1 Juli 2020 Indonesia Resmi Memiliki TSS, Tetapi Tidak Memiliki Coast Guard -->

Iklan Semua Halaman

1 Juli 2020 Indonesia Resmi Memiliki TSS, Tetapi Tidak Memiliki Coast Guard

17 Juni 2020

Indonesia akan memberlakukan TSS Selat Sunda dan TSS Selat Lombok tepat pada tanggal 1 Juli 2020. Dan kita boleh bangga sebagai negara kepulauan pertama di dunia yang memiliki pemisahan alur pelayaran di lautnya. Perlu diketahui bahwa TSS adalah Traffic Separation Scheme, yang dibuat untuk mengatur lalu lintas kapal pada daerah ramai dan sempit seperti selat Sunda dan selat Lombok. Tujuan utama dari pemberlakuan TSS adalah untuk keselamatan dan keamanan pelayaran serta perlindungan lingkungan maritim di daearah tersebut selain kelancaran dan tertib pelayaran.

Selain memiliki manfaat, tentu pemberlakuan TSS memiliki konsekuensi bagi negara yang menyelenggarakannya. Salah satunya adalah harus memiliki Coast Guard yang bertugas menjaga TSS secara fisik dengan perangkat yang dimilikinya.

Menurut pengamat maritim Indonesia Laksda TNI (purn) Soleman Ponto bahwa TSS mengadopsi IMO Convention tentang Maritime Safety. Didalam aturan Indonesia Keselamatan dan Keamanan Pelayaran diatur pada pasal 116 Undang Undang nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. Dan didalam Undang-undang itu dengan jelas disebutkan bahwa Penegak Hukum di bidang Keselamatan dan Keamanan Pelayaran adalah Coast Guard atau Penjaga Laut dan Pantai. Karena itu sebagai Konsekuensinya, PLP berdasarkan UU 17 tahun 2008 tentang Pelayaran harus segera dibentuk agar tidak terjadi kekacauan dalam penegakan hukum di TSS.

Sementara konsekuensi dari pemberlakuan TSS bisa disimpulkan sebagai berikut ;

1. Traffic Flow yg paling banyak adalah yang crossing (ferry Merak-Bakaheuni). Semua kapal Ferry akan memotong TSS tepat dimuka Bakaheuni. Ini berpotensi terjadinya peningkatan kesulitan bernavigasi di Bakaheuni, karena jaraknya ke TSS hanya sekitar 3 mil.

2. Selain itu kesiapan SDM di TSS harus secara pro-aktif memonitor pergerakan kapal, juga kesiapan SDM pelaut di Kapal Ferry juga harus ditingkatkan karena area tersebut akan menjadi area yang menggunakan Standard Marine Vocabulary dalam komunikasinya.

3. Sosialisasi dan training kepada navigator kapal Ferry untuk mengetahui bagaimana caranya masuk ke TSS yang benar, bagaimana cara memotong TSS yang benar, apa yg harus dilakukan jika kapal ada di Traffic Lane yang salah, memasuki TSS kapal harus siap memiliki sistem redudancy dimana mesin tidak boleh mati dan alat navigasi memiliki back up.

4. Yang tidak kalah pentingnya adalah pemahaman dan simulasi aturan Collreg nomor 10 soal Crossing Vessel di TSS, karena kebanyakan tubrukan di karena navigator salah mengartikan hal tersebut.

Dari banyaknya hal harus dilakukan, tentu kita berharap pemerintah bisa secepatnya melengkapi diri agar tidak menjadi perhatian dunia sebagai negara yang memiliki TSS tetapi tidak memiliki Coast Guard. Sementara poin-poin diatas bisa dilakukan dengan melibatkan operator kapal ferry di kedua selat tersebut. Sebagai Administrateur Indonesia untuk IMO, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut diharapkan bisa segera menuntaskan pembentukan PLP sebagai penguatan dari KPLP dan pemberdayaan Bakorkamla seperti yang dijelaskan di Penjelasan Undang Undang nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran pada halaman 4.(zah)