Catatan Capt Zaenal Arifin Hasibuan
Dengan akan diberlakukannya regulasi IMO mengenai low sulphur cap sesuai Annex VI Regulation 14 pada 1 Januari 2020, kira-kira imbas apa yang akan terjadi kepada dunia pelayaran niaga di Indonesia, termasuk kesiapan Pertamina dan pengaruhnya terhadap harga barang di dalam negeri.
Jika kita simak kesiapan Pertamina seperti yang dikatakan VP Corporate Communicationnya bahwa Pertamina masih sedang mematangkan produksi MFO bersulfur rendah sesuai dengan aturan IMO yakni maksimal 0,5%.
“Kebutuhan costumer atas MFO sulfur rendah adalah peluang bisnis yang akan kami tindak lanjuti. Tantangannya adalah persiapan infrastruktur MFO low sulphur dan MFO high sulphur untuk memnuhi demand tersebut pada waktunya,” kata Fijriah Usman kepada media belum lama ini.
Jika Pertamina menganggapnya sebagai peluang bisnis, lau siapa yang akan membayar? yang pasti kapal akan tetap membelinya dan itu akan membuat harga freight terkoreksi dengan pertambahan nilai BBM tersebut.
Adapun MFO rendah sulfur tersebut akan diproduksi dan digudangkan di Jakarta dan Balikpapan, hanya 2 kota. Belum dijelaskan kesiapan distribusi keseluruh Indonesia termasuk kesiapan kapal-kapal yang akan mengangkutnya. Harus diperhatikan bahwa seluruh kapal tersebut memiliki tangki yang bersih sebelum mengangkut MFO 0,5% agar tidak bercampur dengan MFO yang ada selama ini.
Dengan harga MFO produksi Pertamina saat ini berkisar di angka 9800/ liter (belum termasuk ppn, pph, dan pbbkb) di pasaran, maka nantinya kenaikan akan membuat harga MFO sulfur rendah(0,5%) diperkirakana ada di angka Rp. 12.750/ liter. Sementara pasar Internasional memprediksi kenaikan harga akan ada di 25-30%.
Di Singapura harga MFO saat ini berkisar di angka 390 USD/ MT atau 460 USD/ kilo liter, atau dikonversi kedalam rupiah per liter menjadi Rp 6.440/ liter. Kenaikan 25%-30% akan mengubah harga MFO low sulphur menjadi berkisar di angka Rp.8.372/ liter jika di rupiahkan.
Untuk memenuhi aturan Annex VI Regulation, ada 3 opsi yang bisa diambil pemilik kapal : menggunakan MFO sulfur rendah, pasang scrubber atau berubah menggunakan LNG. Jelas opsi menggunakan MFO sulfur rendah akan jauh lebih ekonomis. Hal ini bisa dipahami karena tidak harus merubah apapun dikapal dibanding 2 opsi lainnya.
Imbas dari mahalnya harga MFO jelas tidak akan ditanggung pemilik kapal dengan misalnya: memotong operational expenditure, apalagi memotong gaji ABK. Hal paling realistis adalah menaikkan uang freight, yang pastinya akan berimbas pada naiknya harga barang-barang di masyarakat.
Jika opsi ini diambil oleh para pemilik kapal, lalu bagaimana ketersediaan MFO sulfur rendah di Indonesia? Apakah Pertamina akan merubah refinery nya untuk meproduksi MFO yang sekarang menjadi yang rendah sulfur? Ini yang menarik ditelaah.
Dengan melimpahnya ketersediaan bunker di Singapura dan murahnya harga disana, apakah tidak mungkin Indonesia menjadi importir MFO low sulphur? Kebutuhan Indonesia yang hanya 380.000 kilo liter tentu bukan masalah buat Singapura yang setiap tahunnya menjual 50.000.000 kilo liter bunker kepada kapal-kapal yang transit disana. Bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi customer tetap Singapore nantinya, ironi sebuah negara penghasil minyak bumi yang mengimpor dari negara yang tidak memiliki minyak bumi sama sekali jelas tidak bisa dibanggakan.
Jika Pertamina mengimport MFO sulfur rendah dari Singapura maka peluang bisnis yang diucapkan oleh VP Corporate Communication Pertamina akan menjadi kenyataan. Singapura untung, Pertamina untung, sementara masyarakat yang akan menjadi pembayarnya.
Patut diketahui, apakah Pertamina akan memproduksi MFO sulfur rendah atau Pertamina hanya akan jadi pengimpor BBM dari Singapura.
Terlepas apapun yang dilakukan Pertamina, tahun depan bisa dipastikan harga barang-barang yang menggunakan angkutan kapal sebagai moda transportasinya akan naik lagi, maka kita ucapkan selamat datang 2020.