjung Karawang, Jawa Barat.

Namun, perhatian seperti itu tak tampak dalam kecelakaan Kapal Multi Prima I. “Bahkan sekadar ungkapan simpati pun sama sekali tak ada,” tukas Taher.

Direktur National Maritime Institute Siswanto Rusdi memunyai penilaian yang sama. Ia mengatakan, perhatian pemerintah cenderung rendah terhadap kasus kecelakaan transporasi yang jumlah korbannya sedikit dan tak mendapat perhatian media massa.

Perlakuan tersebut, jauh berbeda dengan penanganan kecelakaan pesawat yang menyedot perhatian banyak pihak, baik dalam maupun luar negeri.

"Ini bukti nyata begitu tidak perhatiannya pada orang-orang miskin, pada orang-orang kecil," kata Siswanto.

Ia mencontohkan kapal nelayan yang hilang di Pantura dua tahun silam, yang hingga kekinian belum ditemukan. Tidak ada upaya pemerintah yang signifikan untuk mengawal kasus tersebut.

"Di Pantura, rakyat kecil, rakyat miskin, ke mana mau cari keadilan? Ibu Susi Pudjiastuti (Menteri Kelautan dan Perikanan) sudah dimention-mention enggak ada perhatian. Coba kereta, pesawat (diperhatikan). Begitu (kecelakaan) di laut diam," tudingnya.

Tapi, Direktur Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) Kementerian Perhubungan Juniaidi, membantah pemerintah meremehkan kecelakaan KM Multi Prima I yang korbannya tidak sebanyak kecelakaan pesawat.

"Enggak (meremehkan). Itu sudah dilakukan penyisiran setiap hari. Setiap hari selama dua minggu. Satu minggu belum diketemukan, diperpanjang lagi. Ditambah lagi  tiga hari. Kan enggak bisa juga setiap hari," katanya.

Kalimat yang Hilang Setelah Selamat

Tenggelamnya KM Multi Prima I benar-benar menyisakan sejumlah tanya. Satu pertanyaan yang muncul di kalangan keluarga korban adalah, dugaan kebocoran pada kapal sebelum berangkat dari Surabaya menuju Waingapu, NTT.

Dugaan ini merebak setelah terdapat cerita dari seorang anak buah kapal (ABK) yang kali pertama ikut menyelamatkan ABK korban selamat KM Multi Prima I.

Jurnalis Suara.com menemui ABK kapal yang ikut membantu evakuasi korban selamat KM Multi Prima I tersebut. Ia bersedia berbagi cerita dengan syarat seluruh identitasnya tak dimunculkan.

"Saya ikut mengevakuasi ABK KM Multi Prima yang selamat. Kata mereka, ada kebocoran di lambung kapal dan kelebihan muatan, sempat ditambal soda api. Cuma juga kurang bagus, jadi nahas-lah," ujarnya.

Namun, ia mengakui, keterangan tersebut berubah ketika 7 ABK Multi Prima yang  selamat telah dievakuasi ke Probolinggo, Jawa Timur.

Ia menduga, ketujuh ABK itu mendapat tekanan psikologis dari banyak pihak. Karenanya, para ABK selamat kompak menjawab satu kalimat saja saat ditanya media massa mengenai penyebab karamnya KM Multi Prima I: "Kapal dihantam ombak setinggi dua hingga tiga meter”.

"Menurut saya, kalau mereka memberitahukan cerita yang sebenarnya soal kecelakaan itu, kan bisa juga mereka terjerat," duga ABK penyelamat.

Selain dugaan kebocoran kapal, kelaikan KM Multi Prima I untuk berlayar juga menjadi sorotan. Misalnya, Tim SAR Mataram baru mendapatkan informasi kecelakaan kapal pada Sabtu 24 November 2018—dua hari setelah kapal tenggelam.

Dengan demikian, sinyal darurat dari KM Multi Prima I saat kejadian, tidak bisa diterima oleh SAR Mataram.

Salah satu ABK KM Multi Prima yang selamat, ahum Naibahas alias Riski,  mengungkapkan sebelum kapal tenggelam, nakhoda Tarsisius D Atulolong sudah memberi isyarat tanda bahaya melalui telepon radio.

Saat itu, hanya KM Cahaya Abadi yang menerima sinyal tersebut, karena jaraknya tidak jauh dari lokasi tenggelamnya kapal.

Untuk diketahui, ABK KM Cahaya Abadi yang berhasil menyelamatkan tujuh dari 14 ABK KM Multi Prima 1.

Selain sinyal darurat yang tak menjangkau pangkalan Tim Sar Mataram, Riski menjelaskan peralatan life craft di KM Multi Prima I juga tak mengembang saat dilempar ke laut.  Sementara sekoci atau perahu penyelamat tidak digunakan karena semua orang saat itu panik.

"Akhirnya kami naik kasur busa yang muat lima orang di laut," ucap Riski.

Berbeda dengan Riski, ABK selamat lainnya yakni Zainal Arifin menduga sekoci tidak diturunkan bukan lantaran kondisi panik, namun rusak.

"Sekoci kayaknya rusak," kata Zainal.

Namun, Kesyahbandaran Utama—dulu Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan (KSOP)—Tanjung Perak Surabaya menepis semua dugaan tersebut.

Penyidik PNS Kesyahbandaran Utama Tanjung Perak Syaiful mengklai, KM Multi Prima 1 laik berlayar. Buktinya, kapal itu mendapat surat perintah berlayar,

“Kami enggak mungkin memberangkatkan kapal kalau kondisinya konyol," kata Syaiful.

Syaiful juga menegaskan,  alat keselamatan dan pengirim sinyal darurat yang ada di KM Multi Prima 1 berfungsi baik.

"Bukan rusak, masih laik. Kondisi laik sesuai sertifikat," tutur dia. Kapal itu juga tercatat mengikuti pemeriksaan berkala sebelum berangkat.

"Kalau musibah, namanya panik. Kalau kita kan enggak mengalami waktu panik. Kalau di atas kapal mungkin panik, sehingga lupa memberikan seperti itu (alat pemancar darurat)," kata Syaiful.

Sementara Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) tengah melakukan investigasi kecelakaan KM Multi Prima 1.

Prosesnya memakan waktu hingga enam bulan. Karena itu, mereka belum bisa memastikan penyebab utama tenggelamnya kapal KM Multi Prima 1 yang mengangkut 14 ABK.

"Kami mendapatkan beberapa data, kami pastikan termasuk dari perawatan kapal sebelumnya seperti apa," kata Investigator KNKT Bambang Irawan di kantornya. (*)

*Berita ini telah dimuat di portal online suara.com dengan kanal Liputan Khusus*