![]() |
Gambar : Istimewa |
Pemerintah melalui Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menjadikan pengembangan atau reaktivasi sumur tua sebagai salah satu upaya menambah cadangan produksi migas nasional.
Secara volume, pengembangan sumur tua masih terbilang potensial. "Kendati demikian, biaya produksi dinilai jadi penghambat dalam upaya pengembangan sumur tua," kata Pengamat Energi dari Reforminer Institute Komaidi Notonegoro di Jakarta.
"Secara biaya produksi yang perlu dikaji lebih lanjut. Jangan sampai biaya produksi jauh lebih mahal daripada harga impor," terang Komaidi lagi.
Seperti dilansir laman kontan.id, Komaidi melanjutkan, alasan ini berpotensi jadi penyebab pengelolaan sumur tua belum dilakukan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) lain.
Menurut Komaidi, Pemerintah perlu turun tangan dengan memberikan insentif bagi dunia usaha terkait. Dengan begitu, pelaku usaha termasuk Pertamian EP untuk terus mengusahakab sumur-sumur tua agar tetap produktif.
Bila perlu, Pemerintah baik pusat atau daerah melalui BUMN dan BUMD bisa membeli migas yang dihasilkan pada kontraktor migas seperti Pertamina EP itu. Dengan solusi begitu diharapkan minat investor Migas tetap bersemangat melalukan eksplorasi dan memproduksikan sumur-sumur tua yang ada.
Dikatakan Komaidi, pemberian insentif oleh Pemerintah pun juga bakal bergantung pada beberapa hal termasuk mengenai biaya manfaat yang diperoleh.
Poin yang dimungkinkan menjadi pertimbangan sebut Komaidi, seperti Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) apakah tergolong menarik atau tidak.
Ia menambahkan, demi menjaga umur pengelolaan sumur tua maka juga diperlukan teknologi yang memadai.
"Makin bagus teknologi umumnya bisa lebih lama kemampuan berproduksinya. Umumnya masih perlu bantuan teknologi dari luar sampai saat ini," terang @Komaidi Notonegoro.
Salah satu teknologi yang mungkin dilakukan yakni metode Enchanced Oil Recovery (EOR). Namun menurut Komaidi, metode ini membutuhkan biaya yang tak sedikit.