UU Pelayaran Tak Berjalan Mulus, Biaya Logistik Indonesia Jadi Mahal dan Tertinggal -->

Iklan Semua Halaman

UU Pelayaran Tak Berjalan Mulus, Biaya Logistik Indonesia Jadi Mahal dan Tertinggal

19 Februari 2020
Apa yang terlintas di pikiran kita jika membaca laporan keuntungan Pelabuhan-pelabuhan di Indonesia yang melewati angka triliunan rupaih dalam setahunnya? Atau menargetkan penambahan profit sampai 2 digit pada tahun-tahun kedepan?

Angka-angka tersebut adalah capaian yang positif apabila menggambarkan sebuah badan usaha yang didirikan untuk mendapat keuntungan dari para pengguna jasanya. Selanjutnya apabila pencapaian itu didapat oleh Badan Usaha Milik Negara yang melayani hajat hidup orang banyak seperti Pelabuhan, apakah hal tersebut bisa dipakai sebagai gambaran sukses dan sehatnya iklim usaha Pelayaran Indonesia?

Umumnya di negara maju dimana pelabuhannya baik, perusahaan angkutan lautnya juga baik, apakah yang memiliki trade besar atau sebagai pelabuhan transit.

Rotterdam, Amsterdan dengan Nedlloyd sebelum merger dengan P&O, Hamburg dan Bremen dengan Hapag Lloyd dan Hamburg Sud, Singapura dengan segudang perusahaan angkutan lautnya, Pelabuhan China dengam Cosco, Pelabuhan Jepang dengan ONE nya.

Sumber Gambar Katadata

Lalu apa hubungannya antara pelabuhan dengan pelayaran ?

Mari kita sama sama lihat kedalam Undang Undang nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran yang mengatur kegiatan tersebut.

Dimulai dari Bab 1 Pasal 1 yang menyebut bahwa ;

1) Pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim.

2) Perairan Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya.

3) Angkutan di Perairan adalah kegiatan mengangkut dan/atau memindahkan penumpang dan/atau barang dengan menggunakan kapal.

Dengan jelas dan tegas bahwa yang dimaksud Pelayaran didalam Undang Undang 17 adalah angkutan di perairan, kepelabuhanan dan keselamatan pelayaran serta perlindungan lingkungan maritim yang merupakan satu kesatuan tak terpisahkan. Tujuan menjadi negara maritim akan sulit terwujud apabila keempat hal tersebut berjalan masing-masing tanpa irama dan ritme yang selaras.

Selanjutnya kita coba perjelas lagi beberapa makna dari pasal pasal yang tercantum di dalam UU 17 tahun 2008.

Sementara di dalam BAB II ASAS DAN TUJUAN , yang disebutkan di Pasal 2 mengenai Pelayaran diselenggarakan berdasarkan ; a) asas manfaat, b) asas usaha bersama dan kekeluargaan, c) asas persaingan sehat, d) asas adil dan merata tanpa diskriminasi, e) asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, f) asas kepentingan umum, g) asas keterpaduan, h) asas tegaknya hokum, i) asas kemandirian, j) asas berwawasan lingkungan hidup, k) asas kedaulatan negara dan, l) asas kebangsaan.

Lalu Pasal 3 mengenai Pelayaran diselenggarakan dengan tujuan: a) memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang melalui perairan dengan mengutamakan dan melindungi angkutan di perairan dalam rangka memperlancar kegiatan perekonomian nasional, b) membina jiwa kebaharian, c) menjunjung kedaulatan negara, d) menciptakan daya saing dengan mengembangkan industri angkutan perairan nasional, e) menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian tujuan pembangunan nasional, f) memperkukuh kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka perwujudan Wawasan Nusantara dan, g) meningkatkan ketahanan nasional.

Memperhatikan dengan seksama amanah Undang Undang nomor 17 tahun 2008, bahwa angkutan perairan dan pelabuhan (disebut sebagai satu kesatuan bernama PELAYARAN) memiliki peran secara bersama sama dan berkesinambungan untuk menjadi motor pergerakan barang dan manusia bagi kemajuan ekonomi nasional. Didalam amanah tersebut juga dengan jelas dikatakan bahwa tugas tersebut adalah untuk menjunjung kedaulatan negara yang akan menciptakan daya saing nasional (terhadap kekuatan asing).

