Pelayaran Resah Atas Munculnya Banyak Biaya di Banjarmasin -->

Iklan Semua Halaman

Pelayaran Resah Atas Munculnya Banyak Biaya di Banjarmasin

24 Januari 2019
eMaritim.com, 24 Januari 2019


Penekanan beban logistik nasional yang dicanangkan pemerintah, seperti masih jauh panggang dari api. Alih-alih ingin menjadi poros maritim dunia, kehidupan dunia pelayaran malah semakin memburuk dengan makin banyaknya kebijakan yang justru memberatkan dunia pelayaran, perkapalan dan galangan kapal.

Komponen biaya logistik nasional tidak hanya dari jasa pelayaran, tetapi unsur lain seperti biaya pelabuhan, perizinan, angkutan darat, dan biaya tidak resmi lainnya masih menjadi kontributor utama atas mahalnya biaya logistik di Indonesia.

Amanah Undang Undang nomor 17 tahun 2008 Tentang Pelayaran bahwa angkutan perairan dan pelabuhan harus mampu menjadi efek pengganda kemajuan ekonomi nasional, sepertinya tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Kehadiran usaha pelabuhan sejatinya menjadi keping lain dari 2 sisi mata uang berdampingan dengan pelayaran, tapi bagaimana sebenarnya yang terjadi di lapangan ?

Di perairan Taboneo Banjarmasin, Kalimantan Selatan, belakangan malah timbul ketegangan antara usaha kepelabuhanan dengan pelayaran dan perusahaan bongkar muat yang disebabkan munculnya kewajiban pengguna perairan disana untuk menggunakan “jasa” perusahaan kepelabuhanan yang menjadi satu-satunya yang boleh menguasai perairan Taboneo didalam DLKp dan DLKr Banjarmasin yang hampir seluas Jabodetabek.

Keberadaan pemerintah Indonesia di perairan yang diwakili oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, yang seharusnya menjadi pembina bagi usaha pelayaran malah menjadi kontra produktif dalam permasalahan ini. Didalam penyelesaian perbedaan pendapat mengenai apa yang boleh dikenakan tarif dan berapa besaran tarif yang nantinya akan dibebankan kepada pelayaran, HUBLA (KSOP Banjarmasin) malah menekan pelayaran yang tidak menyetujui tarif tersebut dengan cara tidak menerbitkan Ijin gerak dan Surat Persetujuan Berlayar kepada kapal yang bersangkutan.

Belum lepas dari ingatan kita apa yang terjadi di Samarinda pada Maret 2017, saat terjadi Operasi Tangkap Tangan dengan bukti uang sebesar 6,1 milyard. Banyaknya biaya yang dibebankan kepada shipper, pelayaran dan jasa terkait lainnya benar-benar membuat pelayaran terpuruk.

Saat ini Indonesia hanya sedikit lebih baik dibanding jaman penjajahan Belanda, dimana muatan ekspor impor negara ini dikuasai pelayaran asing sebesar 95%. Anehnya tidak ada usaha perbaikan yang kongkret dilakukan pemerintah dalam hal ini. Campur tangan pemerintah di sektor bisnis, bukannya tidak terlihat. Keberpihakan atas kepentingan kecil sering mengesampingkan kepentingan rakyat banyak, tidak heran begitu banyak Operasi Tangkap Tangan yang melibatkan unsur pemerintah di sektor ini.

Pemberian konsesi pengoperasian perairan Taboneo kepada hanya 1 pemilik Usaha Jasa Pelabuhan untuk area sebesar itupun harus dipertanyakan, karena akan cenderung menimbulkan kartelisasi yang berujung monopoli. KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) bukannya tidak mengetahui apa yang sedang terjadi di daerah penghasil utama batubara tersebut. Sebaiknya ada kompetisi agar iklim usaha menjadi sehat, dimana itu akan melahirkan kualitas dan efisiensi.

Belum lama ini INCAFO (Indonesian Cabotage Advocation Forum) bahkan menyurati Menteri Perhubungan, mempertanyakan masalah masuk nya pemerintah kedalam area Buniess to Business antara perusahaan pelayaran dengan perusahaan kepelabuhanan, dan dipercaya bahwa itu bukan yang terakhir. Karena dengan kondisi usaha pelayaran yang umumnya sedang sekarat, sedikit gangguan atau penambahan tarif seperti menyiram minyak keatas api.(zah)