Lebih dari 60 Persen Pelaut Indonesia Miskin -->

Iklan Semua Halaman

Lebih dari 60 Persen Pelaut Indonesia Miskin

17 Desember 2019


Kecelakaan kapal dan tongkang yang terjadi di Indonesia seperti tidak pernah ada habisnya, hal ini tentu tidak terlepas dari peran dan permasalahan para Anak Buah Kapal diatas kapal-kapal jenis tersebut. Patut dikaji secara mendalam apa keterkaitan antara kesejahteraan pelaut dengan kecelakaan kapal, agar dapat dicarikan solusi supaya kejadian itu tidak selalu berulang sampai mengakibatkan hilangnya jiwa, kerusakan lingkungan dan kerugian materi lainnya.

Ramainya kegiatan Tug and Barge tidak sama artinya dengan meningkatnya kesejahteraan pelaut yang berlayar di atasnya. Hal ini salah satunya disebabkan oleh banyaknya operator kapal yang masuk ke dalam bisnis yang kurang memperhatikan aturan mempekerjakan awak kapal dan tidak adanya aturan yang mengikatnya. Ramainya tangan-tangan calo muatan dan calo tongkang yang tidak bonafide, tanpa perusahaan yang benar,  tetapi ingin mengambil keuntungan besar juga menjadi penyebab berkurangnya pemasukan sang pemilik kapal.

Beberapa kapal diketahui menggaji ABK nya bahkan lebih kecil daripada upah minimum regional di kota Jakarta ataupun kota lainnya. Pemerintah belum cukup hadir untuk berdiri atas nama pelaut atau memeriksa sejauh mana kesejahteraan pelaut di Indonesia.

Sebenarnya hal ini tidak sulit untuk dilakukan, salah satu cara adalah dengan membuat aturan penyewaan kapal di mana proses pengadaan kapal harus dibakukan ke dalam sistem lelang yang terbuka dan calon penyewa juga mensyaratkan bahwa operator kapal harus memperhatikan remunerasi pelaut dalam batas yang baik.

Hal seperti ini sudah dilakukan sejak puluhan tahun lalu di industri pelayaran lepas pantai (Offshore) di mana setiap operator yang berminat untuk bekerja dan mengikuti lelang pengadaan kapal mereka juga harus memasukkan besaran gaji ABK agar bisa menjadi pertimbangan penilaian dari calon penyewa. Karena apabila sebuah perusahaan pelayaran menganggarkan terlalu kecil untuk para ABK nya maka bisa dipastikan pelayanan yang diberikan akan tidak baik. Sebaliknya untuk perusahaan yang menganggarkan remunerasi ABK, perawatan kapal dan hal-hal lain yang berkaitan dengan terjaminnya servis dengan nilai yang baik, tentu akan mendapatkan servis lebih dibanding yang sebelumnya.

Dengan tidak diaturnya pengadaan kapal di industri pelayaran Tug and Barge maka tidak bisa dihindari kehadiran calo-calo yang menjadi cost yang semestinya tidak ada didalam rantai pengadaan yang secara tidak langsung akan mengambil jatah remunerasi pelaut diatas kapal tersebut.

Masih banyak gaji pelaut bahkan level nahkoda pun dibayar di bawah angka Rp5.000.000, sementara untuk level Jurumudi masih ada yang diberi gaji dibawah Rp1.000.000. Ini sangat ironis untuk negara seperti Indonesia yang mengakui bahwa nenek moyangnya seorang pelaut, tetapi mirisnya mereka masih diperlakukan di bawah taraf buruh pabrik. Ingat, pelaut memiliki segudang sertifikat berstandar Internasional yang harus dibayar dan di revalidasi secara berkala.

Untuk pelaut yang seperti ini keadaan tersebut seperti buah simalakama, banyak diantara mereka sudah berprofesi sebagai pelaut secara turun-temurun dan tidak mungkin beralih ke profesi lain. Buat mereka tidak berlayar sama artinya tidak ada kehidupan, sementara jika berlayar mereka harus menjalani sebuah kehidupan yang jauh di bawah standar dan jauh dari bayangan orang umumnya mengenai glamournya kehidupan pelaut.

Jadi bukan tidak mungkin pemerintah untuk campur tangan, ini lebih kepada keinginan pemerintah sendiri untuk berperan lebih jauh dalam membantu kesejahteraan pelaut. Di Kementerian ESDM pemerintah mempunyai instrumen yang mengatur perusahaan minyak dan gas dalam sebuah aturan mengenai Tata Cara pengadaan Kapal dan Barang, hal ini secara langsung bisa membantu sehatnya iklim usaha disana, sehingga perusahaan pelayaran tidak berlomba-lomba mendapat kerja hanya karena ingin menjadi PT. John Banting yang senang memberikan harga dibawah standar.