Seperti diketahui bahwa pelabuhan di Indonesia hampir semua menangani muatan untuk captive market, dimana pengguna jasa adalah masyarakat Indonesia atau barang-barang untuk pembangunan negara. Hanya kapal pembawanya saja yang bisa jadi berbeda, apakah armada kapal nasional milik pemerintah, swasta nasional atau kapal asing yang masuk ke pelabuhan tersebut.

Terlepas apapun kapalnya, dalam bisnis angkutan kapal, maka muatan kapal adalah penanggung biaya freight dan demurage. Artinya, berapapun biaya angkut dan biaya pelabuhan, maka muatan lah pembayarnya.

Kita sering silau dengan kemajuan Pelabuhan Singapore dan Rotterdam yang merupakan 2 pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia, sebelum kebangkitan ekonomi Cina. Sehingga kita sering menjadikan 2 pelabuhan tersebut sebagai bench mark kesuksesan pelabuhan-pelabuhan yang ada di Indonesia, dari sisi jumlah muatan/ kapal yang yang ditangani dan juga margin profit yang didapat.

Satu hal yang membedakan antara pelabuhan yang melayani muatan internasional dengan yang melayani muatan untuk kebutuhan domestiknya adalah di dasar pembentukan pelabuhan itu sendiri seperti yang termaktub didalam Undang Undang nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran yang dijabarkan diatas.

Indonesia, dengan biaya logistik yang masih sekitar 24% sampai 27% dari GDP sebenarnya masih memiliki banyak tugas yang belum selesai, seperti yang masih dialami program pemerintah Tol Laut, ataupun yang dialami oleh bidang angkutan lautnya yang seharusnya menjadi satu kesatuan dengan pelabuhan sebagai unsur pelayaran dalam konteks sebagai agen utama pembangunan naional.

Tidak dapat dipungkiri bahwa keadaan pelayaran di Indonesia secara masih sangat timpang apabila kita berpegang kepada pemahaman dari Undang Undang nomor 17. Asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan bagi kedaulatan negara masih jauh dari harapan. Negara akan tetap rentan dalam ketahanan sistem logistiknya apabila pelabuhan-pelabuhan Indonesia hanya dipenuhi kapal-kapal asing yang menikmati melimpahnya muatan ekspor impor Indonesia.

Besarnya margin profit pelabuhan milik negara yang didapat dari melayani kegiatan alih muatan/penumpang di Indonesia seperti meninggalkan pertanyaan, apakah memang itu tujuan pemerintah? Atau pemerintah tidak sadar apa yang dimaksud Undanf Undang Pelayaran khususnya pada Bab 1 dan Bab 2.

Hal seperti ini sewajarnya tidak luput dari pantauan pemerintah yang bertindak selaku pembina dari kegiatan tersebut.

Kencangnya laba yang didapat pelabuhan-pelabuhan yang dikelola oleh pemerintah bahkan sudah merambah dan bertambah menjadi perusahaan pelayaran, bongkar muat dan usaha ikutan lainnya di pelabuham terkait. Sehingga asas dan tujuan pelabuhan seperti yang disebutkan di Bab II Pasal 2 Undang Undang Pelayaran sudah jauh menyimpang.

Dengan fakta besarnya laba pelabuhan, apakah tidak lebih baik jika keuntungan yang didapat dijadikan suntikan modal untuk memajukan industri angkutan kapal, galangan, perlindungan lingkungan maritim secara nasional dan meningkatkan keselamatan dan keamanan pelayaran. Sebuah persoalan minim solusi apabila soal berbicara masalah pendanaan dari dalam negeri.

Jika mekanisme tersebut bisa dijembatani dan diwadahi pemerintah, maka peluang untuk lebih meningkatkan daya saing pelayaran nasional di kancah regional dan dunia mungkin bisa lebih realistis dicapai. Saat ini bahkan untuk menjadi jago kandang saja angkutan laut sudah kembang kempis digempur berbagai kekuatan dan kepentingan yang mencoba penetrasi jauh kedalam angkutan domestik. Pemerintah tidak boleh membiarkan pelabuhan nasional berselingkuh dengan angkutan laut asing, dan meninggalkan amanah Undang Undang 17 Bab 1 dan Bab 2.

Pelayaran Indonesia bukan nya tanpa masa depan. Kita punya muatan, punya banyak kebutuhan impor, punya tradisi, punya perairan yang luas dan punya keinginan untuk kembali menjadi bangsa maritim yang hebat. (Penulis : Capt. Zaenal A. Hasibuan)