Ilustrasi |
"Seperti diketahui, defisit transaksi berjalan salah
satu penyumbang terbesarnya adalah defisit jasa. Dan defisit dalam jasa jasa
penyumbang terbesarnya adalah jasa perkapalan," kata peneliti AEPI
Salauddin Daeng di Jakarta.
Menueutnya, nilai defisit jasa Indonesia setiap tahun
mencapai USD 7-8 miliar atau sekitar Rp100-Rp110 triliun. Angka ini menyumbang
sekitar 30 persen dari defisit transaksi berjalan.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas
Bambang Brodjonegoro menyoroti sektor jasa perkapalan yang menjadi salah satu
penyumbang terbesar terhadap defisit transaksi berjalan. (November 2018).
Defist jasa perkapalan penyumbangnya adalah perkapalan
migas. Mengapa, karena Pertamina sudah tak punya kapal lagi seperti dulu karena
sudah dijual. Sekarang pertamina sangat bergantung pada kapal swasta.
"Sementara, impor migas yang harus dikirim lewat kapal mencapai Rp450
triliun setahun. Belum termasuk distribusi migas dalam negeri," jelas
Daeng.
Sementara kini,
Pertamina bergantung pada kapal swasta dan asing. Coba bayangkan, Sampai
akhir tahun 2018, Pertamina hanya mengelola 67 armada kapal milik sendiri dan
pertamina menggantungkan usahanya pada 200 kapal charter untuk mengangkut kargo
internal. Jadi bagaimana tidak defisit ?
Selalu Dihambat ?
Namun usaha pertamina menambah kapal baru pasti akan
dihambat. "Mengapa, karena itu menyangkut usaha dari 70 persen bisnis
perkapalan milik swasta dan asing," kilah Daeng.
"Jadi tidak mungkin direktur yang membawahi perkapalan
akan leluasa melakukan pengadaan kapal, pasti akan dihajar oligarki,"
papar pengamat ekonomi muda itu.
Sebagaimana diketahui, urai Daeng, Pertamina perkapalan berencana melakukan
pengadaan kapal Pertamina sebanyak 4 kapal baru yang saat ini tengah dalam
proses pembangunan dn penambahan armada baru tersebut untuk memperkuat
distribusi BBM (White Oil) domestic.
"Apa kira kira kira ini yang membuat Direksi LSCI yang
mengurus perkapalan tidak pernah aman," tanya Daeng diplomatis.