
Carmelita
Hartoto, Ketua Umum DPP Indonesian National Shipowners’ Association (INSA)
mengatakan, sampai saat ini belum seluruh amanat dalam Undang-undang No 17
tahun 2008 tentang Pelayaran dijalankan, misalnya amanat untuk membentuk sea
and coast guard sebagai badan tunggal penjaga laut dan pantai.
Dengan
belum seluruh amanat UU tersebut dijalankan, katanya, tentunya dampak positif
atau negatif dari aturan itu belum benar-benar terasa bagi seluruh pihak
terkait sektor pelayaran.
“Karena
amanat dari UU belum berjalan seluruhnya, jadi kita belum dapat merasakan
dengan total, apakah UU yang ada ini masih cocok atau sudah tidak cocok dengan
keadaan di lapangan saat ini” katanya.
Sampai
saat ini, pengusaha pelayaran nasional menilai UU Pelayaran yang ada masih
relevan diberlakukan. Jikapun ada kekurangan dapat dilakukan perubahan dengan
mengubah peraturan turunannnya, seperti peraturan menteri, tanpa harus merevisi
UU Pelayaran.
“Yang
dibutuhkan para pengusaha pelayaran nasional kan kepastian usaha, dengan
kepastian hukum dan kebijakan di sektor pelayaran. Agar pelaku usaha dapat
berusaha lebih tenang.”tuturnya.
Dengan
adanya wacana merivisi UU Pelayaran juga dikhawatirkan disusupi oleh kepentingan
negara lain di sektor pelayaran nasional. Kepentingan negara lain itu misalnya
dengan membuka aturan yang terkait asas cabotage.
Asas cabotage
menegaskan angkutan laut dalam negeri menggunakan kapal berbendera merah putih,
dan diawaki oleh awak berkebangsaan Indonesia. Hal ini seperti tertera dalam
Pasal 8 ayat 1 dalam UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran.
Asas
cabotage dapat dimaknai sebagai kedaulatan negara (sovereign of the country).
Kebijakan ini, katanya, sudah terbukti sukses menjaga kedaulatan negara dari
aspek keamanan dan pertahanan negara.
Lain
itu, asas cabotage juga telah sukses berdampak positif bagi ekonomi nasional,
khususnya di sektor pelayaran dan sektor terkait lainnya. Hal ini terbukti
dengan bertambahnya jumlah armada pelayaran nasional, dan kini pelayaran
nasional juga telah mampu melayani distribusi seluruh angkutan kargo
domestik dari Sabang hingga Merauke.
“Sangat
sulit dibayangkan kalau kita sebagai negara maritim, justru kapal-kapal yang
ada di Indonesia adalah kapal berbendera negara lain. Lalu jika terjadi keadaan
force majuere, seperti tsunami, apakah kapal berbendera negara lain itu akan
membantu evakuasi korban? Justru kapal-kapal itu yang pertama pulang ke negara
mereka kalau itu terjadi.” katanya.
Lain
itu, jika semangat merevisi UU Pelayaran itu berangkat dari belum terjadinya
efisiensi biaya logistik nasional, tentunya tidak adil jika hanya menyalahkan
angkutan laut.
Seluruh
stakeholder harus berani membedah porsi beban biaya logistik dari pos mana
saja. Karena angutan laut hanya satu dari mata rantai logistik. “Tidak bisa
tanpa mencari penyebabnya, kita lantas begitu saja merevisi undang-undang.”
ungkapnya.
Menurutnya,
dengan membuka asas cabotage, justru Indonesia mengalami kemunduruan. Karena
Indonesia bukan satu-satunya negara yang memberlakukan asas cabotage.
Beberapa negara lain sudah lebih dulu menerapkan asas cabotage. Sebut
saja seperti, Amerika Serikat, Jepang, Tiongkok, Australia, atau Filipina.
“Atas
beberapa pertimbangan ini, maka asas cabotage tidak boleh diganggu gugat, dan
wajib dipertahankan.” tuturnya.