Apa yang terlintas di pikiran kita jika membaca laporan
keuntungan Pelabuhan-pelabuhan di Indonesia yang melewati angka triliunan
rupaih dalam setahunnya? Atau menargetkan penambahan profit sampai 2 digit pada
tahun-tahun kedepan?
Angka-angka tersebut adalah capaian yang positif apabila
menggambarkan sebuah badan usaha yang didirikan untuk mendapat keuntungan dari
para pengguna jasanya. Selanjutnya apabila pencapaian itu didapat oleh Badan
Usaha Milik Negara yang melayani hajat hidup orang banyak seperti Pelabuhan,
apakah hal tersebut bisa dipakai sebagai gambaran sukses dan sehatnya iklim
usaha Pelayaran Indonesia?
Umumnya di negara maju dimana pelabuhannya baik, perusahaan
angkutan lautnya juga baik, apakah yang memiliki trade besar atau sebagai
pelabuhan transit.
Rotterdam, Amsterdan dengan Nedlloyd sebelum merger dengan
P&O, Hamburg dan Bremen dengan Hapag Lloyd dan Hamburg Sud, Singapura
dengan segudang perusahaan angkutan lautnya, Pelabuhan China dengam Cosco,
Pelabuhan Jepang dengan ONE nya.
![]() |
Sumber Gambar Katadata |
Lalu apa hubungannya antara pelabuhan dengan
pelayaran ?
Mari kita sama sama lihat kedalam Undang Undang nomor 17 Tahun
2008 Tentang Pelayaran yang mengatur kegiatan tersebut.
Dimulai dari Bab 1
Pasal 1 yang menyebut bahwa ;
1) Pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim.
2) Perairan Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya.
3) Angkutan di Perairan adalah kegiatan mengangkut dan/atau memindahkan penumpang dan/atau barang dengan menggunakan kapal.
1) Pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim.
2) Perairan Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya.
3) Angkutan di Perairan adalah kegiatan mengangkut dan/atau memindahkan penumpang dan/atau barang dengan menggunakan kapal.
Dengan jelas dan tegas bahwa yang dimaksud Pelayaran
didalam Undang Undang 17 adalah angkutan di perairan, kepelabuhanan dan
keselamatan pelayaran serta perlindungan lingkungan maritim yang merupakan satu
kesatuan tak terpisahkan. Tujuan menjadi negara maritim akan sulit terwujud
apabila keempat hal tersebut berjalan masing-masing tanpa irama dan ritme yang
selaras.
Selanjutnya kita coba perjelas lagi beberapa makna dari
pasal pasal yang tercantum di dalam UU 17 tahun 2008.
Sementara di
dalam BAB II ASAS DAN TUJUAN , yang disebutkan di Pasal 2 mengenai Pelayaran diselenggarakan berdasarkan ; a) asas manfaat, b) asas usaha bersama dan kekeluargaan, c) asas
persaingan sehat, d) asas adil dan merata tanpa
diskriminasi, e) asas keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan, f) asas kepentingan umum, g) asas keterpaduan, h) asas tegaknya hokum, i) asas kemandirian, j) asas berwawasan lingkungan hidup, k) asas kedaulatan negara dan, l) asas
kebangsaan.
Lalu Pasal
3 mengenai Pelayaran diselenggarakan
dengan tujuan: a) memperlancar arus perpindahan orang
dan/atau barang melalui perairan dengan mengutamakan dan melindungi angkutan di
perairan dalam rangka memperlancar kegiatan perekonomian nasional, b) membina jiwa kebaharian, c) menjunjung kedaulatan
negara, d) menciptakan daya saing dengan
mengembangkan industri angkutan perairan nasional, e) menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian tujuan
pembangunan nasional, f) memperkukuh kesatuan dan
persatuan bangsa dalam rangka perwujudan Wawasan Nusantara dan, g) meningkatkan ketahanan nasional.
Memperhatikan dengan seksama amanah Undang Undang nomor 17
tahun 2008, bahwa angkutan perairan dan pelabuhan (disebut sebagai satu
kesatuan bernama PELAYARAN) memiliki peran secara bersama sama dan berkesinambungan
untuk menjadi motor pergerakan barang dan manusia bagi kemajuan ekonomi
nasional. Didalam amanah tersebut juga dengan jelas dikatakan bahwa tugas
tersebut adalah untuk menjunjung kedaulatan negara yang akan menciptakan daya
saing nasional (terhadap kekuatan asing).
