Jakarta, eMaritim.com - Indonesian National Shipowners’
Association (INSA) menyampaikan pendapat bahwasannya dalam kewajiban menerapkan
dan mengaktikan Automatic Identification System (AIS) terhadap seluruh kapal
dilakukan secara bijak, adanya sanksi
yang sangat merugikan itu diantaranya pencabutan sertifikat pengukuhan nakhoda
dan penundaan SPB hanya karena tidak mengaktifkan AIS.
Sekretaris Umum Dewan
Pimpinan Pusat Indonesian National
Shipowners Association (DPP INSA) Budi
Halim menekankan, penerapan PM 7/2019
dilakuakan secara bijak dan bertahap karena bila langsung diterapkan
akan sangat merugikan para pelaut, terutama nakhoda dan operator kapal.
Padahal AIS bisa saja tidak aktif karena berbagai faktor. Dantaranya, kerusakan
yang tidak diketahui sebelumnya pihak nakhoda.
"Kami mendukung
PM 7/2019 asal dilakukan secara bijak. Jangan sampai peraturan itu merugikan banyak pihak, yang
berdampak kepada biaya tinggi
ekonomi," kata Budi Halim dalam diskusi tentang penerapan PM 7/2019,
Selasa (6/8/2019) di Jakarta.
Ditektur KPLP Ditjen Perhubungan Laut, Ahmad dalam diskusi itu menyambut baik
usulan para pelaku usaha pelayaran terkait
penerapan PM 7/2019 secara bertahap. Dia juga memahami
kekhawatiran sejumlah pihak, terhadap tingginya
biaya logistik akibat penerapan sanksi
penuh.
Namun kata
Ahmad, seluruh masukan akan menjadi pertimbangan strategis bagi regulator dalam
menerapkan PM 7/2019 pada 20 Agustus 2019 ini.
"Terimakasih
seluruh usulan dari pelaku usaha
pelayaran anggota INSA. Kami juga tidak
ingin peraturan itu mengganggu distribusi barang atau logistik nasional,"
tuturnya.
Terkait sanksi pecabutan sertifikat nakhoda yang tidak menghidupkan AIS, menurut Direktur Kenavigasian
Ditjen Perhubungan Laut
Basar Antonius yang hadir sebagai narasumber dalam diskusi itu , menekankan
agar para pelaku usaha pelayaran tidak terlalu khawatir.
Implementasinya, kata
Anton, ada tahapan yang harus diikuti para petugas di lapanga. "Nakhoda kan bisa
buat laporan atau catatan, misalnya kenapa AIS itu tidak aktif, selain itu juga ada prosedur yang harus
dijalankan," tuturnya.
Antonius dalam kesempatan yang sama menambahkan, sejauh ini
pihaknya sudah menggencarkan sosialisasi. Artinya, kebijakan yang akan berlaku
idealnya sudah dipahami publik, terutama stakeholder yang berkaitan langsung
dengan regulasi ini.
"Sudah banyak yang kita lalukan terkait sosialisasi.
Kami selipkan informasi ke stakeholder terkait dengan diadopsinya proposal pada
Selat Sunda dan Selat Lombok pada Januari dan Juni 2019," tandasnya.
Berkaitan dengan keamanan dan keselamatan, dia juga
memperkuat stasiun VTS. Keberadaan VTS yang terintegrasi sangat dibutuhkan
untuk memonitor lalu lintas pelayaran dan alur lalu lintas pelayaran serta
mendorong efisiensi bernavigasi sehingga dapat menurunkan resiko kecelakaan
kapal dan mampu memberikan rasa aman bagi pengguna jasa pelayaran.
Pemberian layanan jasa kenavigasian VTS akan dilakukan
penarikan jasa PNBP sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2016
tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku
pada Kementerian Perhubungan.
Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Agus H.
Purnomo saat membuka diskusi menjelaskan, pemerintah ingin ada penegakan hukum
yang jelas mengenai keberadaan kapal yang berlayar di wilayah maritim RI.
"Ada law enforcement, tak bisa semau-maunya kapal ke
mana saja tak jelas. Kita harus bisa monitor seluruh kapal, bawanya apa saja.
Memang perlu sosialisasi lebih, saya sering ditelepon Basarnas ada kapal
tenggelam, kita nggak tahu apa, ternyata kapal ikan. Jadi memang kita belum
bisa lacak semua," ungkapnya.