Perlahan Tapi Pasti, Indonesia dalam Kemunduran Transportasi Laut -->

Iklan Semua Halaman

Perlahan Tapi Pasti, Indonesia dalam Kemunduran Transportasi Laut

03 Maret 2020


 
Dengan dikelilingi laut yang super melimpah hampir 8 juta km persegi, Indonesia bisa merasa bangga sebagai negara kuat dalam dunia maritim, Ya itu dulu!!!, dengan gagahnya nenek moyang kita mengajarkan berlaut di masa kerajaan sebelum penjajah masuk di Negeri ini.

Mungkin kita yang mengaku sebagai Bangsa Maritim kini harus malu dan melakukan interospeksi atas “Blue Print Maritime” di Indonesia.  Dengan jumlah pulau 17.504 dan luas lautan mencapai 7,81 juta km2 harusnya sektor maritim menjadi raja dan pendorong bagi tumbuh kembangnya sektor ekonomi.

Dengan melihat jumlah pulau yang sangat banyak, terbayang betapa besar potensi transportasi laut handal yang dibutuhkan guna menopang sendi ekonomi Negara ini. Puluhan ribu kapal besar dan kecil dibutuhkan sekali keberadaanya dalam menyalurkan pemerataan komoditas yang di butuhkan masyarakat antar pulau itu, puluhan ribu pelabuhan besar dan kecil juga kebutuhan mutlak yang harus ada guna melayani pergerakan kapal dan perputaran arus barang.  

Begitupun dengan melihat luasnya lautan kita yang hampir 8juta km persegi itu, terbayang besarnya potensi sumberdaya alam yang di kandung lautan, seperti  perikanan dan sumberdaya mineral. Semuanya itu membutuhkan dukungan transportasi laut yang handal dan mencukupi.

Sayangnya kita seperti bergerak menuju cerita “Petani mati dilumbung padi”, tanpa disadari.

Asas Cabotage

Asas cabotage misalnya  yang menjadi  prinsip memberi hak eksklusif kegiatan angkutan barang dan orang dalam negeri oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan menggunakan bendera Merah Putih serta awak kapal berkewarganegaraan Indonesia, sebagaimana termaktub dalam UU no.17/2008.

Akhir-akhir ini banyak pihak yang menggaungkan untuk di di revisi,  Padahal dari data Indonesian National Shipowner’s Asociation (INSA) yang dikutip, disebutkan, penerapan Asas Cabotage yang didukung para pelaku usaha pelayaran nasional telah mendorong investasi sektor angkutan laut. Pada 2017, armada pelayaran nasional mencapai 23.823 atau melonjak dari sejak awal diterapkannya Asas Cabotage pada 2005 yang hanya berkisar 6.041 armada.

Hal ini juga diiringi dengan pertumbuhan perusahaan pelayaran nasional yang pada 2017 telah mencapai 3.760 perusahaan. Trend positif ini ternyata masih dinilai kurang oleh pihak tertentu, atau patut  diduga dijadikan  alibi untuk meng-goal kan pesanan tertentu yang ingin menancapkan kuku bisnisnya di sektor transportasi maritim nasional kita.

Beragam alasan disampaikan, seperti penggambaran pelayaran nasional seolah tidak mencukupi dan tidak mampu mengangkut volume yang besar.

Jikapun alasan itu benar, maka harusnya perusahaan pelayaran local diberikan stimulus dan kemudahan untuk menambah armada dan pergerakannya. Bukan malah ketidakmampuan di hantam dengan ombak investasi asing yang jelas memiliki kemampuan dan dukungan  financial besar. Jika ini terjadi maka sama halnya mengadu anak SMP yang sedang tumbuh dan tengah dapat pendidikan dengan lulusan Harvard, pelayaran nasional akan binasa.  

Harusnya perusahaan pelayaran di ajak duduk bersama oleh pemerintah, guna terus meng-eksplore potensi tumbuh kembang  serta bersama mengatasi kendala yang mungkin ada.

Pemerintah wajib mewaspadai proyek komisi alias pemburu rente oleh pihak tertentu dengan dalih Investasi asing di sektor maritime.

