Jakarta,
eMaritim.com - Harga minyak dunia anjlok, sejak wabah melanda dunia.
Corona memang bukan satu satunya penyebab, pertumbuhan ekonomi global yang
melemah dalam lima tahun terakhir memberi andil besar dalam pelemahan harga
minyak mentah dunia. Para analis telah meramalkan bahwa masa depan harga minyak
mentah makin buruk bagi perusahan hulu migas.
Dalam konteks ekonomi Indonesia minyak dan gas merupakan
faktor kunci. Produksi hulu migas dan harga minyak mentah menentukan seberapa
uang masuk dalam kas negara, jika produksi kecil dan harga rendah makan uang
masuk ke kantong pemerintah otomatis kecil.
"Sementara migas masih merupakan sekror penyumbang
terbesar pendapatan negara baik pajak maupun Pendapatan Negara Bukan Pajak
(PNBP)," kata ekonomi AEPI Salamuddin Daeng di Jakarta.
Sementara di hilir migas merupakan “darah” dalam
perekonomian Indonesia. Jika harga minyak naik maka otomatis harga harga akan
naik. Namun jika harga minyak turun bisa berdampak sebaliknya. Konsumsi minyak
dan gas merupakan penentu inflasi dan itu artinya menentukan daya beli
masyarakat.
Selain itu, papar Daeng, migas merupakan faktor kunci yang
menentukan biaya dalam industri dan pembangkit listrik. Menentukan biaya
produksi listrik dan industri. Dengan demikian jika harga minyak mahal maka
otomatis biaya dalam industri dan pembangkit listrik akan semakin mahal.
Sebaliknya jika harga migas turun maka akan berdampak sebaliknya.
"Demikian juga dalam kegiatan perdagangan dan
diatribusi barang barang di dalam negeri, migas merupakan faktor kunci. Sejauh
hasil penerbitan selama ini menunjukkan bahwa harga energi minyak gas dan
listrik berkorelasi significant terhadap listrik, industri, perdagangan dan
konsumsi," terang Daeng.
Bagaimana Negara Menyikapi ?
Naik turunnya harga minyak global, menurut Daeng,
dipengaruhi oleh faktor faktor yang bersifat global, peran para pemain pemain
global, baik negara penghasil minyak, perusahaan penghasil besar minyak, dan
megara negara industri maju yang notabene mereka adalah konsumen utama minyak
dunia.
Selain itu harga minyak dunia juga dipengaruhi oleh
kesepakatan kesepakatan internasional, perjanjian multilateral di bidang
ekonomi, keuangan dan lingkungan hidup. Isue perubahan iklim tidak bisa
diabaikan dan merupakan faktor penentu arah kebijakan internasional tentang
migas.
"Namun yang lebih menentukan adalah arah kebijakan
keuangan global yang merupakan sumber uang bagi negara dan perusahaan produsen
migas," urai Daeng.
Bagaimana kebijakan negara industri maju, termasuk Tiongkok
dalam menyikapi harga minyak. Dasar dari kebijakan mereka adalah kemampuan industri mereka dan persaingan
dalam perdagangan internasional. Mereka meletakkan kebijakan migas nasional
atas dasar pertimbangan dalam memenangkan persaingan global.
Itulah tanya Daeng, mengapa, USA selalu meningkatkan Supply
migas dalam mempertahankan harga minyak yang tetap rendah, dan Tiongkok secara
tertutup menerapkan kebijakan subsidi termasuk dalam kebijakan energi
terbaharukan. Intinya adalah industri dan perdagangan internasional mereka.
Target harus menang dalam kompetisi.
Bagaimana Indonesia ? negara ini mengimpor separuh lebih
kebutuhan migas nasional. Itulah mengapa sebetulnya negara ini berada pada
posisi diuntungkan oleh penurunan harga minyak. Itu jika Indonesia meletakkan
urusan utamanya adalah industri dan konsumsi masyarakat sebagai penopang
ekonomi.
Namun, papar Daeng,
jika Indonesia masih meletakkan pendapatan bagi hasil dan pendapatan
pajak migas sebagai strategi unruk memompa uang ke dalam APBN maka harga minyak
dunia yang turun akan berdampak pada merosotnya penerimaan APBN. Itulah mengapa
Indonesia harus segera keluar dari semua ketergantungan pada pendapatan dari
sektor migas.
"Indonesia harus memilih strategi memperkuat industri
dan konsumsi, dan menjadikan produksi minyak sebagai sumber pemenuhan kebutuhan
sendiri. Karena Indonesia diuntungkan juga oleh ketersediaan energi lainya
ternasuk batubara dan panas bumi yang besar," tegas Daeng.