Pantai Hitam Akibat Tumpahan Batubara Yang Lambat Ditangani -->

Iklan Semua Halaman

Pantai Hitam Akibat Tumpahan Batubara Yang Lambat Ditangani

19 Agustus 2019

Sebulan pasca kandas dan tumpahnya muatan batubara dari tongkang Nautika 25 di pantai Rancapinang, masih belum ada tanda-tanda akan dibersihkannya batubara dari pantai oleh pihak pemilik kapal.
Hanya masyarakat lokal yang menanggung beban dengan membersihkan pantai secara swadaya dan peralatan ala kadarnya.

Seperti diberitakan eMaritim.com sebelumnya, pada tanggal 13 Juli 2019 tug boat Alpine Marine 15 dan tongkang Nautika 25 terhempas ombak dan kandas di pantai Rancapinang, kecamatan Cimanggu, kabupaten Pandeglang. Masyarakat yang dihebohkan oleh peristiwa tersebut, turut membantu ABK kapal untuk turun ke darat menggunakan life raft dan tali. Beruntung tidak ada korbam jiwa pada kecelakaan tersebut.

Menurut responden eMaritim.com di lokasi, sampai saat ini belum ada usaha pembersihan pantai seperti yang dijanjikan pemilik kapal. Diketahui bahwa pihak Kementerian Lingkungan Hidup Provinsi sudah menyurati pemilik kapal agar segera membersihkan pantai dan menyertakan masyarakat setempat untuk bekerja. Bahkan pada tanggal 30 Juli 2019, pihak perusahaan PT Nusantara Terminal Terpadu selaku pemilik tongkang juga sudah mengeluarkan surat pernyataan kesanggupan untuk membersihkan batubara yang tumpah dari pantai. Tapi sampai berita ini diturunkan tidak ada kegiatan yang berarti yang mengarah ke pembersihan pantai seperti dimaksud KLH Provinsi Banten.

Lambatnya penanganan penanggulangan tumpahan muatan kapal dan penyingkiran bangkai kapal di Indonesia sering tidak sejalan dengan aturan soal kewajiban bahwa setiap kapal harus memiliki asuransi penyingkiran bangkai kapal dan asuransi P&I yang tertuang dalam Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor. AL.801/1/2 Phb 2014 tanggal 8 Desember 2014 perihal Kewajiban Mengasuransikan Kapal dengan Asuransi Penyingkiran Kerangka Kapal dan/atau Perlindungan Ganti Rugi.

Sayangnya pihak asuransi yang menjadi penanggung dari pemilik kapal, cenderung sering menutup pintu musyawarah dengan pihak yang terpapar di lokasi. Seperti kejadian di Rancapinang dan pantai Banten lainnya, masyarakat dan lingkungan hidup selalu menjadi pihak yang dirugikan dan tidak diperhatikan. Hal itu sudah sepantasnya menjadi perhatian pemerintah yang berwenang dibidang keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan maritim, yaitu Direktorat Jenderal Perhubungan Laut untuk lebih aktif berpihak kepada masyarakat sekitar.

Masih banyak bangkai kapal berserakan di pantai-pantai pulau Jawa, khususnya provinsi Banten sebagai akibat dari tidak diaturnya kegiatan dibidang Tug and Barge. Dengan bobot muatan diatas 7000 ton, kapal tug boat dengan kemampuan mesin dibawah 2000 HP, atau dengan bollard pull capacity yang dibawah 15 ton bebas menarik di segala cuaca.

Hal tersebut selalu menjadi pemicu awal dari kecelakaan di industri Tug and Barge, disamping sistim mooring yang sangat minim dengan peralatan dan kekuatan yang tidak di atur dan dirawat. Sudah saatnya pemerintah mengatur kegiatan Tug and Barge agar pencemaran lingkungan bisa dihindari. Populasi kapal jenis ini menguasai sekitar 65 - 70 % dari total armada niaga nasional, dan semua pihak bertanggung jawab untuk melindungi lingkungan maritim Indonesia.