Seperti diketahui bahwa pelabuhan di Indonesia hampir semua
menangani muatan untuk captive market, dimana pengguna jasa adalah
masyarakat Indonesia atau barang-barang untuk pembangunan negara. Hanya kapal
pembawanya saja yang bisa jadi berbeda, apakah armada kapal nasional milik
pemerintah, swasta nasional atau kapal asing yang masuk ke pelabuhan tersebut.
Terlepas apapun kapalnya, dalam bisnis angkutan kapal, maka
muatan kapal adalah penanggung biaya freight dan demurage. Artinya, berapapun
biaya angkut dan biaya pelabuhan, maka muatan lah pembayarnya.
Kita sering silau dengan kemajuan Pelabuhan Singapore dan
Rotterdam yang merupakan 2 pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia, sebelum
kebangkitan ekonomi Cina. Sehingga kita sering menjadikan 2 pelabuhan tersebut
sebagai bench mark kesuksesan pelabuhan-pelabuhan yang ada di
Indonesia, dari sisi jumlah muatan/ kapal yang yang ditangani dan
juga margin profit yang didapat.
Satu hal yang membedakan antara pelabuhan yang melayani
muatan internasional dengan yang melayani muatan untuk kebutuhan domestiknya adalah
di dasar pembentukan pelabuhan itu sendiri seperti yang termaktub didalam
Undang Undang nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran yang dijabarkan diatas.
Indonesia, dengan biaya logistik yang masih sekitar 24% sampai 27% dari
GDP sebenarnya masih memiliki banyak tugas yang belum selesai, seperti yang
masih dialami program pemerintah Tol Laut, ataupun yang dialami oleh bidang
angkutan lautnya yang seharusnya menjadi satu kesatuan dengan pelabuhan sebagai
unsur pelayaran dalam konteks sebagai agen utama pembangunan naional.
Tidak dapat dipungkiri bahwa keadaan pelayaran di
Indonesia secara masih sangat timpang apabila kita berpegang kepada pemahaman
dari Undang Undang nomor 17. Asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan bagi
kedaulatan negara masih jauh dari harapan. Negara akan tetap rentan dalam
ketahanan sistem logistiknya apabila pelabuhan-pelabuhan Indonesia hanya
dipenuhi kapal-kapal asing yang menikmati melimpahnya muatan ekspor impor
Indonesia.
Besarnya margin profit pelabuhan milik negara yang didapat
dari melayani kegiatan alih muatan/penumpang di Indonesia seperti meninggalkan
pertanyaan, apakah memang itu tujuan pemerintah? Atau pemerintah tidak sadar
apa yang dimaksud Undanf Undang Pelayaran khususnya pada Bab 1 dan Bab 2.
Hal seperti ini sewajarnya tidak luput dari pantauan
pemerintah yang bertindak selaku pembina dari kegiatan tersebut.
Kencangnya laba yang didapat pelabuhan-pelabuhan yang
dikelola oleh pemerintah bahkan sudah merambah dan bertambah menjadi perusahaan
pelayaran, bongkar muat dan usaha ikutan lainnya di pelabuham terkait. Sehingga
asas dan tujuan pelabuhan seperti yang disebutkan di Bab II Pasal 2 Undang
Undang Pelayaran sudah jauh menyimpang.
Dengan fakta besarnya laba pelabuhan, apakah tidak lebih
baik jika keuntungan yang didapat dijadikan suntikan modal untuk memajukan
industri angkutan kapal, galangan, perlindungan lingkungan maritim secara
nasional dan meningkatkan keselamatan dan keamanan pelayaran. Sebuah persoalan
minim solusi apabila soal berbicara masalah pendanaan dari dalam negeri.
Jika mekanisme tersebut bisa dijembatani dan diwadahi
pemerintah, maka peluang untuk lebih meningkatkan daya saing pelayaran nasional
di kancah regional dan dunia mungkin bisa lebih realistis dicapai. Saat ini
bahkan untuk menjadi jago kandang saja angkutan laut sudah kembang kempis
digempur berbagai kekuatan dan kepentingan yang mencoba penetrasi jauh kedalam
angkutan domestik. Pemerintah tidak boleh membiarkan pelabuhan nasional
berselingkuh dengan angkutan laut asing, dan meninggalkan amanah Undang Undang
17 Bab 1 dan Bab 2.
Pelayaran Indonesia bukan nya tanpa masa depan. Kita punya
muatan, punya banyak kebutuhan impor, punya tradisi, punya perairan yang luas
dan punya keinginan untuk kembali menjadi bangsa maritim yang hebat. (Penulis : Capt. Zaenal A. Hasibuan)