Dari Tragedi KM Sinar Bangun di Danau Toba, Pengadilan Seharusnya Membebaskan Semua Terdakwa Demi Hukum -->

Iklan Semua Halaman

Dari Tragedi KM Sinar Bangun di Danau Toba, Pengadilan Seharusnya Membebaskan Semua Terdakwa Demi Hukum

01 Maret 2019
eMaritim.com,1 Maret 2019.

Persidangan Kasus tenggelamnya KM Sinar Bangun dengan Terdakwa Kepala Pos Pelabuhan Simanindo Golva Fran Putra dilaksanakan di PN Balige Cabang Pangururan, dengan agenda Pemeriksaan Ahli Bidang Penyelenggaraan Kepelabuhanan (Kamis 28/2), yang menghadirkan Azis Kasim Djou yang menjabat Kepala Bidang Kepelabuhanan Provinsi Kepulauan Riau.

Azis Kasim Djou, menunjukan Sertifikat dan Tanda Pengenal kepada Majelis Hakim PN Balige Cab. Pangururan


Berikut adalah penjelasan Aziz kepada eMaritim.com ;

Bahwa jikalau kasus kecelakaan KM Sinar Bangun adalah kelalaian dari Syahbandar maka seharusnya Aparatur Sipil Negara Dinas Perhubungan Kab. Samosir dan Pegawai Harian Lepas petugas Pos Pelayanan pada Pelabuhan Danau Simanindo harus dibebaskan demi hukum, mengingat sampai dengan saat ini Undang-undang Negara Republik Indonesia tidak ada mengatribusikan kewenangan penyelenggaraan fungsi keselamatan dan keamanan Pelayaran kepada Pemerintah Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

Seperti diketahui bahwa pelaksana urusan penyelenggaraan keamanan dan keselamatan pelayaran berdasarkan pembagian urusan pemerintahan dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 merupakan urusan Pemerintah Pusat, dan dalam Pasal 407 pada UU tersebut menegaskan bahwa sejak UU 23/2014 ini berlaku maka semua ketentuan peraturan perundang-undangan wajib mengacu dan menyesuaikan pengaturannya dengan UU Nomor 23/2014.
Kementerian Perhubungan sendiri telah menindaklanjuti soal pelaksanaan pengawasan keselamatan dan keamanan pelayaran di sungai dan danau tersebut, hal ini dibuktikan dengan adanya Nota Dinas dari Direktur Perkapalan dan Kepelautan Ditjen Hubla Capt. Rudiana  kepada Dirjen Perhubungan Laut tertanggal 13 Juli 2017, dimana dalam nota dinas tersebut Capt. Rudiana menyampaikan bahwa berdasarkan UU 23/2014 Pemerintah Daerah tidak memiliki kewenangan akan tetapi Syahbandar belum dapat melaksanakan tugasnya karena menunggu Petunjuk Pelaksanaan terkait Pemberlakuan PM 39 Tahun 2017 dan barang cetak (Surat Laut, Pas Besar, Pas Kecil, Pas Sungai, Pas Danau, Buku Register Kapal dll).

Dan sebagai tindaklanjutnya Dirjen Perhubungan Laut telah menerbitkan Petunjuk pelaksanaan dengan Keputusan Dirjen Perhubungan Laut Nomor UM.002/58/10/DJPL-17, tanggal 7 Agustus 2017.

Namun disayangkan Syahbandar yang seharusnya melakukan tugasnya di Danau Toba tidak pernah ada sampai dengan terjadinya musibah kecelakaan KM. Sinar Bangun dan baru ditempatkan setelah kejadian itu, padahal ketentuannya bahwa Syahbandar dari UPT Dirjen Hubla terdekat wajib melaksanakan fungsi kesyahbandaran di Pelabuhan Simanindo Danau Toba apalagi kenyataanya telah ada Surat Edaran Dirjen Hubla Nomor UM.003/58/9/DJPL-17 tanggal 7 Agustus 2017.

Sehingga dengan mengacu pada kewenangan masing-masing yang telah ada dan berpedoman pada  UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, dalam amanah pasal 9 ayat (3) menyatakan bahwa Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan wajib mencantumkan atau menunjukkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar Kewenangan dan dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.

Bahwa perbedaan tugas antara Penyelenggara Pelabuhan dalam hal ini Dinas Perhubungan dan Penyelenggara fungsi Pengawasan Keselamatan dan Keamanan Pelayaran dalam hal ini adalah Syahbandar dapat dilihat pada Pasal 80, Pasal 207, Pasal 208 dan Pasal 209 pada UU 17/2008 tentang Pelayaran dan Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 40 pada PP 61/2009 tentang Kepelabuhanan, merincikan bahwa tugas penyelenggara pelabuhan adalah melaksanakan fungsi pengaturan dan pembinaaan, pengendalian dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan sedangkan tugas Syahbandar adalah melaksanakan fungsi pelaksanaan, pengawasan, dan penegakan hukum di bidang angkutan di perairan, kepelabuhanan, dan perlindungan lingkungan maritim di pelabuhan. 

Mengacu pada pembagian kewenangan Pemerintahan setelah otonomi daerah sampai dengan tahun 2014, khususnya dalam Bidang Pelayaran Pemerintah Daerah hanya diberikan ruang kewenangan dalam penyelenggaraan pelabuhan, itupun pada pelabuhan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemda, sedangkan kewenangan penyelenggaraan keselamatan dan keamanan pelayaran menjadi kewenangan dan tanggung jawab Pemerintah Pusat (Lampiran UU 23/2014 huruf O angka 2. Urusan Pelayaran), terbukti bahwa di seluruh Indonesia tidak pernah ada Syahbandar yang diangkat oleh Menteri Perhubungan yang berstatus sebagai ASN Pemerintah Daerah.

Jika nanti hasil Audit KNKT ditemukan bahwa kecelakaan kapal akibat kelalaian Syahbandar maka yang wajib menjadi terpidana adalah Syahbandarnya, sementara faktanya bahwa Syahbandar tidak pernah ditempatkan di pelabuhan Simanindo sehingga hal ini jelas merupakan kelalaian dari Kementerian Perhubungan sebagai pemegang atribusi amanat ketentuan perundang-undangan.

Maka akan sangat aneh jika kelalaian dari Kementerian Perhubungan karena UPT terdekatnya yang tidak menempatkan Syahbandar di pelabuhan Simanindo, tetapi dalam penetapan pihak yang bertanggung jawab oleh aparat penegak hukum kelalaian tersebut ditimpakan kepada aparatur Dinas Perhubungan Kabupaten Samosir baik yang ASN maupun Honorer yang bertugas dipelabuhan tersebut.

Apalagi mengingat adagium dalam hukum yang menyatakan bahwa lebih baik membebaskan 1000 orang bersalah daripada memenjarakan 1 orang yang tidak bersalah, maka seluruh unsur dari Dinas Perhubungan Kabupaten Samosir yang saat ini sudah ditetapkan sebagai tersangka maupun terdakwa wajib dibebaskan demi hukum karena mereka bukan Syahbandar dan mereka belum pernah ditetapkan sebagai Syahbandar oleh Menhub dan tidak bisa menjadi Syahbandar.(jan)