Lalu bagaimana dengan sektor Pelabuhan ? Pertumbuhan dan peremajaan pelabuhan serta  terminal petikemas akhir-akhir ini meningkat dengan signifikan, sebut saja pembangunan NPCT ( New Priok Container Terminal ),Terminal Petikemas Teluk Lamong,  Pembanguan Pelabuhan Patimbang yang tengah berjalan, termila petikemas belawan next fase, dan lainnya.

Pertumbuhan ini sejatinya angin segar bagi kelancaran arus ekspor impor dan transportasi laut kita.

Tetapi, benarkah demikian ?

Mari kita kembali melakukan interospeksi atas “blue print system transportasi laut” kita, itu pun jika ada.  Karena jika kita boleh bicara jujur, maka kita akan menuju fase “ Killing Other”, dengan tidak adanya kebijakan pertimbangan dan pengaturan pembangunan terminal petikemas.

Semua pihak merasa boleh dan berhak mendirikan terminal petimas untuk melayani ekspor impor akibatnya terminal petikemas baru tumbuh dan berdiri berjarak hanya beberapa mil atau meter  dari terminal petikemas internasional yang sudah ada dan beroperasi.

Beragam argument disampaikan guna membenarkan pembangunan ini, seperti  alasan mengantisipasi pertumbuhan arus ekspor impor yang akan melonjak, kenyataan malah arus perdagangan menurun drastis. 

Terminal Petikemas yang ada sejatinya juga belum maksimal menampung arus petikemas, kita ambil contoh saja  JICT ( Jakarta International Container Terminal ) sejatinya mampu menangani hingga 3,5 juta Teus dan saat ini baru meng-handle 2,2 juta Teus pertahunnya.

Belum lagi terminal lain disekitarnya, seperti  terminal container yang di transformasikan eks terminal konvensional di Tanjung Priok. Semua bermain di bongkar muat petikemas ekspor impor yang sama.

Pemerintah juga dinilai lambat dan tidak berani mengeluarkan kebijakan untuk mengatur titik berdirinya terminal petikemas.

Kini terminal Patimbang yang tengah dibangun diproyeksi akan mampu menangani 3,5 juta Teus namun posisinya berada di kekuatan hinterland yang sama dengan pelabuhan Tanjung Priok.  Akibatnya nanti terminal-terminal petikemas  dengan kapasitas besar tidak akan meng-handle petikemas dengan jumlah besar secara optimal sesuai kapasitasnya.

Aksi saling bunuh dalam persaingan di khawatirkan akan terjadi antar terminal petikemas, bukan  lagi dengan  sekedar meningkatkan kualitas pelayanan. Perang tariff, diskon atau prilaku bisnis saling mematikan sangat mungkin tercipta dimasa depan.

Hal ini terjadi karena industry local juga tidak di berdayakan secara maksimal, Pemerintah dalam hal ini seharusnya melihat jumlah penduduk Indonesia yang besar sebagai potensial market bagi Indonesia dengan membangun industry yang memenuhi kebutuhan masyarakat sendiri. Bukan malah membuka kran produk asing sebesar-besarnya, dan menjadikan masyarakat kita konsumtif produk asing karena prodk local tidak ada, tidak mencukupi dan tidak berkembang.

Lambatnya perkembangan industry local mengakibatkan pelayaran local juga menjadi lesu, karena produk asing yang masuk pasti menggunakan kapal bendera asing.

Kembali, kita mengingatkan Pemerintah dan Pengambil kebijakan Negara untuk melakukan evaluasi atas langkah dan kebijakan yang diambil serta akan diambil guna menyelamatkan “Blue Print” transportasi laut dan maritim kita.

Kejayaan transportasi laut adalah kejayaan maritim  juga memperkokoh kejayaan serta kedaulatan Bangsa dan Negara Indonesia. Bersih-bersih dilingkungan regulator  dari pihak yang berdalih serta meneriakkan investasi pembangunan sektor transportasi laut padahal mungkin jadi project mafia pemburu rente dan komisi dari pihak tertentu. Hal ini malah bisa menjatuhkan kejayaan maritim Bangsa ini, kelak….bukan lagi kemunduran, tetapi lonceng kematian sektor transportasi laut.


Jayalah Bangsa ku,

Jayalah Indonesiaku,


Oleh: SU39